REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Terpidana teroris perempuan yang terbukti sebagai calon pelaku bom bunuh diri di Indonesia, Dian Yulia Novi dan Ika Puspitasari, belum menunjukkan rasa penyesalan. "Belum. Saya belum melihatnya," ujar Noor Huda Ismail, pembuat film dokumenter Pengantin yang mengisahkan radikalisasi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Film Pengantin mengikuti perjalanan Rizka, seorang peneliti terorisme, menemui tiga perempuan pekerja migran yang terpapar jaringan radikal. Tiga perempuan itu adalah Dian, Ika, dan Fatmawati Mizani.
"Dian dan Ika kami temui di dalam penjara," kata Noor Huda kepada wartawan ABC.
Sementara Fatma, katanya, sempat terpapar dengan jaringan radikal namun menolak doktrin untuk melakukan aksi bunuh diri. Kini dia hidup normal bersama suaminya.
"Seseorang yang menjadi radikal tidak serta-merta bisa berhenti begitu saja," ujarnya.
Dian dan Ika tadinya menjalani kehidupan sebagaimana pekerja migran lainnya. Mereka berasal dari keluarga sederhana dan tidaklah begitu religius.
"Ika bahkan agak tomboy. Mereka mengenal ajaran radikal melalui Facebook," kata Noor Huda.
Dian (29 tahun) tinggal di Taiwan ketika dia mulai mempelajari kelompok-kelompok jihad dan ISIS di media sosial. Dian dan suaminya, Nur Solihin, berkomunikasi melalui Facebook dan kemudian melalui platform media sosial terenkripsi Telegram.
"Di Facebook, lebih dari setahun yang lalu, saya membuka profil seorang jihadi. Itulah yang mengilhami saya. Saya memutuskan menikah, diwakilkan, suami yang mengatur semuanya. Saya ikut saja," kata Dian dalam film ini.
Dian menikah dengan Solihin pada Oktober 2016 meskipun mereka tidak pernah bertemu muka. Dia bahkan tidak memberi tahu keluarganya tentang pernikahan itu.
Dian ditangkap dua bulan kemudian setelah polisi membongkar rencananya meledakkan diri di luar Istana Presiden di Jakarta. Polisi mengaitkan jaringan ini dengan teroris ISIS Bahrun Naim, yang diketahui telah merencanakan serangan di Indonesia selama lebih dari setahun.
Dian dijatuhi hukuman tujuh setengah tahun penjara pada tahun lalu. Menurut Noor Huda, wanita yang menjadi radikal biasanya terisolasi dari komunitas mereka, memiliki akses internet yang baik dan beralih ke media sosial untuk belajar sesuatu atau berhubungan dengan orang lain.
Dia mengatakan kelompok radikal seperti ISIS secara khusus menarget wanita seperti itu di komunitas online. "Di masa lalu untuk menjadi radikal dan terlibat terorisme, itu memakan waktu sangat lama, mungkin enam tahun. Tapi sekarang ini hitungannya jam, mungkin beberapa hari, dengan hanya melihat di HP mereka," kata Noor Huda.
Berselang beberapa hari setelah Dian, Ika pun ditangkap dengan tuduhan merencanakan bom bunuh diri di Bali pada malam tahun baru 2017. Ika yang bekerja di Hong Kong menikahi seorang pendukung ISIS bernama Zaenal Akbar, belakangan dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Menurut Nava Nuraniyah, analis Institute of Policy Analysis Conflict (IPAC) di Jakarta, Ika awalnya ingin menjadi lebih baik dengan belajar agama secara online. "Dalam prosesnya Ika yang sangat bersemangat dieksploitasi oleh suaminya untuk berkontribusi secara finansial kepada ISIS," kata Nava kepada ABC.
"ISIS selalu menarget kelompok rentan ini dan mengakomodasi mereka untuk melakukan jihad," tambahnya.
Namun, katanya, ketika visa Ika habis dan mulai kehabisan uang, dia pun menawarkan dirinya untuk menjadi pengebom bunuh diri. Dalam laporan IPAC Juli 2017, disebutkan ada sekitar 50 pekerja rumah tangga yang menjadi ekstremis di tengah komunitas Indonesia yang berjumlah 153 ribu orang di Hong Kong.
"Mereka terpapar dengan teleologi Islam garis keras seperti Takfiri," kata Nava.
ISIS dalam propagandanya menggunakan narasi Hari Kiamat dan menyerukan umat Islam bergabung dengan "kekhalifahan" yang mereka proklamirkan sendiri. Menurut Nava, para buruh migran Indonesia yang berasal dari negara berpenduduk mayoritas Muslim tiba-tiba menjadi minoritas di lingkungan baru mereka.
Menurut Noor Huda, Pengantin ingin menunjukkan ada kultur yang menggerakkan para wanita ini bergabung dalam jaringan radikal. "Ini yang selalu dibantah, seolah-olah semua baik-baik saja, sampai terjadi seperti di Surabaya baru semuanya ribut," katanya.
Wanita dari keluarga biasa ini bahkan sebenarnya baru mengenal agama. Mereka terjebak dalam jaringan radikal melalui medsos.
"Di luar negeri mereka kesulitan terlibat dengan masyarakat luas. Mereka kesepian dan menggunakan medsos untuk menemukan jodoh," jelasnya.
Begitu para pekerja migran itu merasa diterima dalam grup ini, kata Noor Huda, muncul gratifikasi instan yang tak mereka dapatkan dari lingkungan sekitarnya. "Mereka mengalami hyper reality hingga pada tahap rela dikendalikan laki-laki dalam setting patriarki," katanya.
Noor Huda berharap masyarakat bisa menggunakan film ini untuk membangun kesadaran seputar isu-isu pekerja migran perempuan. "Ini tentang pekerja migran Indonesia, tetapi juga tentang siapa saja yang jauh dari negara asalnya dan merasa perlu menjadi bagian dari sesuatu," katanya.
Nava melihat pemerintah Indonesia seharusnya memberikan penyadaran di kalangan pekerja migran justru sebelum mereka berangkat ke negara-negara tujuan. Film Pengantin diluncurkan pada Kamis, 28 Juni di Matheson Library Monash University di Melbourne, dilanjutkan diskusi yang menampilkan Associate Professor Peter Lentini dari Global Terrorism Research Centre di universitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar