JAKARTA, KOMPAS.com - Momen mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya merupakan salah satu peristiwa sejarah yang tak terlupakan.
Hal itu pun berlaku bagi Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Saat Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, Fahri merupakan ketua umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Fahri mengatakan bahwa mundurnya Soeharto merupakan rangkaian proses yang panjang. KAMMI pun disebut Fahri bagian dari proses panjang itu,
"Waktu itu sengaja Malang dipilih sebagai tempat deklarasi gerakan yang saya ketuai (KAMMI), yakni pada 29 Maret 1998. Tujuannya supaya menunjukkan ke publik bahwa gerakan melengserkan Soeharto itu bukan hanya di Jakarta saja," kata Fahri kepada Kompas.com di ruang kerjanya, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/5/2016).
Fahri menuturkan, upaya melengserkan Soeharto sejak awal memang merupakan gabungan usaha seluruh elemen gerakan. Semua bahu-membahu dan berkumpul di rapat-rapat gelap di Jakarta.
Tepat waktu malam sebelum mundurnya Soeharto, beredar isu akan ada pengerahan persenjataan lengkap ke Monumen Nasional (Monas). Sebelumnya memang massa berencana mengepung Monas.
Dari salah satu informan, Fahri mengatakan ada yang membisikkan kabar ke Amien Rais yang saat itu menjabat Ketua PP Muhammadiyah, bahwa akan ada pembantaian massal seperti di Tiananmen, China, jika massa tetap bergerak ke Monas.
"Waktu dengar kabar akan ada peristiwa Tianamen, waktu itu kami antara iya dan ragu. Kalau kata Pak Amien Rais waktu itu masak sih Pak Harto sudah setua itu masih mau bertahan dan mengorbankan nyawa anak-anak muda," tutur Fahri.
Akhirnya setelah dilakukan diskusi, seluruh elemen gerakan membatalkan rencana mengepung Monas.
Karena setelah dilakukan pengecekan pada malam di tanggal 20 Mei 1998, memang ada pengerahan alat perang dan pemasangan kawat berduri di seluruh jalur menuju Monas.
"Saya, Pak Amien dan Pak AM Fatwa baru pulang subuh tanggal 21 Mei setelah benar-benar memastikan tentara memang disiagakan di Monas," ujar Fahri.
"Akhirnya, pagi kami undang media untuk mengumumkan pembatalan rencana mengepung Monas," kata dia.
Meski demikian, pembatalan acara pada 20 Mei 1998 bukan akhir dari gerakan reformasi. Sebab, gerakan itu semakin menguat dan tuntutan agar Soeharto mundur tetap kencang.
Pada 21 Mei 1998, dalam kondisi yang serba terdesak Soeharto pun mengumumkan pengunduran diri.
Peristiwa bersejarah itu disaksikan oleh massa yang telah mengepung Gedung DPR melalui televisi. Fahri Hamzah pun masih ingat apa yang terjadi saat itu.
"Sontak semuanya bersorak waktu itu. Semuanya memenuhi DPR. Bahkan sampai masuk ke ruangan aAnggota DPR," ucap Fahri.
"Termasuk kami yang dulunya ikut mengepung dan menduduki kursi di ruangan Anggota DPR sekarang malah mendudukinya secara resmi," kata Fahri lagi.
Suasana Gedung DPR yang sudah disemuti oleh manusia itu pun membuat para tokoh gerakan sulit memasuki mimbar aspirasi yang dipasang di depan Gedung DPR.
Setelah para tokoh masuk ke dalam, pidato dari para tokoh gerakan yang menyambut mundurnya Soeharto menjadi penanda baru era perpolitikan Indonesia. Memasuki era baru yang bernama reformasi.
Catatan Hitam Sejarah Reformasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar