Senin, 05 Desember 2016

FOKUS: Menakar Perlu Tidaknya Belanda Investigasi Pembantaian di Indonesia

BERAWAL dari terungkapnya pembantaian di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, perlahan satu per satu kisah-kisah kejahatan perang Belanda di Indonesia di masa konflik fisik 1945-1949, mulai terbuka. Disebutkan pembantaian itu tidak sekadar insidental atau ekses perang, tapi sudah struktural.

Ini yang jadi inti buku terbitan seorang blasteran Swiss-Belanda Rémy Limpach. Pada September 2016, dia merilis buku yang cukup tebal bertajuk 'De Brandende Kampongs van General Spoor' dan jadi kehebohan tersendiri di Negeri Kincir Angin tersebut.

BERITA REKOMENDASI


Buku yang kalau diterjemahkan artinya 'Kampung-Kampung yang Dibakar Jenderal (Simon) Spoor' itu, disingkap Limpach setelah meneliti 850 surat (veteran) serdadu Belanda. Serdadu yang sedianya tidak setuju atas apa yang diperintahkan pada mereka di Indonesia – yang menurut mereka kala itu masih dianggap Hindia Belanda.

Dalam buku yang masih terbatas dalam bahasa Belanda itu juga diungkapkan, bahwa kejahatan-kejahatan perang seperti penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran desa-desa itu, merupakan kejahatan yang struktural.

Nah, belum lama ini kemudian pemerintah Belanda ingin mengadakan penyelidikan kembali tentang kisah-kisah kejahatan perang bala tentara mereka di masa Perang Dekolonisasi (perspektif Indonesia adalah Perang Kemerdekaan Indonesia/Perang Revolusi Indonesia 1945-1949).

"Menggali masa lalu kolonial bisa menyakitkan bagi para veteran (tentara) Belanda dari periode itu," ungkap pernyataan pemerintah Belanda disitat Reuters, 2 Desember 2016.

"Pemerintah Belanda mendudukkan nilai-nilai yang tinggi dalam melindungi dan mempromosikan Hak Asasi Manusia (HAM), hukum internasional dan regulasi hukum, untuk mendapatkan wawasan yang lebih soal peran kami di masa lalu sebagai peran yang penting," tambahnya.

Kalaupun diadakan penyelidikan yang tentunya akan memakan waktu sampai beberapa tahun ke depan, Belanda tidak hanya akan menginvestigasi kasus-kasus kejahatan perang seperti yang terjadi di Rawagede, Sulawesi Selatan, Tambun Sungai Angke (Bekasi), Padang, atau Riau.

Namun juga soal kekerasan di "Masa Bersiap". Masa di mana para interniran Belanda yang baru dilepaskan Jepang pasca-Perang Dunia II, disiksa, diperkosa, dibunuh sebagai aksi balasan penjajahan sekian lama.

Hal ini diungkapkan Menteri Pertahanan Belanda Jeanine Hennis-Plasschaert. Alasannya, untuk mencegah tersinggungnya veteran tentara Belanda atas investigasi ini. Nantinya, dikatakan bahwa penyelidikan ini akan dilakukan para peneliti dari Institut Dokumentasi Perang Belanda (NIOD) dan Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH).

Rencananya, akan ada institut lain yang akan diikutsertakan. Tapi pengumumannya akan dibeberkan lebih lanjut setelah pemerintah Belanda menggelar rapat kabinetnya.

Hal ini juga kemudian jadi perhatian Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (Yayasan KUKB) Jeffry Marcel Pondaag. Selain tidak setuju digelarnya penyelidikan kembali, dia juga meragukan NIOD dan NIMH bisa obyektif dalam menyampaikan hasil investigasinya.

"Masalahnya, Belanda saja selama ini belum mengakui kita punya kemerdekaan (17 Agustus 1945). Ini nanti (penyelidikannya) kan dari sudut kacamatanya Belanda. Kalaupun diperiksa kembali, harusnya bukan institut dari Belanda," cetus Jeffry kepada Okezone via telefon.

"Semua yang ditulis Limpach (di bukunya) sebenarnya mereka sudah tahu, tapi tidak diteliti. Makanya saya bilang mereka 70 tahun itu tidur kerjanya. Baru hal seperti ini jadi besar lagi sejak kasus Rawagede. Baru deh sejarawan-sejarawan di Belanda, ada diskusi segala macam, sampai akhirnya Limpach mengeluarkan bukunya," imbuhnya.

Jeffry juga merasa keberatan jika sejarawan-sejarawan Belanda menyebutkan kasus-kasus pembantaian itu terjadi di Indonesia. Toh karena Belanda mengakui kedaulatan Indonesia itu pada 27 Desember 1949 pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB).

"Saya tidak setuju dengan sejarawan Belanda, salah satunya Anne Lot-Hoek. Dia bilang (pembantaian) terjadinya di Indonesia, bukannya (masih) Hindia Belanda. Kalau mengatakan Indonesia, berarti Belanda menyerang negara yang sudah berdaulat, dong!," sambung Jeffry lagi.

"Soal 'Masa Bersiap', Anda tahu sendiri pemuda-pemuda kita waktu itu ya interniran Belanda, Tionghoa, maupun kolaborator Belanda, dibantai semua. Tapi tidak bisa bilang itu Indonesia, karena terjadi sebelum Belanda mengakui kedaulatan 1949," lanjutnya.

"Mereka ke sini lagi (setelah zaman Jepang) untuk bunuh kita, masak kita enggak bergerak, enggak melawan? Kita kan berjuang, mau diapain lagi? (Presiden) Soekarno waktu itu juga berusaha menahan orang-orang agar jangan sampai terlalu (kekerasan terhadap interniran). Dia juga bertindak agar tidak sampai lebih besar," tutur Jeffry.

Itu yang menurut Jeffry harus diluruskan dulu perspektifnya. Kalau tetap belum mengakui, berarti yang dibantai tentara Belanda di sini ya warga Hindia Belanda, bukan Indonesia

"Itu (pengacara Belanda yang membela korban Rawagede, Profesor) Liesbeth Zegveld juga bilang, itu (yang dibantai) warga Hindia Belanda. Kalau mengakui (Indonesia merdeka 1945), berarti mereka menyerang negara yang sudah berdaulat, harus dikembalikan itu (kompensasi masa perang Indonesia ke Belanda) 4,5 juta Gulden," tandasnya.

Adapun sejarawan Rushdy Hoesein punya pandangan yang berbeda. Dia menyatakan bahwa penyelidikan untuk membuka luka lama bersama-sama seprti ini, sudah diajukan sejak lama.

"Itu yang ditawarkan sudah lama. Kenapa enggak sama-sama buka kejahatan perang ini? Tapi apa yang disampaikan waktu itu dicuekin sama orang kita. Sementara peristiwa-peristiwa kejahatan prang Belanda yang terungkap foto-fotonya justru ditanggapi dunia," timpal Rushdy dihubungi Okezone.

Sejarawan yang juga berprofesi sebagai dokter itu juga mengemukakan, bahwa sejatinya pada tahun 1996, sudah sempat ada upaya untuk menutup luka masa lalu bersama. Kala itu, terjadi kerjasama dan terbentuk hubungan baik antar eks militer antara veteran Divisi Siliwangi dan Divisi 7 December.

"Mereka (Siliwangi dan 7 December) itu kemudian bersepakat bahwa yang sudah, sudahlah. Jangan dipersoalkan lagi. Toh itu sudah sampai kepada suatu peristiwa perundingan konferensi besar KMB, kedua belah pihak membuka kesempatan pada hubungan Indonesia dan Belanda yang lebih baik di masa depan," lanjutnya.

Tapi hal itu buyar seketika ketika pada sekira tahun 2005, terungkap kasus Rawagede hingga membuat seolah-olah, pernyataan bersama tersebut tak lagi berlaku.

"Sekarang mereka juga mau menyelidiki 'Masa Bersiap'. Masalahnya, kenapa itu tidak dibuka dari dulu? Padahal terjadi di kota-kota besar, seperti Batavia, Surabaya, Bandung, Semarang, Ambarawa, juga di Malang," imbuhnya.

"Ceritanya kan pahit semua, nih. Jadi permasalahannya kalau kita mau jujur melihat, memang ada persoalan sosial politik antara Indonesia dan Belanda yang belum selesai. Celakanya di Belanda banyak yang tidak tahu pokok ceritanya, lebih parah di Indonesia. Banyak yang akhirnya membuat sejarah baru dan menjadikan masalah," sambung Rushdy.

Terakhir, Rushdy juga mengomentari buku karya Limpach yang disebutkan di atas. "Ini dia (Limpach) bodoh juga. Buat apa mengutik-utik yang kemudian jadi permasalahan baru yang juga membuat pusing orang Belanda. Dengan sinis dia menyimpulkan bahwa Belanda itu memang jahat," ungkapnya lagi.

"Pada 1996 itu sebenarnya (kesepakatan bersama Siliwangi dan 7 December) sudah bertujuan baik. Selesai sudah sebenarnya secara personal maupun kelompok.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search