Senin, 10 April 2017

Boleh Mengeraskan Suara saat Azan

Judul : Fatwa-Fatwa Setan

Penulis : Prof Dr Mabruk Athiyah

Penerbit : Qalam

Cetakan : 2016

Tebal : 237

ISBN : 978-602- 60054-1-0

Semua agama mengajarkan nilai kebaikan vertikal dan horizontal. Sumber kejelekan agama berasal dari pemahaman pemeluknya yang dangkal. Ia bisa disebabkan kurangnya pengetahuan, kepentingan sesaat atau ikut-ikutan saja. Jelas sangat riskan ketika pemahaman yang dangkal tersebut dianggap sebagai kebenaran agama yang sifatnya mutlak. Agama yang awalnya bermisi rahmatan lil alamin justru akan menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. 

Mabruk Athiyah lewat buku Fatwa-Fatwa Setan ini berusaha mengungkap pemahaman keagamaan dangkal yang selama ini dianggap kebenaran agama oleh umat Islam. Dia memulai pembahasannya dengan paradigma Islam tentang toleransi dalam perbedaan. Mabruk Athiyah mengatakan bahwa Imam Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hanbali biasa berbeda pendapat. Namun bagi para ulama fikih ini, perbedaan bukan dijadikan sumber konflik. Ungkapan yang sering mereka ucapkan, "Pendapat saya benar, tetapi juga mungkin mengandung kesalahan."

Mereka satu sama lain justru saling memuji. Tentang Abu Hanifah, Imam Malik berkata, "Saya bertemu orang yang bisa membangun tembok rumah dengan emas." Imam Syafi'i juga bilang, "Kita semua keluarga Abu Hanifah." Dewasa ini, kata Mabruk Athiyah, betapa banyak orang yang fanatik terhadap mazhab sehingga saling menyalahkan dan menyesatkan. "Sampai- sampai, ada segilintir yang mengatakan seorang wanita pengikut mazhab Malik, haram menikah dengan pria bermazhab Syafi'i (hlm 12)." 

Mabruk Athiyah menyinggung pula masalah pengeras suara di masjid-masjid. Ini mirip dengan pendapat kontroversial yang pernah disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam Islam, boleh mengeraskan suara hanya pada saat azan. Ini tidak hanya terjadi pada bulan Ramadan, namun setiap hari. 

Mengapa tidak diperbolehkan mengeraskan suara? Karena itu mengganggu orang yang sedang beristirahat. Di malam hari, orang beristirahat karena esok mereka bekerja, sedangkan pada siang hari, orang juga perlu istirahat karena malam hari mereka lembur kerja. Kalau terganggu suara keras, mereka tidak bisa istirahat. "Bacaan Alquran dan zikir setelah salat yang dikeraskan, tidak berasal dari Islam," tegas Mabruk Athiyah (hlm 164).

Herannya, ketika ditegur tentang hal itu, banyak orang tidak menerima. Mereka menuduh orang yang menegur itu tidak cinta syiar Islam. Mereka akan bertanya begini, "Apakah engkau tidak suka mendengar Alquran? Apakah engkau tidak suka memanfaatkan waktu untuk kebaikan? Pertanyaan itu, kata Mabruk Athiyah, bisa memengaruhi orang awam. Padahal, ia bukan hujah. Ini bukan pertanyaan ilmiah. Ajaran Islam dibangun di atas dalil yang kuat. Syiar dalam Islam sama sekali tidak akan mengganggu orang lain (hlm 165).

Mabruk Athiyah juga mengkritik pedas kisah-kisah aneh jemaah haji selama di Mekah. Ini termasuk kisah aneh, namun populer yang dinisbahkan kepada Abdullah Ibnu Mubarak. Alkisah, Abdullah Ibnu Mubarak dalam perjalanan haji melihat seorang wanita mengais sampah karena lapar. Ibnu Mubarak segera memberikan seluruh bekal hajinya kepada wanita itu. 

Pada malam harinya, Ibnu Mubarak bermimpi bertemu seseorang yang berkata bahwa Allah telah menitahkan salah satu malaikat untuk berhaji hingga kiamat dalam rupa Ibnu Mubarak. "Lantas dari mana sanad kisah ini? Apa maksudnya? Adakah ulama atau ahli fikih yang meriwayatkannya," tanya Mabruk Athiyah heran (hlm 248).

Buku ini selain memberi contoh pemahaman keagamaan dangkal yang banyak disalah mengerti, juga memberi bingkai konseptual tentang fikih yang tidak wajar. Buku ini sangat layak dijadikan pemindai fatwa keagamaan yang dengan mudah disampaikan sejumlah ustaz yang tidak diketahui kualifikasi pengetahuan agamanya yang kini banyak beredar. 

Diresensi, Mamluatul Bariroh, Aluma Instika Sumenep, Madura 

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search