Oleh Habil Razali
BANDA ACEH, Indonesia —Meski malam nyaris larut, Fitra Maulana bergegas ke sebuah warung kopi di Darussalam, pinggiran Kota Banda Aceh. Pria muda berusia 20 tahun itu berjalan cepat menerobos gerimis, pada suatu malam akhir Februari 2018.
Kaus yang melekat di tubuhnya tampak sedikit basah. Seperti tak acuh, dia langsung duduk di kursi bagian kiri depan warung.
"Sanger pancong, Bang!" kata dia kepada pelayan warung yang mendekat. Pelayan kemudian berjalan ke bagian dapur, tempat kopi Aceh disaring. Fitra mengeluarkan handphone dari saku celana kiri. Kemudian dia larut dengan percakapan online di media sosial.
Dia adalah satu dari puluhan orang yang memenuhi warung kopi malam itu. Saban hari, warung kopi di Aceh tidak pernah sepi dari pengunjung. Orang Aceh punya kebiasaan dan bisa dikatakan sebuah tradisi untuk minum kopi langsung di warung kopi.
Seiring bertambahnya warga yang menetap di Kota Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, pertumbuhan warung kopi pun meningkat dan letaknya tersebar di semua sudut kota. Oleh karenanya, kemudian muncul sebuah penyebutan untuk kota yang menerapkan syariat Islam itu sebagai kota seribu warung kopi.
"Saya sehari-hari bekerja menjual mie bakso. Saat toko tempat saya kerja sudah tutup, saya biasanya minum kopi dulu sambil istirahat, sebelum pulang dan tidur," kata Fitra Maulana.
Nikmatnya kopi sanger
Malam itu, Rappler "ngopi" bersamanya sekitar pukul 22:45 WIB. Dia bekerja dari pagi hingga malam, sehingga tidak punya waktu untuk minum kopi di pagi hari.
Berbeda dengan Fitra, Jumat pagi, 2 Maret, di kawasan Lueng Bata, Banda Aceh, Mukhtaruddin Yacob duduk tenang di teras depan sebuah warung kopi. Meja di depannya masih kosong. Artinya, dosen videografi di Universitas Syiah Kuala di Aceh itu belum memesan kopi.
Saat Rappler menghampiri dan duduk di kursi berhadapan dengannya, pelayan warung kopi menghidangkan segelas kopi dengan campuran sedikit susu. "Sama seperti itu saja, Bang," kata Rappler kepada pelayan sambil menunjuk kopi yang dihidangkan kepada Mukhtaruddin Yacob.
"Kopi sanger?" tanya pelayan. Kami mengangguk kepala, pertanda iya. Pagi itu, Mukhtar, begitu dia disapa, memesan kopi sanger—kopi khas Aceh—. Setiap hari, pria yang juga menjadi wartawan sebuah televisi nasional itu, tak pernah bosan duduk dan minum kopi di warung kopi.
Mukhtar sudah bertahun-tahun menikmati kopi di warung bersama sejumlah temannya. Bahkan, terkadang usai liputan, dia mengolah dan mengirim videonya di warung kopi. Apalagi kebanyakan warung kopi di Banda Aceh tersedia internet gratis melalui wifi.
Pagi itu, Mukhtar ditemani Reza Fahlevi. Keduanya sama-sama minum sanger. "Belakangan saya sudah lebih menyukai kopi kampung daripada sanger," kata Mukhtar.
Kopi kampung yang dia maksud adalah kopi hitam biasa yang disaji dengan disaring terlebih dahulu. Tak lama kemudian, satu orang lagi temannya ikut nimbrung. Dia memesan kopi hitam.
Kemudian, obrolan panjang mengalir di antara mereka bertiga. Pembahasannya mulai dari permasalahan sampah di lingkungannya, pekerjaan, sampai dunia politik.
Bertukar informasi dan silaturahmi
Hingga menjelang siang, warung kopi malah bertambah ramai. Suasana pun sangat riuh dengan pelbagai perbincangan di antara sesama pengunjung.
Warung kopi, menurut Reza Fahlevi, sebagai tempat mencari dan menemukan informasi bagi warga Aceh. "Andai sehari saja tidak ke warung kopi, kita pasti tidak bakal tahu isu yang tengah panas dibicarakan saat ini," kata Reza.
Di luar kota Banda Aceh, lanjut Reza, yang belum ramai pengguna handphone dan belum ada internet gratis di warung kopi, surat kabar harian atau koran adalah satu-satunya sumber informasi. Dan koran hanya ada di warung kopi.
"Jadi orang-orang akan ke warung kopi, walaupun hanya untuk membaca koran," tutur pria asal Kabupaten Pidie, berjarak 120 kilometer dari Banda Aceh. "Jadi ada isitilah saat orang ke warung. 'Di mana kepala koran?' Itu artinya merujuk kepada halaman pertama dari koran atau headline," tutur Reza.
Reza sudah beberapa tahun belakangan tinggal di kota Banda Aceh. Dulu, dia mengaku seperti wajib datang ke warung kopi untuk membaca berita olahraga di koran. "Di kampung kan tidak ada wifi seperti sekarang ini di kota," tutur pria berhobi sepakbola itu.
Kini kebiasaan itu juga terbawa dari kampung halaman. Namun Reza mengaku kini ke warung kopi bukan lagi untuk membaca koran. "Untuk silaturahmi lah di warung kopi. Dan sekarang pun, kalau sehari saja tidak minum kopi, rasanya seperti ada yang kurang," tutur Reza.
Sebagai daerah yang menerapkan peraturan syariat, Islam di Aceh sangat kental. Sehingga di warung kopi, musala untuk ibadah salat dengan mudah ditemui. Hampir semua warung kopi yang buka 24 jam menyediakan mushalla di bagian belakang atau lantai dua warung.
Tidak hanya itu, saat memasuki waktu salat, warung kopi ditutup sementara. Pemandangan ini bisa dilihat saat azan salat Jumat dikumandangkan.
Pada Jumat, 2 Maret, Mukhtaruddin, Reza Fahlevi, dan satu lagi temannya bergegas pulang sekitar satu jam menjelang pelaksanaan salat Jumat. Pemilik warung segera menutup pintu depan warungnya.
"Jadi kalau sudah ditutup, orang bakal langsung pulang atau ke masjid untuk melaksanakan salat. Mereka sudah pada mengerti," kata Mukhtaruddin sambil bangkit dari duduk dan kemudian pulang.
Warung dibuka kembali setelah selesai salat. Pemilik warung dan warga, menaati betul pelaksanaan syariat Islam yang memang sudah menjadi adat orang Aceh.
Warga Aceh, memanfaatkan warung kopi sebagai tempat diskusi tentang semua hal. Muhammad Rizal, misalnya. Rappler bertemu dengannya di sebuah warung kopi di Batoh, Banda Aceh. Mahasiswa semester empat di sebuah universitas negeri itu hampir setiap hari nongkrong di warung kopi. Meskipun dirinya tidak terlalu suka minum kopi.
Bagi pemuda berusia 20 tahun itu, nongkrong di warung kopi membuatnya lebih rileks dan santai. Bahkan, dia sering menyelesaikan tugas kampus bersama temannya di meja kopi. "Mengerjakan tugas di warung kopi lebih santai, dan tentunya membuat kita lebih mudah menyelesaikannya," kata Muhammad Rizal.
Hal yang membuat dirinya selalu ingin ke warung kopi, karena menurutnya hanya di sana dia bisa duduk berlama-lama sambil bercanda. "Walaupun ada kawan yang ingin bicara hal yang penting, ajak jumpanya tetap di warung kopi, meskipun nanti pesannya teh, tidak pesan kopi," tutur Muhammad sambil tersenyum.
Bahkan, kata Muhammad, ada isitilah khusus di antara warga Aceh. "Saat ada hal penting yang ingin dibicarakan, ataupun kita ingin berjumpa seseorang, kita tidak langsung bilang maksud ingin membahas sesuatu yang penting. Melainkan dengan menanyakan, 'pat tajep kupi?'," kata dia.
"Pat tajep kupi?" jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti "Di mana kita minum kopi?". "Sampai di warung kopi nanti baru dibahas semua permasalahannya. Meskipun itu penting sekali," jelas Muhammad Rizal.
Khas Aceh
Saking dekatnya dengan kopi, di Aceh ada sebuah jenis kopi yang sangat khas dengan Tanoh Rencong. Namanya Kopi Sanger. Pada Kamis, 1 Maret 2018, Rappler bertemu dengan Fahmi Yunus di warung kopi Solong II di Lampeuneurut, Kabupaten Aceh Besar.
Pria 41 tahun itu kerap disebut sebagai "Bapak Sanger" di Aceh. Dia hampir sama dengan duta untuk mempromosikan Sanger, jenis kopi khas Aceh.
Mengenakan kemeja biru, wajahnya tampak kelelahan saat memasuki warung kopi. Dia kemudian duduk di kursi di teras depan bagian kiri warung. Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry itu kemudian menyapa hangat.
Darinya, Rappler menyimak asal mula muncul kopi Sanger di Aceh, yang kini menjadi primadona bagi orang luar yang ingin menikmati segelas kopi Aceh. Bahkan, saking khasnya, warga Aceh sekarang memperingati satu hari khusus setiap 12 Oktober, sebagai International Sanger Day.
Sekitar tahun 1997, kisah Fahmi Yunus, dirinya dan sejumlah temannya yang saat itu masih mahasiswa sering minum kopi di warung kopi Atlanta, Ulee Kareng, Banda Aceh. "Saat itu kalau ingin minum kopi susu harganya mahal, lazimnya mahasiswa kan tidak banyak uang," kata Fahmi.
Jadi kalau mahasiswa ingin minum kopi susu, lanjut Fahmi, kopi hitam dicampur susu dengan takarannya tidak terlalu banyak dan kemudian dicampur gula sedikit.
"Dari sana kemudian muncul istilah Sanger, artinya sama-sama ngertilah," kata Fahmi. "Dan harganya pun lebih murah dari kopi susu aslinya."
Bermula dari warung kopi Atlanta, nama Kopi Sanger kemudian mulai tersebar hingga ke warung lain di Banda Aceh. "Saat itu, warung kopi di luar Banda Aceh belum tahu Sanger, di Bireuen pun belum," kata Fahmi.
Sesudah tsunami Aceh pada 2004, Kopi Sanger barulah mulai tersebar ke warung kopi lain di luar Banda Aceh. "Namun sejarah awal adanya Kopi Sanger itu ada khilafiyah-nya," kata Fahmi.
"Ada yang bilang Sanger sudah ada sejak tahun 1993-1994 di warung Kopi Solong di Ulee Kareng, Banda Aceh. Tetapi, arti sanger tetap sama," tutur dia. Menurutnya, dengan adanya perbedaan itu, membuat Kopi Sanger lebih menarik untuk didikusikan.
International Sanger Day
Seiring perjalanannya, hari Kopi Sanger pun diperingati secara khusus setiap 12 Oktober. International Sanger Day, begitulah dia disebut. Ada kisah menarik awal mulanya ada peringatan tersebut.
Pada suatu, 11 Oktober 2013, sekira pukul 21:00 WIB, Fahmi Yunus iseng-iseng menulis tweet di akun Twitter-nya. Isinya mengajak warga Aceh untuk merayakan hari kopi Sanger atau Sanger Day pada besoknya 12 Oktober 2013. "Kenapa kita buat besok? Karena hari ini sudah malam," kata Fahmi Yunus sambil tersenyum.
Ide memperingati hari kopi Sanger itu, menurut Fahmi, muncul secara spontan. "Sederhana sekali, jadi tidak pikir-pikir panjang, pemaknaan tanggalnya, atau segala macam," kata dia.
Besoknya, 12 Oktober, Fahmi Yunus datang ke warung kopi dan minum Kopi Sanger. Dengan hpnya, dia memotret Sanger yang dihidangkan oleh pelayan warung. "Kemudian saya unggah ke Twitter dan membuat hashtag #SangerDay dan #InternationalSangerDay," cerita Fahmi.
Usai postingannya tayang, teman-temannya yang lain pun ikutan dan membuat hashtag yang sama. "Jadi peringatan Sanger Day perdana itu, belum ada kegiatan atau acara, tapi hanya di media sosial," kata Fahmi. Tahun selanjutnya, peringatan Sanger Day digelar meriah dengan berbagai kegiatan.
Pada tahun 2015, dalam perayaan International Sanger Day di depan Pasar Aceh, sang pencetus Sanger Day, Fahmi Yunus digelar "Bapak Sanger". "Saya iyakan saja, asalkan Sanger ini lebih dikenal oleh orang lain, orang di luar Aceh," katanya.
Hingga kini, "Bapak Sanger" masih melekat dengan Fahmi Yunus. Saban peringatan International Sanger Day, dia diundang untuk mendiskusikan tentang Kopi Sanger. "Kalau hari ini, di Jakarta pun sudah ada beberapa warung kopi Aceh yang menyediakan Sanger," tutur Fahmi.
Pembuatan Kopi Sanger, pada awalnya, yakni kopi hitam yang telah disaring dicampurkan dengan susu dan sedikit gula. Namun belakangan, gula mulai dihilangkan. "Kalau sekarang, cuma dicampur susu. Tapi tetap beda dengan kopi susu," lanjut Fahmi.
Tempat mengatur strategi perang
Minum kopi di warung kopi bisa dikatakan sebagai tradisi yang sering dilakukan oleh orang Aceh hingga sekarang. Pahlawan Aceh, Teuku Umar, bahkan sebelum ditembak mati oleh penjajah Belanda, dia mengatakan akan minum kopi di Kota Meulaboh, sekarang di wilayah Kabupaten Aceh Barat.
"Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan gugur)," kata Teuku Umar. Namun, dia duluan syahid di tangan pasukan Belanda pada 11 Februari 1899.
Budayawan Aceh, Tarmizi A Hamid mengatakan bahwa tradisi minum kopi di warung kopi di Aceh sudah ada sejak masa kesultanan Aceh dulu. "Dari perkataan Teuku Umar yang mengajak pasukannya minum kopi itu, kita bisa lihat, bahwa tradisi minum kopi sudah ada sejak lama," kata dia.
Warung kopi, kata Tarmizi, pada masa perang dulu berfungsi sebagai pusat pengatur strategi perang. Menurutnya, jika dimusyawarahkan di meja kopi, rasanya lebih santai dan tidak terlalu tegang. "Dan di warung kopi juga tempat berkumpulnya banyak orang," tutur dia.
Sekarang, tambah dia, warung kopi menjadi zona netral untuk bersilaturahmi. "Artinya, setiap pengunjung yang datang ke sana bebas mengeluarkan pendapat aspirasinya," kata pria yang akrap disapa Cek Midi.
"Misalkan kita ingin bertemu orang kantor, kalau kita pergi ke kantor kan agak segan. Malah sekarang pejabat di kantor bilang, 'pat ta jep kopi?' (di mana kita ngopi?)," lanjutnya. "Apalagi sekarang sudah ada internet gratis di sana.".
Tarmizi menambahkan bahwa dulu kebiasaan minum kopi ini hanya dilakukan oleh kaum pria. "Dulu perempuan yang minum kopi di warung kopi adalah suatu hal yang sangat tabu dan dilarang," kata pria yang mengoleksi manuskrip kuno Aceh. "Nah, kalau sekarang kan tergantung zaman, jadi sudah banyak juga perempuan yang duduk di warung kopi, itu boleh. Dan juga tidak melanggar syariat," kata dia.
Perempuan diperbolehkan duduk di warung kopi, jelas Cek Midi, asalkan menaati segala peraturan syariat Islam yang berlaku di Aceh. Misalnya, memakai pakaian yang muslimah, memakai hijab, dan tidak duduk berdekatan dengan non-muhrim.
Menjamurnya perempuan yang minum kopi di warung kopi, kata dia, semakin bertambah sesudah Aceh dilanda tsunami pada 2004.
"Walaupun perempuan yang datang ke warung kopi tidak minum kopi, tetap dibilang minum kopi," kata Cek Midi.
—Rappler.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar