DI BALIK JERUJI BESI: Empat napi anak di salah satu ruangan di Lapas Kelas IIA Balikpapan, Jalan Jenderal Sudirman, Kamis (26/5). Mereka menghabiskan sebagian masa kecil di balik jeruji besi. (Paksi sandang prabowo/kp)
Mereka masih muda. Masa depan masih panjang terbentang. Sayangnya, narkoba malah menggiring ke penjara.
PADA peringatan Hari Anak Sedunia, 1 Juni, Kaltim Post menurunkan kisah anak-anak yang tersangkut kasus narkoba. Saat ini, mereka sedang mendekam di penjara. Ada di lembaga pemasyarakatan (lapas), ada pula di rumah tahanan (rutan). Tersebar hampir di semua daerah di Benua Etam. Sebanyak 88 tahanan anak di provinsi ini. Dari angka itu, tak sedikit yang terjerat kasus narkoba. Penelusuran media ini, anak-anak usia sekolah yang tersangkut barang haram itu ada yang ditangkap sebagai pengguna, kurir hingga bandar.
Menyusuri cerita mereka tentu bukan perkara mudah. Harus mengikuti prosedur yang diterapkan di tiap lapas dan rutan. Izin kepada pimpinan hingga mengatur waktu untuk menyesuaikan dengan jam kunjungan. Tentu juga harus siap antisipasi jika ada "force majeure". Seperti dialami wartawan media ini di Rutan Klas IIB Tanah Grogot, Kabupaten Paser. Selama ini, hubungan Kaltim Post dengan kepala kepala rutan, Husni Thamrin, terjalin baik. Dia pribadi yang ramah.
Hampir bisa "dipastikan" 90 persen proses izin dan wawancara akan berjalan lancar. Sayangnya, saat jadwal yang ditentukan, Husni berangkat umrah. Pelaksana hariannya, Kepala Kesatuan Pengamanan, Sugianto, tak punya wewenang mengizinkan media ini masuk rutan. Ini bisa dimaklumi. Karena saat pimpinan tak di tempat, tanggung jawab ada di pundaknya.
Langkah terakhir, tentu dengan meminta izin Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kaltim, Agus Saryono. Izin dengan Kanwil tak perlu ribet. Dia sosok yang welcome dengan media. Apalagi hubungan dengan koran ini juga sudah terjalin hangat. Jadi, cukup mengirim pesan singkat, izin pun keluar. Dengan begitu, bisa masuk ke rutan.
Namun, tak berjalan mulus saat mengunjungi Rutan Klas IIA Balikpapan. Saat itu, kepala rutan sedang bertugas ke Sumatra. Pelaksana hariannya adalah kepala keamanan. Media ini mengikuti prosedur dengan meminta izin berkunjung. Bahkan sudah mengantongi izin dari Kanwil. Saat mengutarakan niat berkunjung, media ini diminta menunggu di depan pintu masuk. Lebih setengah jam menanti. Saat mengetuk lagi pintu rutan untuk menanyakan, bisa atau tidak, petugas yang berjaga malah emosi. "Kan sudah dibilang tunggu!" ujarnya.
Padahal media ini hanya ingin memastikan, bisa atau tidak. Mengalah, koran ini kembali menunggu. Namun kembali lebih dari satu jam, tak ada lagi informasi dari petugas di balik pintu tadi. Wartawan media ini pun meninggalkan rutan dan melanjutkan huntingke lapas.
Walau sudah melalui prosedur yang ditentukan, belum tentu wawancara dapat berjalan mudah. Pihak rutan atau lapas harus mengonfirmasi terlebih dahulu kepada anak yang ingin ditemui. Mau atau tidak. Jika tidak mau, tentu harus balik kanan. Atau mencari tahanan anak lain yang bersedia. Makanya, koran ini mengantisipasinya dengan membuat janji sejak jauh hari. Bahkan di beberapa rutan sudah dikunjungi dan buat janji sebulan sebelumnya. Walau mengalami sejumlah prosedur dan kendala, semua rencana liputan dapat berjalan. Berikut hasil penelusuran di rutan dan lapas dari Bontang hingga Paser.
Selasa(22/9/2015) sore, Budi – nama samaran – melangkahkan kakinya ke luar rumah, di Kelurahan Baru, Balikpapan Barat. Seperti sore-sore sebelumnya, Budi pamit kepada orangtua untuk main ke tempat teman. Kebiasaan Budi ke luar rumah kala sore rupanya bukan sekadar berkumpul dengan rekan sebaya. Tak jauh dari kediamannya, ada indekos yang dijadikan "safe house" untuk menjalankan bisnis sabu-sabu. Bisnis haram yang telah digeluti saat masih berusia 16 tahun.
Meski masih belia, Budi punya track record yang tak bisa dipandang sebelah mata di dunia peredaran narkoba. Sebelum mengedarkan bubuk setan itu, dia sudah menjadi pengguna narkoba sejak usia 14 tahun. Dari pengakuan remaja kelahiran Balikpapan, 18 Oktober 1997, ini saat bertatap muka dengan Kaltim Post, Kamis (26/5), setiap hari dia mengonsumsi minimal 1 gram sabu-sabu. Saat naik "pangkat" menjadi pengedar, tak hanya mengonsumsi, dia juga rutin menjual 5 gram sabu-sabu per hari.
Agar bisa bertemu dengan Budi, harian ini terlebih dulu harus mengurus izin kepada Kepala Lapas Klas IIA Balikpapan, Edy Hardoyo, sehari sebelumnya. Setelah menjelaskan maksud menemui warga binaannya, Edy merespons positif. Dia langsung menyanggupi dan memberi waktu berkunjung. Namun, harus mengikuti sejumlah ketentuan. Wawancara harus dilakukan saat jam besuk. Harus juga didampingi petugas lapas. Maka disepakati pada Kamis (26/5) pukul 09.00 Wita untuk mengunjungi tahanan anak. Saat itu, rombongan Kaltim Post terdiri dari tiga orang. Dua wartawan, satu fotografer.
Setelah melewati prosedur dan pemeriksaan barang di pintu penjagaan, media ini diarahkan bertemu kepala lapas. Di dalam ruangan berukuran 3x5 meter, briefing dilakukan. Tiga orang petugas lapas mendampingi selama melakukan kegiatan di sel khusus anak. Di Kaltim, baru di Balikpapan warga binaan di bawah 18 tahun dipisah dengan blok khusus dewasa. Meski berlabel blok khusus anak, sebenarnya ruangan berukuran 4x4 meter persegi ini dulunya tahanan dewasa. Dimodifikasi untuk kebutuhan tahanan anak. Baru beroperasi tahun lalu. Sehingga kondisinya tidak jauh berbeda dengan ruang tahanan lainnya. Yang berbeda hanya jauh terpisah dengan tahanan dewasa.
Sekira pukul 10.00 Wita, tim Kaltim Post menuju ruangan tahanan yang diberi nama Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Lantaran waktu itu bertepatan dengan saat kunjungan, maka tim harus menunggu dulu di salah satu ruangan berukuran 2x3 meter, tepat di sebelah ruang tahanan anak. Ruangan tempat media ini menunggu diperuntukkan bimbingan konseling bagi napi. Kurang dari 10 meter, beberapa orang dewasa sedang menyiapkan sajian makan siang di dapur yang dikelilingi jeruji besi. Tak jauh dari situ, tahanan dewasa lain yang mendapat izin masuk ke area tahanan khusus anak memainkan alat musik. Salah satu "kegiatan ekstrakurikuler" mereka selama di lapas.
Beberapa menit kemudian, didampingi petugas keamanan, seorang tahanan dengan tinggi 164 sentimeter menghampiri harian ini yang telah menunggu. Dialah Budi. Saat itu, anak keempat dari lima bersaudara ini mengenakan kaus oblong warna kuning dengan tulisan warga binaan. Saat itu, Budi baru selesai dijenguk kakaknya. Saudaranya itu membawakan nasi campur. Nasi tersebut belum sempat disantap karena ingin bertemu dengan wartawan media ini. Meski telah dipersilakan untuk makan terlebih dulu, dia mengatakan belum lapar.
Saat wawancara dengan Budi, petugas yang mendampingi memilih menjaga jarak. Sehingga situasi menjadi lebih santai. Saat itu mengobrol dilakukan dengan lesehan. Lebih rileks. Budi mengaku mulai mendekam di penjara sejak 7 Oktober 2015. Razia yang digelar polisi pada pukul 02.00 pagi, Selasa 22 September 2015, adalah awal ceritanya. Dia kedapatan menyimpan 3,7 gram sabu-sabu. Saat dites urine, Budi juga positif mengonsumsi narkoba. Akibatnya dia divonis pidana penjara 1 tahun 3 bulan. Jauh sebelum hakim menjatuhkan vonis, dia terlebih dulu dikeluarkan dari sekolahnya karena kerap bolos. Sejak berusia 12 tahun, Budi sudah putus sekolah.
Setelah melepas status pelajar, Budi memutuskan mencari uang sendiri. Dia menjadi motoris speedboat di pelabuhan penyeberangan Kampung Baru, Balikpapan Barat. Di lingkungan barunya itu, pergaulannya meluas. Tak hanya berteman dengan rekan sebaya, tapi orang yang lebih tua. Asalkan pulang setiap hari, ayah dan ibunya di rumah tak merisaukan kegiatan baru Budi. Terlebih setiap hari, Budi memberi minimal Rp 100 ribu kepada orangtua.
Berawal dari tawaran beberapa pria dewasa di tempatnya bekerja, Budi mulai mengonsumsi sabu-sabu. "Awalnya iseng-iseng ditawari teman. Gratis. Tapi, lama-kelamaan penasaran dan mencoba. Ketagihan. Ditawari sama yang tua-tua juga," ucap Budi, berusaha mereka ulang awal dia terjerat narkoba. Budi yang saat itu berusia 14 tahun sempat menolak.
Seiring waktu, godaan yang datang terus-menerus, membuatnya tak kuasa lagi bertahan. Uang hasil jerih payah mengantar penumpang disisihkan membeli sabu-sabu. "Patungan. Ada uangmu kah? Tambahi dulu nah," tuturnya, menirukan percakapan dengan kawannya kala itu. Jeratan sabu-sabu semakin kuat. Dari pengakuannya, awal-awal menjadi pemakai, tiada hari tanpa mengisap sabu-sabu. Yang cukup mengejutkan, tak jarang dia membawa penumpang menyeberangi teluk dari Balikpapan menuju Penajam Paser Utara (PPU), usai mengisap sabu-sabu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar