TIDAK pernah terbayangkan di benak Irfan Prabowo bahwa dirinya bisa menjadi seperti saat ini. Menjadi aktivis sosial, mengikuti banyak komunitas, serta menjadi inisiator Saung Mimpi, komunitas yang berfokus pada kegiatan pendidikan berbasis minat dan bakat.
Bak sulapan, Fanbul –kependekan Irfan Gembul, panggilan akrabnya– yang dulu supernakal bisa berubah menjadi sosok pemuda yang bermanfaat. Bahkan, berkat aktivitas sosialnya, Fanbul kini sering diminta untuk memberi inspirasi generasi muda di berbagai negara.
"Jalan hidup saya memang penuh liku," ujar Fanbul ketika disambangi di kantor konsultan komunikasi yang sedang dirintisnya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (7/5).
Mendengar kisah masa lalu pemuda 25 tahun itu, barangkali sebagian orang sulit percaya. Tak ada yang menyangka bahwa Fanbul, yang saat masih duduk di bangku sekolah terkenal sebagai tukang bikin onar, bolos, dan tawuran, sekarang menjadi anak manis. Penampilan yang dulu amburadul kini menjadi rapi, wangi, dan tertib.
Sambil tersenyum, Fanbul mengenang kisahnya 12 tahun silam. Saat itu dia merasa paling jagoan di sekolah. Apalagi dengan tubuh bongsor dan gembul. Hampir tidak ada yang berani macam-macam dengan dia. "Pokoknya, di sekolah tidak ada yang berani dengan saya," tuturnya.
Berkali-kali Fanbul bersama gengnya membuat onar di jalanan. Ujung-ujungnya tawuran dengan murid sekolah lain. Kondisi itu membuat pihak sekolah kehilangan kesabaran. Fanbul pun dikeluarkan dari sekolah. Sedikitnya tiga kali dia terpaksa pindah sekolah.
Semula, Fanbul tercatat sebagai siswa di SMPN 41 Jakarta. Begitu sekolah tak mampu membinanya lagi, dia dikeluarkan, lalu pindah ke SMPN 131 Jakarta. Tapi, setali tiga uang, karakter rebel yang sudah melekat di jiwanya membuat Fanbul kembali bikin ulah. Tak terhitung berapa kali dia terlibat "perang jalanan" dengan siswa sekolah lain. Karena itu pula, dia kemudian di-DO untuk kali kedua.
''Saya dulu nggak tahan sama yang namanya rutinitas. Apalagi teman sepermainan saya juga bandel-bandel. Jadi, pas lihat anak yang baik-baik, rasanya mau mukulin aja,'' urainya, lantas terbahak.
Seperti mencari identitas diri, Fanbul mencoba untuk masuk ke salah satu sekolah kejar paket B di Jakarta. Di sana dia berteman dengan sopir angkot, pengamen, dan pemulung. Dia menjadi peserta termuda saat itu.
''Di sekolah seperti itu, saya justru menemukan kenyamanan dalam belajar. Soalnya, jam belajarnya fleksibel dan atmosfernya menyenangkan. Teman-teman yang sudah tua-tua itu juga lebih nyambung kalau diajak ngobrol,'' kenang dia.
Lulus mengantongi ijazah kejar paket B, Fanbul mencoba kembali masuk ke sekolah formal. Namun, karena punya track record yang buruk, dia hanya bisa masuk ke SMA yang bukan unggulan. Parahnya, di sekolah itu, kenakalan Fanbul makin menjadi-jadi.
Sehari-hari Fanbul menghabiskan waktu dengan bermain gameonline dan nongkrong bersama teman-temannya. Tak jarang ''penyakit'' tawurannya kumat. Akibatnya, lagi-lagi dia dikeluarkan dari sekolah untuk kali ketiga. Tapi, Fanbul malah senang. Sebab, dia jadi leluasa bermain game online sepuasnya.
''Dari main game itu, saya pernah dapat uang Rp 30 juta sebulan,'' kata pria berkacamata tersebut.
Menurut Fanbul, kala itu dirinya malas bersekolah semata-mata bukan karena tidak senang sekolah, melainkan sistem dan kurikulumnya yang tidak cocok. Karena itu, dia pun tetap bersekolah meski di sekolah kejar paket.
''Saya yakin, ada anak yang bisa sukses di sekolah formal, tapi ada juga yang bisa sukses di sekolah informal. Kebetulan, saat itu saya tidak cocok dengan sistem pendidikan di sekolah itu,'' ungkapnya berapi-api.
Berbekal keyakinan tersebut, Fanbul lantas melanjutkan studi di Sekolah Masjid Terminal di daerah Depok. Sekolah itu ditujukan untuk anak-anak jalanan dan masyarakat yang termarginalkan. Dia pun lulus dengan membawa ijazah kejar paket C.
''Dulu, yang namanya sekolah kejar paket itu dianggap remeh. Nggak diakui masyarakat. Identik dengan orang yang nggak mampu atau bermasalah di sekolah biasa,'' katanya.
''Saya pun sempat malu dicibir begitu. Soalnya, kakek saya adalah kepala sekolah,'' tambah Fanbul.
Meski demikian, dia berupaya tetap bertahan dan tidak menghiraukan berbagai cibiran tersebut. Dia punya keyakinan, anak yang bandel belum tentu tidak akan sukses hidupnya. Sebab, setiap orang pasti memiliki nilai lebih yang bisa berguna bagi masyarakat.
''Sebagai bentuk protes karena sering diremehkan, sekalian tuh saya tempel surat DO saya di pintu kamar. Biarin jadi bahan tertawaan orang-orang yang bertamu di rumah,'' ucapnya, lantas tertawa.
Fanbul menceritakan, ibunya sempat stres melihat kelakuan anak bungsunya itu. ''Waktu ibu saya tanya apa cita-cita saya, dengan enteng saya jawab mau jadi penjaga warnet,'' katanya. ''Ibu mana yang nggak tertohok hatinya dengan jawaban anaknya itu,'' lanjutnya.
Namun, titik balik hidupnya akhirnya datang juga. Hal itu terjadi pada 2010. Saat itu Fanbul sudah kuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Di Kota Pendidikan tersebut, dia mulai menemukan tujuan hidup yang jelas. Nilai-nilai positif itu terus tumbuh seiring pergaulannya yang benar.
Salah satu momen yang tidak bisa dilupakannya adalah ketika Gunung Merapi meletus pada 2010. Tiba-tiba jiwanya terpanggil untuk menjadi relawan bencana alam itu. Bersama teman-teman kuliahnya, Fanbul pun menjadi volunter.
''Waktu Merapi meletus, jiwa gamer dan tawuran saya langsung bereaksi. Adrenalin yang terpacu membuat saya langsung mengajak teman-teman untuk mendaftar jadi relawan. Dari situ, saya merasakan menjadi volunter itu asyik,'' kenangnya.
Sejak itu, aura positif terus dibawa Fanbul. Bahkan, pada 2012, bersama calon gubernur DKI terpilih Anies Baswedan, dia menginisiatori Forum Jogja Peduli untuk menampung komunitas-komunitas di Jogja. Dia menganggap, ratusan komunitas di Kota Gudeg tersebut masih berjalan sendiri-sendiri dan bersaing satu sama lain.
''Padahal, tujuan mereka bagus. Tapi, kenapa harus jalan sendiri-sendiri? Forum itu kami gunakan untuk menjadi pemersatu komunitas-komunitas tersebut,'' ujarnya. Kini Forum Jogja Peduli beranggota 175 komunitas.
Setahun berikutnya, Fanbul membentuk komunitas Saung Mimpi. Komunitas pendidikan yang berbasis minat dan bakat itu membidik anak-anak dari keluarga tidak mampu untuk diajak bersekolah. Proses belajarnya informal untuk membekali anak-anak pendidikan dasar, termasuk akhlak, serta pendidikan keterampilan.
Komunitas itu pernah dibawa Fanbul dalam sebuah ajang Indonesia Movement Conference di Jakarta. Hasilnya, Saung Mimpi dinyatakan sebagai pemenang utama.
Dari situlah ''karir'' Fanbul terus berkembang. Dia pun sering diundang untuk berbicara dalam forum-forum resmi di berbagai kota, bahkan di berbagai negara. Misalnya, dia pernah diminta menjadi pembicara di Amerika Serikat, Hongkong, India, Vietnam, Singapura, dan Malaysia.
Hal itulah yang membuat Fanbul makin bersemangat menyebarkan ''virus inspiratif'' tersebut di kalangan anak-anak muda. Dia juga punya satu obsesi yang belum terwujud. Yakni, menyelesaikan kuliahnya di UII, lalu meneruskan S-2 di Leicester, Inggris.
''Bapak saya ingin melihat saya diwisuda sarjana. Terakhir kali saya diwisuda saat SD dulu,'' katanya, lalu tertawa lebar. (*/c11/ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar