Maklum, nyaris tidak ada karya Kho Ping Hoo yang berjilid tipis. Mereka adalah penekur cersil yang tumbuh kembang di rentang medio 60-90an. Generasi zaman old. Bukan zaman now yang lebih banyak terbirit-birit bacaan teenleet dan semacamnya. Tidak hanya menikmati narasi adu jotos, kecerdikan jurus beladiri, sabetan pedang, tikaman trisula, kibasan toya atau tebasan golok pendekar.
Deskripsi yang dibangun Kho mampu menyihir pembaca seolah-olah tengah menikmati adegan perkelahian silat di layar lebar. Dari cerita silatnya yang berarus kesedihan, tawa, jengkel dan amarah, tidak sedikit pembaca mendulang nilai kebijakan dan kebajikan.
Mendiang artis Suzanna dan juga Marini kerap meminta petuah tentang hidup kepada Kho Ping Hoo.
Namun penyakit jantung menamatkan riwayatnya. Kabar duka itu secara cepat tersiar dari mulut ke mulut, bergema dari telinga ke telinga. Para penyuka cerita silat (cersil) Bu Kek Siansu, Pedang Ular Merah (1960), Darah Mengalir di Borobudur (1960), Iblis Mengamuk Di Mataram (Jakarta, 1961), Si Naga Merah (Jakarta, 1962) dan ratusan judul cerita silat lainnya sontak bergerak.
Mereka berkabung, menangisi kepergian Asmarawan Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat bersambung yang namanya telah melegenda. Kho Ping Hoo tutup usia pada 22 Juli 1994, diumur 68 tahun ajal menjemputnya.
Myra Sidharta, penulis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia mencatat, jasad Kho diantar berbondong bondong penggemarnya menuju ruang pembakaran (krematorium). Di pantai selatan para "follower" dengan ragam latar belakang itu mengiring abu jenazah Kho Ping Hoo.
Serupa kisah cersilnya, abu Kho ditaburkan. "Ribuan penggemarnya datang melayat dan mengantar jasadnya (Kho Ping Hoo)," tulis Myra dalam buku biografi delapan penulis peranakan, Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman.
Keluarga Tionghoa Jawa
Kho Ping Hoo lahir di Sragen, Solo Jawa Tengah pada 17 Agustus 1926. Dia berasal dari keluarga peranakan Tionghoa Jawa. Nenek dari garis ayah adalah orang Jawa. Begitu juga buyut dari silsilah ibu. Juga berdarah Jawa. Tidak heran, meski kulit dan gestur muka Tionghoanya lebih tergurat, Kho fasih bertutur kata Jawa, baik tinggi (Kromo Inggil) maupun rendah (Ngoko). Dia juga piawai menulis aksara Jawa modern dan kuno.
Dibanding tradisi leluhur Tionghoa, keluarga besar Kho Ping Hoo lebih mendekatkan budaya Jawa kepada anggota keluarganya.
Pendekatan itu yang membuat Kho mengenal kebudayaan Jawa dengan baik. Dia faham kisah-kisah wayang, termasuk laku kebatinan Jawa. Bahkan Kho juga penganut gerakan Subud, yakni gerakan mistik yang meliputi bermacam macam agama. Dari ayahnya, Kho Ping Hoo mengenal seni bela diri yang kelak menjadi salah satu sumber bahan cerita silatnya.
Melalui disiplin latihan yang keras, ayahnya seorang pendekar aliran Siau Liem Sie mewariskan ilmu silatnya. Kho pernah disuruh menjerang air diatas arang. Gemblengan itu untuk memperkokoh kuda kudanya.
"Saya baru boleh berhenti setelah airnya mendidih, "tutur Kho Ping Hoo dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984. Dari buku buku ayahnya, dia banyak menimba pengetahuan ilmu gaib, ilmu hipnotis dan telepati. Bahkan Kho sangat tertarik membongkar rahasia rahasianya.
"Ayahnya seorang tengkulak gula yang memiliki 15 anak. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan bertapa. Mereka hidup di garis kemiskinan, "tulis Myra Sidharta.
Kho mengenyam pendidikan pertama kali di sekolah Kristen (HIS Zending School). Secara formal dia belajar bahasa Belanda dan Melayu. Namun karena tak sanggup membayar, Kho hanya diizinkan mengikuti pelajaran sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar