KOMPAS.com - Makanan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja. Dewasa ini, makanan juga memiliki peran dalam kehidupan sosial.
Seperti yang ditulis dalam makalah "Siput Milenial yang Inovatif: Cerita tentang Slow Food University of Wisconsin", yang ditulis oleh Lydia Zepeda dan Anna Reznickova.
Dalam jurnal yang diterbitkan secara online di Agriculture and Human Values sejak 8 Juni 2016 itu, mereka mengungkapkan fakta mengejutkan terkait makanan.
Slow Food University of Wisconsin (SFUW) menceritakan kelompok siswa yang terus tumbuh. Dari ide seorang perempuan menjadi komunitas besar dengan anggota lebih dari 3.200 orang.
SFUW mendedikasikan diri untuk membuat pangan yang berkelanjutan, diproduksi secara cukup, dan makanan lezat yang bisa didapatkan di sebuah kota kecil dengan harga terjangkau. Inovasi pangan ini dipandang berkelas.
Baca juga: "Urban Farming", Mungkinkah Jadi Solusi Masalah Pangan
SFUW merupakan adaptasi dari Slow Food International (SFI) yang dibentuk di Paris pada 1989, yang mempromosikan gaya hidup berkualitas.
"Lezat, bersih, dan makanan yang adil," dijadikan slogan untuk mempromosikan makanan sehat, di mana pangan disiapkan dengan bahan lokal dan harga yang adil untuk konsumen, produsen, juga buruh.
"Slow Food University of Wisconsin-Madison (SFUW) dapat dicirikan sebagai inovasi sosial. Penyelamatan kebutuhan sosial yang timbul dari kegagalan pasar atau pemerintah," seperti ditulis dalam The Journal of Applied Behavioral Science.
Dalam jurnal tersebut, mereka tidak hanya menceritakan tentang awal mula SFUW.
Kelompok ini mampu membuka mata bahwa makanan memiliki peran untuk membangun jaringan, kemitraan, dan tujuan bersama.
SFUW yang dibentuk 2007 oleh alumni dan anggota keluarga Slow Food Madison, Genya Erling. Kebutuhan sosial yang dirasakan Genya, ingin membuat makanan enak, bersih, dan adil.
Saat itu, dia melihat Slow Food Madison sebagai gaya hidup yang mahal, yakni 50 dollar per orang.
Setelah mendapatkan sponsor fakultas yang mampu menekan harga, Genya berhasil mengumpulkan belasan siswa untuk belajar memasak dan memanfaatkan pangan lokal yang tersedia di asrama atau restoran murah.
Baca Juga: Krisis Pangan Mendunia, Benarkah Dipicu Migrasi Penduduk Desa
Dari hal yang dilakukan Genya tersebut, secara tidak langsung membangun kompetensi dan aktivitas sosial.
Mereka terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan motivasi otonomi. Banyak dari siswa Genya berhasil membuat makanan enak sederhana, seperti aneka macam kue.
Dari kegiatan tersebut, keterampilan memasak siswa terlatih. Mereka juga membahas sistem pangan dan akses mendapatkan bahan pangan. Mereka mampu menciptakan komunitas untuk mengubah sistem pangan.
"Ini sesuatu yang tidak dapat dilakukan sendiri. Hubungan ini mampu membangun masyarakat lebih kuat secara keseluruhan dan Anda tidak merasa asing saat melakukannya," kata Genya.
Satu tahun setelah komunitas itu terbentuk, mereka diminta pindah untuk memasak di luar lingkungan Universitas.
Salah satu anggota mengetahui bahwa ada sebuah gereja terdekat, the Crossing, yang ingin membuka kafe untuk menumbuhkan kepemimpinan siswa dan berkelanjutan. Dari sinilah lahir kemitraan.
Kisah Slow Food University of Wisconsin bisa memberi inspirasi tentang konsumsi pangan yang sehat, berkelanjutan, dan adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar