
Masalah itu adalah rendahnya keterlibatan dalam program pupuk bersubsidi, khususnya dalam rencana definitif kebutuhan kelompok. Dari hasil survei dan wawancara, terungkap, peran perempuan baru sebatas pada tampilan, itupun sangat terbatas baik dari sisi jumlah maupun frekuensinya.
Perempuan yang diwawancara yaitu Denda Kusmawati, Denda Munipa, dan Denda Singadin yang berasal dari Desa Bayan dan Desa Loloan di Kecamatan Bayan sudah tidak pernah terlibat dalam penyusunan RDKK, sementara pupuk subsidi menjadi kebutuhan wanita tani. Mereka juga mengatakan tidak paham soal penggunaan pupuk secara berimbang.
"Ibu-ibu ini juga tidak pernah membuat pupuk sendiri atau pupuk organik, mereka hanya tergantung pada pupuk subsidi pupuk urea," kata mereka dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Rabu (27/12).
Persoalan sistem sosial yang patriarki dan masalah adat istiadat juga menjadi masalah utama yang membuat perempuan tani termarginalkan. Padahal di sisi lain, kepercayaan adat sebenarnya membuka peluang juga bagi adanya peningkatan peran perempuan dalam pertanian, khususnya dalam program pupuk bersubsidi.
Kisah "Jedo Pare Tonu Wujo" sebagai mitologi Suku Lamaholot, Flores Timur, misalnya, memberikan peluang bahwa kepercayaan adat juga bisa mendorong penghormatan dan pengakuan atas peran perempuan dalam pertanian.
Lamaholot adalah suku terbesar di Kabupaten Flores Timur. Suku ini mendiami Pulau Flores bagian Timur, Pulau Adonara, Pulau Solor sampai ke Pulau Lembata. Lembata dahulu kala adalah bagian dari Kabupaten Flores Timur. Ciri khas masyarakat Lamaholot ditandai dari kesamaan bahasa yaitu Bahasa Lamaholot. Mata pencarian orang-orang di Flores Timur dahulu kala adalah nelayan dan meramu hasil hutan.
Menjadi nelayan adalah pekerjaan kaum lelaki sedangkan meramu hasil hutan adalah tugas kaum perempuan Flores Timur. Dengan mata pencarian yang sederhana itu, penduduk setempat seringkali ditimpa bencana kelaparan. Apalagi pada waktu tanaman bahan makanan seperti padi, jagung kacang-kacang, labu, jewawut, dan lain-lain belum dikenal oleh masyarakat.
Dikisahkan pada suatu waktu terjadi bencana kelaparan yang hebat menimpa warga suku Lamaholot. Bencana kelaparan itu menimpa seluruh penduduk termasuk satu keluarga terdiri dari delapan bersaudara yang terdiri dari tujuh orang laki-laki dan seorang perempuan yang merupakan bungsu bernama Jedo Pare Tonu Wujo.
Saat terjadi musim kelaparan yang hebat, Jedo, nama panggilan si bungsu ini, mengajak saudara-saudaranya untuk menebas hutan dan membuat kebun. Setelah kebun itu selesai dipagari, musim hujan pun tiba.
Ketujuh saudara laki-laki Jedo bingung karena mereka tidak tahu apa yang akan mereka tanam di dalam kebun itu. Dalam kebingungan itu, pada suatu malam dengan air mata berlinang, Jedo meminta kepada kakak-kakaknya agar keesokan harinya mereka pergi bersama-sama ke kebun yang mereka kerjakan. Di sana Jedo akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai apa yang harus kakak-kakaknya perbuat agar kebun itu menghasilkan bahan makanan yang berlimpah bagi mereka.
Keesokan harinya ketika fajar baru menyingsing, Jedo membangunkan kakak-kakaknya untuk berangkat ke kebun. Sepanjang perjalanan, kakak-kakak Jedo hanyut dalam kebingungan. Lalu Jedo meminta kakak-kakaknya memancang sebatang kayu di tengah-tengah kebun itu.
Jedo kemudian meminta pula agar sebuah batu ceper yang cukup besar diangkat dan diletakkan berdampingan dengan batang kayu yang sudah dipancang. Kemudian Jedo duduk bersila di atas batu ceper itu lalu memanggil kakak-kakaknya untuk berdiri mengelilingi. Kemudian dengan tenang Jedo berkata kepada kakak laki-lakinya yang paling muda.
"Dengarlah pesan saya dan setelah saya selesai berpesan kerjakanlah apa yang saya pesankan. Jangan takut dan jangan sedih, sebab apa yang kupesankan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa (Leran Wulan, Tana Ekan). Inilah pesanku, yaitu penggallah kepalaku, dan jika nyawaku sudah melayang, biarkan darahku membasahi batu tempat ku duduk sekarang dan terus mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah itu kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!" kata Jedo.
Sesudah berpesan, Jedo menundukkan kepalanya, lalu dengan sedih saudara-saudaranya memenggal kepala adik perempuan mereka. Darah adiknya itu dibiarkan membasahi batu ceper itu dan terus merembes ke semua pojok kebun mereka. Setelah itu ketujuh bersaudara itu kembali ke rumah mereka dengan hati yang sangat sedih.
Enam hari kemudian ketujuh bersaudara itu datang kembali ke kebun sesuai dengan pesan Jedo. Setiba di kebun, mereka heran dengan perasaan gembira dan sedih silih berganti, sebab di seluruh kebun itu tumbuh berbagai pangan yang sangat subur, yaitu padi (taha), jagung (wata), labu (besi), dan jewawut (weteng) yang mereka namai dengan nama-nama lokal.
Beberapa bulan kemudian musim panen pun tiba. Seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan. Setelah semua hasil panen terkumpul, barulah diangkut ke rumah dan dimasukan ke dalam lumbung.
Sejak itu ketujuh bersaudara serta seluruh keturunannya mulai hidup makmur dan bebas dari bencana kelaparan. Itulah sebabnya sampai hari ini setiap sawah dan kebun di sana selalu ada batu ceper dan tiang pancang di dalamnya. Batu ceper dan tiang pancang itu disebut Jedo Pare Tonu Wujo. Itulah tempat meletakkan semua benih yang hendak ditanam dan tempat mengumpulkan seluruh hasil panen sebelum dibawah ke lumbung.
Kisah ini dibuat sebagai kenangan dan sekaligus sebagai penghormatan kepada Jedo Pare Tonu Wujo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudarnya.
Kisah ini yang menginspirasi munculnya penghormatan suku Lamaholot terhadap kaum perempuan, khususnya dalam pertanian. Peran perempuan Lamaholot saat ini tanpa disadari menjadi sangat besar dalam pemenuhan pangan masyarakat setempat. Peran dimaksud mulai dari pengambilan benih di lumbung mesti hanya dilakukan oleh perempuan.
Bagi laki-laki yang tidak punya istri, benih itu harus diambil oleh saudari perempuan. Benih itu dihantar oleh perempuan ke suatu titik di tengah kebun yang sudah disiapkan sebuah batu ceper. Fakta ini masih terjadi di sistem pertanian lahan kering. Dan pada saat panen, hasil panen pertama mesti dinikmati oleh perempuan, entah istri atau saudari terlebih dahulu. Dengan praktik itu diyakini hasil produksi akan terus meningkat karena diberkati oleh Jedo Pare Tonu Wujo.
Dalam budaya lahan basah, praktik penghormatan terhadap perempuan itu masih terus berlaku. Perlakuan benih umumnya dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang mengambil benih di lumbung untuk selanjutnya diserahkan kepada laki-laki untuk disemaikan.
"Haram bagi kami apabila laki-laki yang melakukan 'luka' atau ambil benih di lumbung. Hanya perempuan yang bisa. Demikian keyakinan masyarakat setempat terhadap peran perempuan dalam hal memilih benih," kata Fransiska Maria Rotan, istri kepala Desa Boru Kedang menjelaskan.
Selain itu, perempuan juga diberi wewenang untuk melakukan pemupukan. Menurut Maria, petani laki-laki biasanya kurang telaten dalam mengurus lahan. "Perempuan di sini umumnya ingin melakukan uji coba terhadap hal-hal baru. Entahkah ini pengaruh dari mitologi, mesti ditelusuri lebih dalam," ujar Maria.
Petugas Pendamping Lapangan (PPL) yang bertugas di Desa Boru Kendang, Veronika Mau mengatakan, masyarakat susah menerimanya saat ia baru menjalankan tugasnya hanya karena ia perempuan.
Veronika kemudian mengumpulkan beberapa perempuan dan mengajarkan berbagai inovasi kepada kaum perempuan. "Setelah sukses, beberapa kelompok lain berminat dan minta didampingi, termasuk di antaranya kelompok laki-laki. Ternyata perempuan yang lebih cepat tanggap dari pada laki-laki," ujarnya.
"Terkait penggunaan pupuk berimbang masih jauh dari pengetahuan petani. Banyak petani yang tidak suka dengan kehadiran kami PPL. Mereka merasa kehadiran kami PPL hanya mengganggu waktu mereka," katanya.
Namun demikian, lanjut Veronika, sebagai PPL pihaknya terus melakukan pendampingan, terkhusus bagi yang mau menerima kehadiran pihaknya. "Itu umumnya petani perempuan. Petani laki-laki selalu beri alasan sudah tahu. Kebanyakan kegiatan pelatihan pertanian, peserta umumnya laki-laki. Dalam praktik lapangan, pemberian pupuk sering juga dilakukan perempuan. Pelatihan kadang tidak adil," katanya.
Kemauan belajar kaum perempuan, khususnya dalam penggunaan pupuk berimbang ini juga cukup memadai bagi para petani perempuan. Berkaitan dengan produksi, Maria Ida, petani perempuan dari Desa Boru Kedang dalam forum FGD membagikan pengalamannya.
"Menggunakan pupuk untuk lahan 1 hektare, terdiri dari urea 1 kg ditambah NPK 2 kg dari pengalaman, bisa memberikan hasil yang baik setiap tahun. Ini semua kami terapkan sesuai bimbingan PPL. Kami beri pupuk sesuai dengan waktu yang kami dapat dari bimbingan PPL. Intinya, kita pakai secara tepat waktu dan tepat ukuran, pasti hasil baik," kata Maria.
Reporter: Rizaldi Abror
Editor: Iwan Sutiawan
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 24 November 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus