Diaspora merujuk pada orang Indonesia yang merantau ke mancanegara. Tujuannya bisa menempuh pendidikan, pindah domisili, atau berkarir untuk kehidupan yang lebih baik. Banyak di antara mereka yang meraih sukses.
—–
PENYANYI Anggun C. Sasmi merupakan salah satu sosok diaspora yang populer. Perempuan berdarah Jawa yang kini menjadi warga negara Prancis itu sukses berkarir di Negeri Menara Eiffel tersebut. Dalam 4th Congress of Indonesia Diaspora pekan lalu (1/7), istri Christian Kretschmar itu hadir sebagai pembicara dan penampil di sesi konser.
Mengisi sesi Supermentor, pelantun Snow on Sahara tersebut membagikan cerita hidupnya hingga akhirnya bisa bersinar di Paris. Anggun mengungkapkan, saat berkarir di Indonesia pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an, dirinya cukup populer. "Album populer, tawaran manggung mengalir terus. Belum lagi lagu-lagu saya sangat ngehit di masanya," kata dia.
Hingga akhirnya perempuan 43 tahun itu membuat label rekaman sendiri untuk memperkuat statusnya sebagai musisi. Namanya Bali Cipta Records. Lagu dan album dia buat sendiri dan selalu sukses. Hingga suatu ketika, Anggun memiliki mimpi yang lebih besar, yakni menjadi penyanyi di tingkat internasional. Bagi Anggun, jika dirinya merasa nyaman dengan popularitas dan kesuksesan di Indonesia, karirnya berada dalam bahaya.
Maka, pada 1994 Anggun melakukan hal yang cukup nekat. Dia menjual label rekamannya dan menggunakan uang yang dimiliki untuk hijrah ke luar negeri. Memulai hidup sebagai diaspora. Pilihannya jatuh ke Benua Eropa. Sebab, Eropa kaya budaya dan sarat seni. Tujuan pertama Anggun bukan Paris, melainkan London, Inggris. Di sana Anggun benar-benar sendiri tanpa teman atau saudara.
"Saya benar-benar mulai nol. Cari kenalan produser, pemilik label rekaman, dan koneksi di dunia musik London," katanya.
Anggun harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Dengan ketekunannya, Anggun sukses berkenalan dengan pengelola label rekaman dan produser musik di London. Setelah membuat album demo berisi enam lagu yang dia ciptakan dan rekam sendiri, Anggun memberanikan diri menawarkan karyanya ke label rekaman.
Sayang, karakter vokal Anggun dinilai kurang kuat sebagai penyanyi solo. "Saya ditawarin cari teman sesama orang Asia buat dijadikan girlband," ujarnya menggeleng kuat-kuat. Anggun enggan menjadi kelompok vokal. Merasa kurang bisa berkembang di Inggris, Anggun akhirnya pindah ke Paris.
Suasana kota yang nyeni dinilai bisa mendukung karir bermusiknya. Sama seperti di London, Anggun juga mencari sendiri produser dan pemilik label rekaman. "Sekalian belajar bahasa Prancis," ucapnya.
Upaya Anggun mulai menghasilkan. Dia bertemu dengan produser musik Erick Benzi yang pernah membantu penggarapan album Celine Dion. Benzi terpukau dengan karakter vokal Anggun yang kuat. Di bawah bimbingan Benzi, Anggun sukses merilis album Snow on Sahara di bawah label Columbia Records dan Sony Music International. Namanya semakin berkibar di Prancis sehingga sering melakukan konser dan memenangkan penghargaan.
Aktris sekaligus penyanyi Maudy Ayunda punya cerita berbeda. Dia sukses menempuh pendidikan sebagai diaspora. Pelantun Untuk Apa itu berkuliah di salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia, University of Oxford, Inggris. Padahal, untuk bisa masuk ke sana, Maudy harus menjalani seleksi yang tidak mudah. "Pesaingnya berasal dari banyak sekali negara," ujar Maudy di sesi Living and Working Abroad.
Maudy pun sempat minder ketika hendak mendaftar. Dia cemas tidak sanggup menembus proses seleksi. Diungkapkannya, seleksi bukan hanya tes akademis. Dia juga harus menjalani sesi wawancara dengan tiga penanya seputar jurusan yang diambil: politik, ekonomi, dan filsafat. "Pertanyaannya benar-benar mendalam," katanya.
Setelah diumumkan masuk ke Oxford pada 2013, tantangan Maudy belum selesai. Sebagai orang Indonesia yang terbiasa hidup bersosialisasi, dia harus beradaptasi dengan budaya yang sangat individualistis. Hampir semua hal dilakukan sendiri. Untuk menjalin relasi atau berkelompok pun, Maudy harus berupaya keras.
"Intinya, hidup di luar negeri itu harus mau terbuka, baik hati maupun pikiran," tutur Maudy. Dia pun berhasil lulus dengan nilai memuaskan pada 2016. Menyelesaikan pendidikan tinggi di Oxford dalam waktu tiga tahun merupakan capaian yang perlu diapresiasi.
Diaspora lain Yoshi Sudarso sukses menjadi orang Indonesia pertama yang mendapat peran sebagai Power Rangers. "Saya terpilih sebagai Power Ranger Biru untuk Power Rangers: Dino Charge," ujar pria 28 tahun itu.
Yoshi sejatinya lahir dan besar di Indonesia. Masa kecilnya dihabiskan di kawasan Cinere, Depok. Lantas, pada usia 8 tahun, Yoshi dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat. Setiba di sana, Yoshi yang hobi olahraga ekstrem bercita-cita menjadi aktor laga atau stuntman. Entah dalam film atau pertunjukan live.
Berbagai casting pun diikuti. Namun, Yoshi mengaku mendapat perlakukan rasis dari rumah produksi atau casting director. Sebagai orang Asia, Yoshi dinilai tak cocok memerankan karakter film action. "Katanya, orang Asia lebih cocok jadi kutu buku atau sosok yang lemah," ucap Yoshi, lantas tertawa.
Selain itu, perawakan Yoshi menjadi sorotan. Tubuhnya terlalu kekar untuk orang Asia. Alhasil, Yoshi sulit mendapat peran sebagai orang Asia yang kerap jadi korban dalam sebuah cerita film. "Rasisme masih menghambat karir orang Asia pada masa itu," kenangnya.
Suatu ketika Yoshi mengirim video aksi bela diri dan gerakan ekstrem lainnya ke penyelenggara casting pemeran Power Ranger Biru untuk Power Rangers: Dino Charge. Adik Yoshi, Peter Sudarso, pun demikian. Rupanya, wajah Asia dan kemampuan bela diri mengantarkan suami Sarah Louise Garcia itu mendapat peran pahlawan idamannya. Nama Yoshi pun semakin dikenal di kalangan anak-anak. Bukan hanya Power Rangers, Yoshi juga menjadi stuntman untuk film The Maze Runner dan aktor di pertunjukan live Waterworld. Itu diraih berkat kegigihannya mengikuti sejumlah casting.
Yoshi kini sering terlibat dalam beberapa film. Misalnya film pendek It's Asian Men dan Two Bellmen Three serta serial superhero Agents of S.H.I.E.L.D. Sedangkan Peter memperoleh peran sebagai Power Ranger Biru di serial Power Rangers: Ninja Steel. "Sebagai orang Indonesia, hubungan saudara itu sangat penting. Hingga kami sama-sama dapat peran sebagai Power Rangers," ujar Yoshi.
Selain Yoshi dan Peter, kakak beradik diaspora yang juga sukses adalah Tasia dan Gracia Seger. Keduanya merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi pemenang kontes memasak My Kitchen Rules, kontes memasak paling populer di Australia. Pada 2016 Tasia dan Gracia terpilih sebagai pemenang My Kitchen Rules musim ke-7.
Mulai Februari hingga April 2016, Tasia dan Gracia menjalani syuting sekaligus berlomba memasak. Minder merupakan hal yang dirasakan kedua kakak beradik asal Jakarta tersebut. "Kami awalnya menargetkan masuk sepuluh besar atau lima besar saja," ujar Gracia. Dia merasa dirinya dan sang kakak tak punya modal cukup untuk menang. Tasia berkuliah di bidang psikologi, sedangkan Gracia di bidang biomedis. Tak ada hubungannya dengan kuliner atau tata boga.
Namun, dukungan keluarga selayaknya yang didapat orang Indonesia selalu menjadi motivasi keduanya. Apalagi, sang ibu Shianne selalu memberi mereka referensi resep untuk dimodifikasi kala perlombaan berlangsung. "Resep mama sama oma benar-benar membantu kami. Benar ya, dukungan keluarga itu luar biasa," tegas Gracia.
Saat berlomba pun, Tasia dan Gracia kompak dan konsisten menyajikan masakan Indonesia. Terlebih makanan kaki lima seperti jajanan pasar atau sate ayam. Yang bikin kagum, para juri dibuat terpukau dengan kuliner Indonesia racikan Tasia dan Gracia. "Itu berarti kita sebagai orang Indonesia mesti bangga dengan budaya kita dan tidak malu memperkenalkannya," tutur Tasia. (len/c9/oki/JPG/r8)
Komentar
Komentar
loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar