Sesaat sebelumnya, mereka baru saja menyelesaikan ujian Bahasa Inggris, dan melihat dengan cemas dari balik jendela lantai empat sekolah mereka yang berlokasi tak jauh dari titik munculnya asap hitam tersebut.
"Guru-guru lari meminta kami pulang. Ada kerusuhan katanya," ujar Candra kepada CNNIndonesia.com di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (17/5).
Ketika itu Candra remaja berusia 15 tahun. Ia bingung, tak tahu pasti apa yang terjadi. Candra makin panik ketika gurunya berseru kepadanya, "Pulang saja, orang Tionghoa nanti diincar."
Kalimat itu terus melekat di ingatan Candra meski 18 tahun telah berlalu. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa orang Tionghoa seperti dia diincar dan menjadi korban.
Candra pun bergegas pulang ke rumahnya yang hanya berjarak satu kilometer dari sekolah. Tiba di mulut gang tempat tinggalnya, puluhan warga telah membentuk barikade pengamanan. Masing-masing orang membawa alat pukul seperti tongkat, hingga alat tajam seperti golok dan pisau.
Entah Tionghoa, entah pribumi, para tetangganya berjaga mengantisipasi kerusuhan menjalar ke lingkungan mereka.
Begitu menginjakkan kaki di rumah, Candra tak keluar-keluar lagi. Orangtuanya tak mengizinkan dia pergi selama sepekan penuh. Sementara di luar, warga Tionghoa yang biasa berjualan, memilih menutup toko mereka.
Sekolah, kantor, hingga tempat pelayanan publik diliburkan. Kala Jakarta diamuk huru-hara besar, 13-15 Mei, Candra diam di rumah. Informasi soal kerusuhan yang melumpuhkan ibu kota ia dapatkan dari tayangan berita di televisi dan radio.
Candra ingat betul, tiap jam Radio Sonora memberitakan berbagai aksi penjarahan hingga pembakaran yang terjadi di pusat-pusat perbelanjaan.
Orang-orang itu, ujar Candra, dengan bangga menceritakan keberhasilan mereka menjarah. Barang-barang hasil jarahan kemudian dijual kembali ke tetangga sekitar.
Para pelaku penjarahan biasa beraksi bergerombol. Mereka berbagi tugas. Satu orang berteriak memberi informasi jika ada toko yang bisa dijarah, dan orang lainnya bertugas membongkar gembok toko tersebut.
Menurut Candra, ada pihak yang sengaja memprovokasi orang-orang itu untuk menjarah barang-barang di pusat perbelanjaan dan toko-toko.
"Mereka teriak, 'Woi, ini bisa dijarah nih!' Langsung orang-orang di situ datang dan menyerbu," cerita Candra.
Jalanan pun porak-poranda, menambah kengerian Candra ketika dia berjalan keluar rumah untuk pertama kalinya sejak kerusuhan merebak. Rasa takut dan waswas atas ketiadaan jaminan keamanan membuatnya selalu ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
Kondisi kala itu, kata dia, bagai di medan perang. Belasan panser milik TNI berulang kali berpatroli di depan rumahnya tiap malam.
Sampai sekarang, Candra masih memendan trauma. Ia masih heran kenapa etnis Tinghoa jadi sasaran empuk kerusuhan Mei 1998. Beberapa kerabatnya bahkan terbang ke luar negeri saking takut.
"Ya inilah orang Tionghoa, selalu begini nasibnya. Kami pun bingung kenapa jadi korban," kata dia, terpekur.
Jangan terulang
Pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa Benny G Setiono mengatakan ada pembiaran dari negara saat kerusuhan Mei 1998. Penjarahan masif di sejumlah pusat perbelanjaan bahkan rumah-rumah warga, ujarnya, akibat ketidakpedulian aparat penegak hukum saat kerusuhan terjadi.
Benny lantas membandingkan dengan aksi penggusuran di Jakarta saat ini yang selalu dijaga ketat ratusan personel Kepolisian maupun TNI.
"Memang ada pembiaran. Kita tidak pernah tahu peristiwa itu untuk mendukung atau menjatuhkan Presiden yang saat itu menjabat. Orang Tionghoa sebenarnya cuma jadi kambing hitam saja," kata Benny.
Penulis buku Tionghoa dalam Pusaran Politik itu memaklumi pilihan para warga Tionghoa yang kabur ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. Pun mereka khawatir kerusuhan Mei 1998 bakal berdampak pada anak-cucu mereka kelak.
Benny menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan enggan menyelesaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusa terhadap etnis Tionghoa. Ia menegaskan, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual pada perempuan Tionghoa nyata terjadi.
Walau begitu, Benny berpendapat etnis Tionghoa kini berangsur mendapat perlakuan baik di Indonesia, terutama sejak Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut seluruh larangan diskriminatif bagi warga Tionghoa.
Kini, kata Benny, tak ada lagi gerakan anti-Tinghoa. Jika pun isu anti-Tionghoa berniat dimuncukan oleh pihak-pihak yang hendak memancing di air keruh demi kepentingan tertentu, Benny yakin masyarakat sudah cerdas untuk waspada. (agk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar