Purana yang didirikan pada 2008 silam berangkat dari kecintaan Nonita pada wastra Nusantara. Ibunya adalah seorang kolektor batik dan eyangnya dulu pemilik sebuah pabrik batik di Solo, Jawa Tengah. Dari situ, terjalinlah keakraban antara Nonita dan batik.
Nonita Respati, pendiri label batik Purana. (Foto: Mohammad Abduh/Wolipop) |
"Daripada beli baju baru, aku waktu kecil malah sukanya jahit baju. Dari kecil memang sudah doyan jahit. Hehehe, " kenang Nonita dengan guyonan saat Wolipop berkunjung ke butiknya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Seiring berjalannya waktu, Nonita seolah menjauh dari impiannya sebagai desainer. Selepas merampungkan pendidikan ilmu politiknya di Fakultas Hubungan Internasional, Universitas Parahyangan, Bandung, Nonita terjun ke dunia jurnalistik.
(Foto: Mohammad Abduh/Wolipop) |
Ia sempat merintis karier sebagai penyiar radio sebelum akhirnya merambah ke media cetak yang mempertemukannya kembali dengan dunia mode. Pengalaman editorialnya terfokus pada reportase mode, baik dalam negeri maupun mancanegara.
Selama bekerja untuk tiga majalah mode ternama di Indonesia, Nonita mendapatkan kesempatan untuk meliput berbagai pekan mode internasional, bertemu dengan banyak desainer dunia, dan mendalami seluk-beluk industri mode global.
Pengalaman tersebut lantas mengembalikan impian Nonita yang sempat terpendam. "Aku jadi termotivasi untuk menggali impian masa kecil," ujar perempuan 40 tahun itu.
Singkat cerita, Nonita akhirnya memberanikan diri untuk mendirikan Purana dengan memanfaatkan alat cap batik sepeninggalan orangtuanya.
"Fokus di batik bukan karena batik lagi booming ketika itu, melainkan lebih kepada sumber daya yang ada," kata Nonita yang kala itu juga mendapat dukungan dari perajin yang dulu memiliki koneksi baik dengan mendiang ibunya. Almarhumah dulu aktif berorganisasi memajukan perajin lewat IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia).
Bermodalkan pengalaman otodidak, Nonita mencoba mengemas batik dengan gaya kekinian. Di tangan Nonita dan para perajin serta penjahitnya, batik disulap menjadi busana yang bernafas urban dengan motif dan cutting yang unik.
Koleksi Purana di Jakarta Fashion Week 2016. (Foto: detikfoto/Rachman Haryanto) |
Keunikan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar lokal. Karya-karyanya pun mulai dikenal. Dari kalangan selebriti, ada Maudy Koesnaedi hingga Wanda Hamidah yang menjadi pelanggan setia Purana. Orang-orang pemerintahan pun membeli koleksinya.
Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu salah satunya. Mari pernah memakainya saat menghadiri Jakarta Fashion Week 2014. Tentulah ada perasaan bangga di benak Nonita setelah karyanya membaluti tubuh para pesohor negeri ini. Namun baginya itu bukanlah pencapaian terbesar.
"Sukses bagiku adalah saat banyak orang yang membeli karyaku. Oleh karena itu, aku tidak pernah membeda-bedakan pembeli. Semuanya aku perlakukan sama," kata ibu dua anak itu.
Bermula dari satu penjahit, Purana terus berkembang dan memiliki 20 karyawan. Selain batik, Nonita juga mulai mengeksplor tenun. Sudah ada tawaran pula untuk memasarkan produknya ke Eropa. Kendati begitu, Nonita tak memungkiri bahwa perkembangan bisnis Purana tak secepat beberapa label lokal lainnya. Namun, Nonita tak menjadikan hal tersebut sebagai indikator kesuksesannya.
Koleksi Purana Spring-Summer 2018 (Foto: Mohammad Abduh/Wolipop) |
"Saat memulai usaha, banyak orang yang ingin cepat-cepat sukses dan menjadi besar. Tapi kalau di balik itu, ada karyawan yang belum dibayar haknya, dan banyak berutang, lalu buat apa. Buatku itu bukan usaha. Don't push yourself if you're not there yet," katanya.
Menurut dia, seorang pebisnis itu selain harus pintar berhitung tapi harus sensitif kapan harus membesarkan usaha atau menahan egonya. "Ketika bisnis ada demand-nya, usaha kita akan berkembang. Jangan sampai ego kita malah menjadi bumerang. Kalau di Purana, kami hanya mau jadi brand yang sustainable dan ethical," tutup Nonita.
(dtg/dtg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar