Keluar dari belakang rumah Alpiah (34 tahun) hamparan tambak mati terbentang seluas mata memandang. Pucuk-pucuk bibit mangrove menyembul di tengahnya. Membingkai garis pandang, mangrove bergerumbul di kejauhan.
Areal tambak yang luas, diselingi dengan pepohonan bakau menjadi pemandangan utama rumah Alpiah dan sekitarnya di Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Sekitar 72,2 persen atau 10.125 hektare area ini merupakan lahan perairan.
Jarak lepas pantai Laut Jawa dengan lokasi permukiman warga sekitar satu kilometer. Terkecuali, pada saat air laut pasang. Tak ada batas lagi antara permukiman dengan laut, air mencapai teritisan rumah warga, bahkan masuk ke dalam rumah.
Jauh dari pusat pemerintahan, butuh waktu lebih dari tiga jam perjalanan darat dan sungai dari Kota Bekasi untuk mencapai tempat ini. Muara Gembong amatlah kaya. Tapi, kini abrasi telah merusak ekosistem Pantai Muara Gembong. Semua berawal dari konversi hutan mangrove, menjadi areal tambak yang berlangsung sporadis pada tahun 1990-an.
"Saya punya tambak dulu hampir tujuh hektare. Tambak udang dan ikan," ungkap Alpiah kepada Republika, Ahad (15/5).
Perempuan sederhana berjilbab oranye itu pun menuturkan masa kejayaan warga Kampung Beting. Pendapatan keluarga Alpiah sebagai pemilik tambak sangat menggiurkan. Menurut dia, udang dan ikan bisa dipanen dua kali sehari, saban pagi sampai sore. Uang Rp 2 juta bisa dia raup setiap kali panen. Tapi, sayangnya kejayaan itu tak berumur lama.
Tak sampai sepuluh tahun warga Kampung Beting menikmati kekayaan alam tersebut. Kisarannya hanya dari tahun 1998-1999 sampai tahun 2005. Pada tahun 2005, tutur Alpiah, ladang tambak mulai sering tergenang banjir. Ikan dan udang hilang terbawa air pasang. Pendapatannya menurun. Abrasi perlahan mengikis bibir pantai, tapi ia beruntung. Ladang tambak masih tetap bisa disemai bibit ikan bandeng.
Alpiah mengatakan, ladang tambak sepenuhnya mati pada kisaran tahun 2008. Warga yang semula berjaya dari hasil tambak, kini harus pontang panting mencari sumber penghasilan baru. Apalagi, menginjak tahun 2008 ke atas, abrasi kian kuat menggerus bibir pantai.
Mangrove telah gundul, tak ada lagi yang bisa menahan derasnya arus laut. Setiap bulan banjir. Tak perlu menanti musim penghujan, ketika laut pasang pun air akan meluap. "Sebulan sekali pasti banjir. Sampai batas jendela itu," ujar Alpiah menunjuk jendela ruang tengahnya yang berjarak 75 cm dari lantai.
Kurang lebih seratus meter dari rumah Alpiah, jejak-jejak para tetua Kampung Beting telah menyatu bersama Laut Muara Gembong. Hanya pucuk-pucuk nisan yang menandai bahwa tempat itu dulunya sebuah pemakaman. Air laut telah merendam habis. Sebuah masjid di depan pemakaman pun bernasib sama. Kendati masih dimanfaatkan, akses menuju masjid bercat merah muda tampak becek berlumut pertanda genangan air tak pernah surut dari pelatarannya.
Puluhan rumah telah ditinggalkan oleh pemiliknya semenjak abrasi menghantui pemukiman warga Kampung Beting. Lama kelamaan, akses warga untuk keluar rumah terputus oleh bedahan air empang. Pelataran selalu tergenang air. Warga pun terpaksa pindah, membiarkan rumah mereka hancur termakan abrasi, tanpa bisa berbuat apa-apa. Betapa tidak hancur, dari 10.125 hektare lahan perairan, diperkirakan hanya tinggal 100 hektare yang masih dihuni rerimbunan vegetasi bakau.
Alpiah menuturkan, warga RT 05/RW 02, Kampung Beting pada tahun 1990-an mencapai ratusan jiwa, tapi kini hanya berkisar 25 kepala keluarga (KK). "Rumah-rumahnya tenggelam. Gili-gili (pematang tambak) hilang jadi kayak menyatu dengan laut," ucap Alpiah.
Sebagian besar warga Kampung Beting berprofesi sebagai nelayan. Penghasilan mereka tak tentu. Ikan tangkapan dijual ke Cilincing, Kalibaru, atau Muara Angke. Teluk Jakarta jauh lebih dekat bagi warga Kampung Beting, dibandingkan jika harus menempuh jarak puluhan kilometer dari pusat Kabupaten Bekasi.
Ketua RT 04/RW 02 Sanusi menambahkan, lahan perairan sudah bertahun-tahun tidak bisa lagi digunakan sebagai tambak. Sebulan tiga kali, banjir pasti melanda permukiman warga.
Apalah daya, semua berawal dari tangan-tangan manusia juga. Populasi warga di RT Sanusi tinggal sedikit, hanya 170 jiwa dengan 48 KK. Sebagian pindah untuk menghindari ancaman abrasi serta mencari penghidupan yang lebih baik. "Perekonomian warga sekarang sangat minim. Kalau dirata-rata penghasilan per bulan Rp 900 ribu," ungkapnya yang turut diamini oleh Alpiah.
Upaya-upaya untuk mengurangi dampak abrasi itu kini disuarakan oleh sejumlah komunitas lewat penanaman kembali bibit mangrove. c38, ed: Endro Yuwanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar