Seni pertunjukan tonil itu sendiri dalam tradisi Melayu memang ada sejak dahulu. Tonil merupakan satu produk budaya Melayu dalam bentuk sandiwara yang hidup dan tumbuh subur di beberapa daerah Riau pada era 80-an.
Di dalam kisah yang dimainkan, komedi atau kelucuan menjadi bagian penting sembari menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat pada masa dahulu. Budaya humor ini dalam kebudayaan Melayu dapat pula ditandai saat mulai berkembangnya dunia seni pertunjukan tradisional seperti Mak Yong, Bangsawan, Mendu, Mamanda, Randai Kuantan dan tradisi lisan lainnya. Bumbu humor selalu menjadi bagian terpenting dari setiap pertunjukan baik dari sisi improvisasi para pemain maupun karakter tokoh dan kemasan cerita yang dipentaskan.
Demikian juga hal yang dapat diapresiasi dari pentas tonil ala Teater Matan malam itu.
Pertunjukan dimulai dengan nyanyian pembuka yang sekaligus dijadikan babak perkenalan masing-masing tokoh kepada penonton yang hadir. Dari arah penonton, lagu itu di senandungkan belasan aktor menuju ke panggung yang sudah didekor berbentuk gerai kopi ala Melayu.
Sedangkan kisah yang diangkat dari cerita tonil yang berjudul "Kerenah Menyambut Raya" tersebut adalah hal ihwal keseharian yang diwakili sebuah kampung bernama "Pandan Bertekol". Konon, di dalam pertunjukan itu terdapat sebuah kampung yang penduduknya dominan orang tua-tua. Mereka ini di masa mudanya adalah para pelaku dan praktisi seni yang sangat tersohor.
Sayangnya, di antara mereka tidak pernah kompak dan selalu berseberangan pendapat. Hal itu terbukti di dalam kisah yang berdurasi sekitar satu jam tersebut. Ketika kampung Pandan Bertekol hendak menggelar pentas seni dalam rangka perayaan ulang tahun kampung, para tetua-tetua itu dikumpulkan semuanya. Agenda rapat yang seharusnya dapat menemukan kata mufakat justru menjadi ajang pertengkaran yang tidak berkesudahan. Jangankan hendak menetapkan acara apa yang mesti dibuat untuk ultah kampung mereka, justru dalam menetapkan tanggal ulang tahun kampung itu saja, tidak sependapat dan berujung dengan caci maki dan saling menghina keturunan masing-masing.
Penuh Sindiran
Tetapi berbagai persoalan itu tentu saja dilakonkan dengan pola tingkah yang komedi. Baik dari dialog-dialog improvisasi maupun karakter dari masing-masing aktor. Setiap apa yang terjadi atau diucapkan selalu berbancuh dengan senda gurau, dan juga gerak-gerik yang menggelikan hati. Sehingga tak heran sepanjang pertunjukan, ledak gelak tawa dari penonton yang hadir turut meramaikan gedung yang terdapat di komplek Taman Budaya Riau tersebut.
Kisah dalam tonil ini juga kental dengan sindiran-sindiran. Digambarkan dengan jelas bagaimana seniman di kampung tersebut berkelompok, terpecah-pecah dan egois. Masing-masing kelompok merasa benar, menang, tidak mau kalah apalagi disalahkan. Apa yang dibuat, apa yang membesarkan kampung seolah masing-masing mereka yang melakukan, bahkan menyalahkan orang atau kelompok lain demi menonjolkan diri atau kelompok masing-masing.
Dalam kisah tersebut, Matan juga seolah ingin mengingatkan agar tidak berkelompok dalam berkesenian, tidak ada saling menyalahkan dan bersatulah hendaknya. Sebuah keinginan, petuah unik dari Matan yang ingin diberikan sebagai hadiah kepada semua seniman Riau dalam usianya yang masih belia, khususnya dalam ulang tahunnya yang ke-4 malam itu.
Sempena Ulang Tahun
Pertunjukan tonil tersebut dipersembahkan sempena ulang tahun ke-4 teater Matan. Tak heran jika seluruh personil Matan, turun berlakon malam itu. Di antaranya, Hang Kafrawi (Ngah Seman), Mat Rock (Andak Amat) Andy (Ucu Rasip), Ridwan (Cik Moneh), M Nazri (Tok Din), Deni Afriadi (Alang Brahim), Rikcy Pranata (Wak Burhan), Jamal (Atah Kahlid), Jefri al Malay (Long Arep) dan Monda Gianez (Uteh Ali). Mereka semua berperan sebagai orang-orang tua yang senantiasa bereforia dengan kegemilangan masa muda mereka dan juga kejayaan datuk nenek mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar