Kamis, 26 Januari 2017

Kisah Nurul Huda dan Rini Astutik, Mediator Perceraian Termuda di PA Sidoarjo Sempat ...

Selasa (24/1) menjadi hari yang sibuk bagi Nurul Huda. Salah seorang mediator di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo itu harus menuntaskan pekerjaan memediasi pasangan suami istri (pasutri) yang ingin bercerai. Bukan hanya satu pasangan, tapi lima pasangan. Satu per satu pasangan yang sepakat menempuh jalur mediasi menemui Huda.

Ruang mediasi di PA yang terletak di lantai dua itu tidak terlalu besar. Ukurannya hanya 3 x 7 meter persegi. Terpisah dengan ruang sidang perceraian. Ruang tersebut disekat menjadi dua bagian. Satu bagian untuk ruang kerja para mediator, sedangkan bagian yang lain digunakan untuk mediasi.

Beragam alasan dikemukakan pasutri saat berhadapan dengan Huda. Mereka mencurahkan isi hatinya kepada pria 28 tahun itu. Mulai awal mula perpecahan dalam rumah tangga sampai memutuskan perceraian.

Dengan penuh kesabaran,Huda mendengarkan semua curhat dari suami dan istri. Sebagai mediator, bapak satu anak tersebut tidak bersikap sok mengerti. Dia juga tidak mendukung salah satu pihak dengan memberikan pembenaran atau sikap yang menyalahkan. Huda benar-benar bersikap netral.

Kemarin, ada pasutri yang menjalani mediasi dengan emosi. Suami mengajukan cerai talak dengan alasan istri memiliki pria idaman lain (PIL). Dalam proses tersebut, sang istri mengakui memiliki hubungan spesial dengan lelaki lain. "Istri merasa kurang perhatian dan kasih sayang dari suami," kata Huda setelah mediasi.

Alasan itulah yang membuat emosi suaminya membuncah. Sang suami menganggap alasannya terlalu sepele. Di sanalah, Huda mengambil peran dengan memberikan arahan dan masukan. Akhirnya, suami menyadari kekhilafannya. Sang istri pun ikhlas diceraikan. Dia juga mengaku bersalah atas hubungan terlarang yang dijalin dengan lelaki lain. "Akhirnya, keduanya sepakat bercerai dengan damai," lanjutnya.

Meskipun tetap terasa pedih bagi yang mengalami, akhir cerita perceraian tanpa masalah seperti itu membuat Huda ikut bersyukur. Meski harus berpisah, mereka tetap bisa akur. Tidak terjadi keributan ataupun pertengkaran yang berujung permusuhan.

Sebagai seorang mediator, pria kelahiran Sampang tersebut sadar bahwa membuat damai dua pihak yang berselisih paham tidaklah gampang. Apalagi, bagi mereka yang sudah mantap untuk berpisah.

"Banyak yang beranggapan mediasi ini untuk perdamaian supaya tidak terjadi perceraian," ucap alumnus UIN Malang itu. Padahal, tujuan mediasi bukan semata-mata untuk mendamaikan. Melalui proses tersebut, pasangan suami istri bisa memahami hak dan kewajiban selama dan pasca perceraian. Terutama soal hak anak yang dihasilkan dalam perkawinan.

Selama ini, banyak pihak yang acuh terhadap permasalahan "turunan" setelah mengakhiri pernikahan. Sering kali mereka tidak memikirkan soal harta gono-gini atau hak asuh anak. Mereka menganggap semua permasalahan beres saat palu hakim menetapkan perceraian dikabulkan. Padahal, dalam perkawinan mereka, ada hak anak yang harus dilindungi.

"Akhirnya, mereka balik lagi ke sini. Mengurus hak asuh anak," ujar Huda sambil geleng-geleng kepala. Permasalahan tersebut tidak akan ditemui jika pasutri menempuh jalur mediasi.

Selama ini, tidak semua pasutri yang mengajukan perceraian menempuh jalur tersebut. Di antara lebih dari 4.000 perkara perceraian yang masuk ke PA tiap tahun, hanya 700–800 pasutri yang mengambil langkah mediasi terlebih dulu.

Ada pasangan yang setelah menjalani mediasi tetap melanjutkan perceraian dengan hati yang lebih tenang. Ada juga yang justru berpikir ulang untuk berpisah. Bahkan, beberapa pasangan akhirnya memutuskan untuk tidak jadi mengakhiri biduk rumah tangga dan rujuk kembali.

Rini Astutik, mediator lain, menuturkan bahwa banyak pihak yang belum paham soal tujuan mediasi. Padahal, mediasi juga masuk dalam hukum acara. Hal itu merupakan proses awal sebelum para pihak masuk materi pokok persidangan.

"Selama ini yang mereka tahu mediasi agar bisa damai, rujuk," ucap perempuan 29 tahun itu lantas tersenyum.

Sebagai seorang mediator, Rini harus memiliki mental baja. Menjadi "keranjang" penerima luapan kemarahan kerap dialaminya. Ibu satu anak tersebut menyadari, mereka yang datang ke PA memiliki beragam masalah. Bagaikan menyaksikan sinetron kehidupan. Rini pernah mengalami kejadian seorang istri yang pingsan setelah menangis histeris karena tidak terima diceraikan saat mediasi. Dia dan petugas pengadilan pun menggotongnya ke musala untuk disadarkan.

Ada pula suami yang memohon-mohon sampai bersimpuh di kaki istri agar tidak terjadi perceraian. Juga, ada suami yang emosi dan melempar barang ke muka istri. "Makanya, dalam mediasi, di meja tidak boleh ada barang-barang agar tidak ada yang terluka," tegasnya.

Rini pernah diancam salah seorang pihak yang bercerai karena tidak terima atas gugatan pasangannya. Jika perceraian tetap dilakukan, pengadilan akan dibuat gempar. Ada juga suami yang mengancam membunuh istrinya jika tetap ngeyel berpisah. "Yo wis iku resiko (itu sudah risiko). Kami harus terima," kata ibu satu anak tersebut.

Di PA Kota Delta, Huda dan Rini yang bergabung sejak 2012 merupakan mediator termuda. Kala itu mereka belum berumah tangga. Sering kali masukan dan nasihat mereka diacuhkan karena dianggap tidak memiliki pengalaman berumah tangga.

Saat ini total ada tujuh mediator di PA. Lima mediator lainnya merupakan pensiunan hakim dan hakim tinggi. Bidang tugas mereka tidak hanya di Kota Delta, sedangkan Rini dan Huda tetap setia di PA Sidoarjo saja. (*/c21/pri/sep/JPG)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search