RISALAH KANG TATANG
BERSYUKUR UNTUK KEDAMAIAN
MINGGU, 19 JUNI 2016 , 03:10:00 WIB
OLEH: TATANG MUTTAQIN
TATANG MUTTAQIN | |
USAI menunaikan sholat dhuhur dan Ashar di Mesjid Sulayman yang tepat menghadap selat Bosphorus yang memisahkan Eropa dan Asia, seorang Ibu menggendong bayi dengan pakaian lusuh meminta-minta berbahasa Arab dan menjelaskan dirinya pengungsi Suriah. Setelah yang satu pergi yang lainnya berdatangan, sampai akhirnya ada yang tak hanya minta Lira namun juga meminta untuk mengikhlaskan dorongan bayi/anak yang kami bawa.
Pilu melihat ibu-ibu menggendong bayi terlunta-lunta mengungsi padahal secara umum sebelum konflik Suriah sedikit lebih maju dari Indonesia namun konflik meluluhlantahkan semuanya.
Sejak konflik yang berkepanjangan karena tak hanya politik namun juga sudah dibalut keyakinan sehingga konflik vertikal diperparah dengan konflik horizontal, jutaan pengungsi tersebar ke berbagai belahan dunia dan jutaan di antaranya di Turki sebagai daerah terdekat, di samping Yordania untuk selanjutnya bertaruh nyawa ke berbagai Negara Barat semisal: Jerman, Belgia, Perancis dan Belanda serta ke Kanada. Tak terdengar yang mengungsi ke negeri kaya petro-dollar, karena mereka tidak meratifikasi konvensi pengungsi sehingga tidak punya kewajiban untuk menyediakan tempat berteduh saudara seimannya.
Beragam kisah pilu yang menyayat hati telah menyebar dalam viral media sosial dan media massa sehingga Jerman, Kanada dan Negara Barat lainnya dengan meriah menyambut pengungsi sekalipun diiringi protes kelompok Kanan dan perasaan was-was adanya penyusup di kalangan pengungsi yang berpotensi membuat kerumitan di negeri penerima.
Sentimen dan protes kelompok Kanan ini semakin mendapat dukungan ketika berita pelecehan seksual yang dilakukan para migran di Kota Koln sehingga penolakan semakin mendapat justifikasi ideologi dan "moral". Namun demikian, pengalaman pahit-getir perang dunia di daratan Eropa membuat sebagian besar masyarakat Eropa bersimpati pada pengungsi sehingga berbagai lembaga amal dan sekolah-sekolah berinisiatif untuk "menyambut" mereka dengan pengumpulan barang dan pakaian laik pakai serta pengumpulan donasi.
Di Belanda sendiri, para dependent mahasiswa PhD yang sebelumnya gratis menikmati kursus Bahasa diberhentikan karena difokuskan untuk membantu bahasa pengungsi agar cepat beradaptasi, bersosialisasi dan bekerja. Sekolah-sekolah menyediakan tempat penampungan sumbangan termasuk pakaian, mainan dan perangkat lainnya yang layak untuk dipilih para pengungsi yang anak-anaknya sekolah di sekolah-sekolah tersebut.
Kisah sedih tak terperi juga diceritakan si Cikal, di mana salah satu temannya merupakan anak pengungsi yang diadopsi keluarga Belanda di Kota Haren. Sebutlah Eva yang bercerita bagaimana seusai sekolah di Suriah, dia disuruh ibunya pergi mengungsi sedangkan ayahnya sudah meninggal tertembak di pusat keramaian pasar. Eva dan adiknya yang masih usia SD mengikuti rombongan pengungsi berjalan ratusan kilometer dari tempat tinggalnya di Suriah menyusuri daerah-daerah konflik selama 2,5 bulan sampai akhirnya tiba di Turki dengan kondisi yang memilukan.
Eva bertutur bahwa setelah bertaruh nyawa dengan memanfaatkan "kecerdikan" akhirnya mampu menaiki kapal laut untuk menuju Amsterdam. Perjalanan dalam kapal laut tak kalah pedih dan menyeramkan karena konflik tak terhindarkan karena tak sepadannya kapasitas kapal dan penumpang serta logistik sehingga banyak korban yang selama dalam kapal laut termasuk berebut air dan bahkan akhirnya saling bunuh untuk menghindari kapal karam. Aku dan adikku beruntung selamat sampai Amsterdam, tutur Eva menceritakan perjalanannya.
Akhirnya Eva diadopsi keluarga Belanda di Haren dan adiknya diadopsi oleh keluarga lainnya sehingga terpisah namun masih bisa dipertemukan setiap sabtu. Saat ini Eva menikmati pendidikan Middle Year Program atau setingkat SMP di International School Groningen (ISG) kelas 3, sedangkan adiknya masih Openbare Basisschool atau SD sekolah Belanda.
Sekalipun terpisah dengan adiknya dan terpisah dengan ibunya, Eva tetap merasa sebagai orang yang beruntung. Perpisahan Eva dan adiknya dalam adopsi mengingatkan kisah yang apik yang diulas dalam serial "Little Missy" puluhan tahun lalu yang membuat penonton haru, bercucur air mata. Konflik apalagi sudah menyangkut keyakinan tak mudah didamaikan sehingga patut menjadi pelajaran bagi semua pihak di tanah air untuk mensyukuri nikmat kedamaian dengan segala kekurangan dan kelebihannya di tanah air untuk terus dirawat bagi kita dan juga anak cucu kita.
Segala potensi konflik, penyebaran permusuhan karena perbedaan pandangan politik dan keagamaan perlu terus diminimalisir. Upaya persuasif, preventif dan juga pencegahan dengan koersif patut disinergikan agar permusuhan dan konflik tak menjalar sehingga tetap dapat dikelola sebagai sebuah dinamika masyarakat.
Konflik yang tak terkelola dan menyebar menjadi konflik sosial sangat berbahaya karena dengan sekejap bisa meluluhlantahkan bangunan bangsa yang telah dibangun puluhan tahun dengan darah dan air mata para pendahulu kita. Sehingga upaya mencegah konflik merupakan kewajiban bersama sebagai warga bangsa agar mimpi buruk yang dialami jutaan Eva bisa dihindari.
Selamat belajar dan berjuang Eva, semoga Ibumu juga bisa menyusul dan Negerimu juga segera diberi kedamaian. Insya-Allah. [***]
Penulis adalah peneliti di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS), University of Groningen, The Netherlands.
Baca juga: |
Komentar Pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar