Tapi isu itu ditepis mantan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Sabran Achmad (87). Menurut Sabran, kedatangan Bung Karno ke Kalteng tidak lain untuk meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi.
Sabran merupakan salah satu saksi hidup peristiwa kedatangan Bung Karno ke Palangkaraya. Kala itu jarak dia dengan Bung Karno hanya sekitar 100 meter. Dia masih mengingat dengan jelas pidato Bung Karno yang disampaikan dengan berapi-api di hadapan rakyat Kalimantan.
"Saya tidak pernah mendengar bahwa beliau katakan Palangkaraya itu dicanangkan sebagai ibu kota negara, belum pernah mendengar saya. Belum pernah mendengar selama pidato beliau. Wah pidato beliau sebagai presiden berapi-api, toh, ini provinsi ke-17, provinsi yang dicita-citakan dari tidak ada menjadi ada. Provinsi yang diadakan di tengah rimba hutan Kalimantan," cerita Sabran saat ditemui detikcom di Palangkaraya, Rabu (18/1/2017).
Tugu Soekarno, Palangkaraya (Edward Febriyatri Kusuma/detikcom) |
Sabran menegaskan tidak ada dalam pidato beliau setelah menancapkan pilar bahwa Palangkaraya adalah ibu kota negara. Peristiwa tersebut diceritakan tanpa menunjukkan raut wajah keraguan saksi sejarah.
"Saya masih muda waktu itu, masih kuliah. Tetapi saya tidak tahu kalau dia (Bung Karno) bercerita pada forum lain di Banjarmasin, saya tidak tahu. Tetapi pada waktu itu, pidatonya tidak ada seperti itu," kata Sabran.
Sabran mengatakan kedatangan Bung Karno ke Kalteng juga untuk membangun kesejahteraan masyarakat Dayak. Dipilihnya Palangkaraya sebagai ibu kota Provinsi Kalteng tidak lain untuk memudahkan akses kebutuhan orang banyak.
"Bung Karno mengharapkan agar ibu kota Kalteng dibangun dari tidak ada menjadi ada, dibangun dari hutan-hutan rimba. Kenapa didirikan ibu kota di sini? Karena ini praktis, agar semua orang Dayak mudah ke ibu kotanya, agar mereka bisa dibina pendidikan, ekonomi. Saya hadir pada saat itu dan saya tidak pernah dengar pidato Bung Karno yang (menyatakan) menjadikan ibu kota negara, saya belum pernah," kata Sabran.
Sabran mengatakan dibangunnya Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi supaya martabat masyarakat Dayak bisa terangkat.
"Sehingga tidak ada lagi konotasi jahat 'orang Dayak makan orang', 'orang Dayak bodoh', 'orang Dayak miskin', dan macam-macam," tuturnya.
Sabran mengatakan, setelah pemerintahan Provinsi Kalteng ini berjalan efektif di bawah kepemimpinan Tjilik Riwut, barulah lokasi tiang tersebut mendapat renovasi dan pemugaran menjadi tugu.
"Belakangan baru dibuat batu dilapisi dengan batu. Kecil dulu, itu berapa puluh kali perbaikan. Kayu ulin itu saya kira 500 tahun tahan, baru kayu ini dilapisi batu dan aksesorinya. Begitu riwayat tugu, saya tahu betul," paparnya.
Sabran Achmad (Edward Febriyatri Kusuma/detikcom) |
Sabran mengatakan, soal adanya patung Bung Karno yang menunjuk ke lokasi tiang pancang tersebut, patung itu baru beberapa tahun belakangan ini dibuat oleh eks Gubernur Kalteng Teras Narang pada akhir masa jabatannya.
"Itu tokoh-tokoh masyarakat tidak ada yang tahu. Tinggal didirikan saja, menurut saya selaku orang tua dan orang tahu sejarah Kalteng tidak tepat patung Bung Karno ada di sana, kenapa tidak buat satu monumen dibuat tempat terhormat dan yang mulia. Ini proklamator loh, taruh di tepi sungai pinggir kali, kalau erosi ? Itu 10 meter sampai 20 meter sungai. Coba dibuat tempat baik bisa dilihat tempat seberapa abad, dan tempat kecil sekali. Baru saja kemarin itu baru tahun 2014. Itu proyek dadakan," tuturnya.
(rvk/tor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar