Senyum Nia Dinata mengembang lebar saat gala premiere film Ini Kisah Tiga Dara berlangsung di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (27/8/2016) malam. Selain merasa lega filmnya sudah kelar, alasan lain adalah keberhasilan mengantongi rating 17 tahun ke atas.
Saat pertama kali tayang untuk para jurnalis dalam press screening yang berlangsung di XXI Plaza Indonesia (19/8), dari layar tampak jelas tertulis bahwa Lembaga Sensor Film (LSF) memberi kelas penonton film tersebut untuk 21 tahun ke atas.
Bukan karena isi film yang mengandung dialog dengan bahasa kasar, kekerasan ekstrem berkelanjutan (lebih dari sekali), ketelanjangan berorientasi seksual, penyalahgunaan obat-obatan, atau unsur-unsur lain laiknya film yang mendapat rating "Restricted" alias terbatas (setara 21+) dalam sistem pemberian rating film di Amerika Serikat.
Alasan utama mengapa Ini Kisah Tiga Dara dalam sesi press screening kala itu masih mengantongi rating 21+ karena beberapa adegan ciuman yang terkandung di dalamnya. Satu lagi adalah adanya adegan ranjang, meskipun tidak menonjolkan ketelanjangan.
Waktu yang mepet untuk berdialog dengan LSF dan melakukan penyutingan merupakan alasan mengapa yang disajikan di hadapan wartawan kala itu masih berupa versi 21 tahun ke atas.
Bagaimana ceritanya hingga rating tersebut berubah? Pertama karena masukan dari sejumlah pihak setelah sesi press screening. Film Ini Kisah Tiga Dara yang tayang di bioskop mulai 1 September 2016 dimaksudkan sebagai tontonan keluarga. Oleh karena itu, sebisa mungkin harus bisa diakses lebih luas. Alhasil Nia (46) yang juga bertindak sebagai produser melakukan dialog dengan LSF.
Mengantongi rating 17+ dirasa cukup sebagai jalan keluar. Beruntung sehari sebelum gala premiere berlangsung harapan tersebut terwujud.
"LSF saat ini memiliki mekanisme sensor yang lebih dialogis. Mereka tidak akan memotong film tanpa persetujuan sutradara dan produser. Bagian yang dianggap perlu dipotong, disampaikan oleh pihak LSF kepada kami. Sebagai pembuat film, kami mendapatkan hak untuk menjelaskan konsep secara objektif dari adegan yang harus dipotong tersebut," kata Nia.
Sebagai konsekuensi pemberian rating 17+, sutradara Berbagi Suami (2006) itu harus merelakan beberapa adegan yang jadi keberatan LSF untuk dipotong. "Saya juga melakukan penambahan voice over pada akhir film," lanjutnya.
Mengapa tidak sekalian membuat film ini masuk kategori semua umur atau minimal untuk penonton berumur 13 tahun ke atas? "Saya rasa tidak perlu sejauh itu. Toh tokoh tiga dara dalam film ini semuanya dikisahkan telah berumur di atas 17 tahun," jawab Nia kepada Beritagar.id sembari menutup obrolan.
Film ini berkisah tentang tiga anak perempuan dengan dilema masing-masing. Sejak ibu mereka meninggal dunia, sang ayah, Krisna (diperankan Ray Sahetapy), memboyong ketiganya dan nenek mereka, Oma (Titiek Puspa), ke kota kecil di bagian timur Flores untuk menjalankan hotel.
Gendis (Shanty Paredes) adalah anak tertua yang mempunyai minat tinggi di bidang kuliner. Semua energinya ia curahkan untuk urusan kuliner. Posisinya di dalam hotel sebagai kepala koki.
Ella (Tara Basro), anak kedua yang supel dan ramah, memilih untuk mengepalai bagian public relation dan marketing hotel. Ella memiliki pengagum yaitu Bima (Reuben Elishama), tetangga mereka ketika masih di Jakarta, yang siap bekerja memotret secara gratis untuk hotel baru milik keluarga Gendis.
Sementara Bebe (Tatyana Akman), anak ketiga, adalah cucu Oma yang cerdas, blak-blakan, dan free spirited. Kedekatannya dengan seorang tamu hotel bernama Erick (Richard Kyle) sering membuat Oma merasa was-was.
Oma hampir frustasi karena tak satu lelaki pun berhasil dijodohkan dengan cucunya. Sampai suatu saat menjelang acara pembukaan hotel, ada banyak tamu berdatangan, termasuk seorang pengusaha muda bernama Yudha (Rio Dewanto). Karakteristik Yudha yang sempurna bagi Oma membuatnya berniat untuk menjodohkan Yudha dengan Gendis.
Pada saat yang bersamaan, Ella melihat Yudha juga sebagai sosok ideal untuk dijadikan suami. Apalagi, Gendis kakaknya, begitu keras dan tidak responsif terhadap tuntutan Oma. Ella pun menjalankan strateginya untuk bisa membelokkan perhatian Yudha.
Konflik antara kakak beradik ini, berikut kisah-kisah menarik lainnya, bergulir lewat skenario yang ditulis Nia Dinata dan Lucky Kuswandi. Sebagian dialog-dialog kemudian diterjemahkan menjadi lagu-lagu yang diciptakan musisi kawakan Aghi Narottama dan Bemby Gusti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar