Jumat, 15 Juni 2018

Saras Dewi dan kisah selain Bali

Ia sedang berpikir panjang. Semua bermula dari kepergiannya ke Jepang selama delapan hari beberapa waktu lalu.

Di sana ia menemukan topik riset yang menarik, tentang bunuh diri. "Tapi aku belum tahu bentuk penelitiannya nanti seperti apa, lagi kumpulin data," kata Saras Dewi.

Ketertarikannya soal kebebasan sekaligus kesengsaraan manusia tak lepas dari tesisnya sebelumnya. Tentang anatomi kesengsaraan.

Perempuan yang sudah menyandang gelar doktor di bidang filsafat lingkungan hidup ini penasaran mengapa di negara sekaya itu banyak warganya bunuh diri.

Saras sempat ke hutan Aokigahara di bagian selatan Gunung Fuji. Di tempat itu banyak orang mengakhiri hidupnya. Kasusnya hampir 100 orang per tahun.

Sebagian besar pelaku bukan penduduk setempat, tapi warga perkotaan. Dari situ, Saras seperti mendapat setitik jawaban atas rasa penasarannya.

"Kalau di Indonesia bunuh diri kebanyakan karena faktor kemiskinan," ujar Saras. "Tapi di Jepang, banyak kebencian karena konformitas sosial. Banyak ketidakpuasan."

Ia melihat hutan Aokigahara adalah simbol ketidakbahagiaan manusia perkotaan dan keterputusannya dengan alam. "Ada masalah ekologis juga ternyata," kata Saras pada Kamis siang (10/05/2018).

Sesekali secangkir kopi susu ia sesap. Sebenarnya ini bukan minuman favoritnya. Ia salah pesan. Tak tahan dengan rasa manisnya, di tengah wawancara Saras memesan kopi hitam.

Matanya yang bulat kerap memandang jauh ke jendela di lantai dua Alenia Papua Coffe & Kitchen, Jalan Kemang Raya Nomor 66B, Kemang, Jakarta Selatan.

"Depresi banget ya, awal-awal sudah langsung ngomongin bunuh diri," kata perempuan berusia 34 tahun itu sambil tersenyum.

Kami lega, ia masih punya rasa humor. Setelah itu, Saras lebih banyak bercerita soal masa lalunya. Ia sempat menjadi penyanyi sukses dan Ketua Program Studi Filsafat Universitas Indonesia.

Pembahasan filsafat yang berat-berat tak ia lontarkan selama pembicaraan yang berlangsung lebih dari dua jam. Ia seperti tahu pembicaraan kami tak mungkin ke sana. Atau mungkin juga ia merasa kami bukan lawan bicara yang tepat untuk itu.

Perempuan berdarah Bali dan Jawa ini sesekali tertawa, apalagi kala menceritakan kehidupannya bersama gitaris grup musik NTRL, Christopher Bollemeyer. "Dia suami yang sangat baik," ujarnya.

Seperti tulisan "Lets get this party Sartre'd" pada kaos putih yang ia kenakan, mari simak kisah hidupnya.

Dalam usia 29 tahun, Saras Dewi berhasil menyandang gelar doktor dan menjabat Ketua Program Studi Filsafat Universitas Indonesia. Kampus bagiya adalah rumah kedua. Sementara para pengajar dan mahasiswa adalah keluarganya.

Dalam usia 29 tahun, Saras Dewi berhasil menyandang gelar doktor dan menjabat Ketua Program Studi Filsafat Universitas Indonesia. Kampus bagiya adalah rumah kedua. Sementara para pengajar dan mahasiswa adalah keluarganya. | Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

Bukan demam panggung

"Lembayung Bali" akan selalu melekat dalam diri Saras. Lagu ini menjadi single album perdananya pada 2001 berjudul Chrysan. Dalam beberapa acara kampus atau seminar, ia masih sering diminta menyanyikannya.

Album ini terjual 30 ribu kopi dan masuk nominasi AMI Award untuk kategori Best Ballad serta Best Single. "Sainganku waktu itu cuma Iwan Fals," ujarnya mengenang.

Kemunculannya kala itu terbilang unik. Ia tak tampil dengan tata busana dan riasan yang berlebihan Tak juga ia bergoyang heboh untuk menarik massa.

Urusan kostum dan tata rias, ia bersikap apa adanya. Jauh dari kata menor dan gemerlap. Ia menonjolkan kualitas suara dan musik serta lirik yang kaya makna.

Saras menulis semua lagu pada album tersebut. Aransemennya tak lepas dari tangan Anang Hermansyah.

"Waktu itu tanteku yang nyuruh nyanyi," kata perempuan yang akrab dipanggil Yayas ini. "Lalu, aku bertemu dengan Om Purwacaraka, dikenalkan ke Om Anang."

Ia kemudian mendapat tawaran menulis lirik lagu untuk Anang dan penyanyi Syahrini. Kariernya di bidang musik kala itu sedang melesat. Tapi ia hanya sanggup menjalaninya selama tiga tahun.

"Saya mungkin dasarnya orang yang tertutup ya, sementara kalau jadi penyanyi harus ada citra yang dipublikasikan," ujarnya. "Tapi proses bermusiknya menyenangkan sekali sebenarnya."

Ia memilih mundur karena kerap dilanda rasa gugup. Bukan demam panggung. Saras tidak sanggup mencapai ekspektasi orang tentang citra seorang penyayi. "Rambu-rambu keindahannya enggak cocok buat saya," katanya.

Jadwal manggung padat pun tak sesuai dengan banyaknya tugas kampus. Saras memilih fokus menyelesaikan kuliahnya di Program Studi Filsafat Universitas Indonesia.

Selesai strata satu, ia mendapat beasiswa untuk mengambil gelar hingga doktor, namun dengan ikatan dinas di UI. Gelar tertinggi ia raih dalam usia kurang dari 30 tahun.

Di waktu hampir bersamaan, ia terpilih menjadi Ketua Program Studi Filsafat. Jabatan ini ia pegang selama enam tahun.

Tantangannya sangat berat karena jam terbangnya di dunia perguruan tinggi masih minim. Saras terpilih di kala filsafat UI sedang melakukan transisi dari staf yang sangat senior ke generasi muda.

"Jadi, itu masa kritis suatu program studi bagaimana ke depannya," ujarnya. Saras juga punya misi supaya filsafat lebih ramah di mata masyarakat.

Filsafat baginya bukan sesuatu yang rumit, tapi relevan. Ia bisa dikembangkan menjadi ilmu yang praktis dan berkembang ke berbagai disiplin ilmu yang lain.

Hidupnya kala itu mengajar dan mengajar. Lelah sudah pasti. Tapi ia sangat menikmatinya. "Dari dulu cita-cita saya memang jadi guru," ujarnya.

Mbak Yayas, begitu para anak didiknya memanggil. Usia mereka terpaut dekat. Itu yang membuat Saras sangat menikmati pekerjaannya. Tapi ada saatnya ia mengajar mahasiswa dengan usia lebih senior terutama yang mengambil gelar master dan doktor.

Banyak hal baru yang selalu ia dapatkan dari mereka. Apalagi anak filsafat sudah terkenal dengan keunikannya di kalangan para mahasiswa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

"Mereka di luar kotak banget. Kalau dalam kelas campur, yang paling pintar biasanya anak filsafat. Yang paling nakal juga anak filsafat," kata Saras sambil tertawa.

Mereka juga kritis. Ini yang membuat Saras tak bisa berleha-leha kala mengajar. Setiap hari ia pun belajar. Targetnya, minimal 40 halaman buku dalam sehari ia baca. Jadi, kalau ditantang dengan pertanyaan sulit dari mahasiswa, ia bisa menjawabnya.

Tahun lalu, Saras tak lagi menjabat ketua program studi. Genap enam tahun ia mengemban jabatan itu. Sedikit tanggung jawab lepas dari pundaknya. Sekarang ia bisa fokus mengajar.

Kampus bagiya adalah rumah kedua. Sementara para pengajar dan mahasiswa adalah keluarganya. "Hidup saya sekarang nyaman sekali," ujarnya.

[embedded content]

Saras Dewi, penyanyi yang menjadi pendidik /Beritagar ID

Dua budaya berbeda

Saras mengaku sangat beruntung bisa mengejar gelar dan karier dalam umur relatif muda. Semua tak lepas dari dukungan suaminya, Christopher Bollemeyer yang kerap dipanggil Coki.

Ia masih ingat ketika mengerjakan tesis doktor hingga larut malam, Coki sering menyediakan kopi dan memijat pundaknya. "Dia baik banget. Benar-benar bapak rumah tangga," katanya tersenyum.

Hampir 17 tahun mereka bersama. Delapan tahun pacaran, sisanya di pernikahan. Keduanya bertemu ketika berada di perusahaan rekaman yang sama.

Mereka sama-sama penyuka musik, binatang, dan alam. Ada 24 anjing hasil penyelamatan di rumahnya. Mereka juga penentang reklamasi di Bali.

Yang sedikit berbeda, Coki percaya alien, Saras tidak. Saras penyuka filsafat, Coki tidak. Ketika film Avengers: Infinity War muncul, keduanya sempat rukun soal kedua hal itu.

Menurut Saras, film itu membawa pesan filsafat lingkungan hidup. "Dia bilang, kenapa ya yang diomongin Marvel bisa masuk akal dibandingkan kamu. Ha-ha-ha...," kata Saras.

Untuk urusan karier Coki, Saras juga sangat mendukung. Ia sering datang ke pertunjukan NTRL. Gara-gara itu, kadang timbul rasa kangen untuk kembali bermusik.

"Tapi tidak untuk mendapat perhatian besar dari banyak orang. Itu bikin saya nervous banget," katanya. Hal ini berbeda kala ia menggelar seminar. "Orang-orang tidak memperhatikan hal fisik. Saya cuma transfer ilmu," ujar Saras.

Ia mengaku sebenarnya sangat senang menyanyi. Kebiasaan ini telah tumbuh sejak kecil ketika dirinya masih tinggal di Bali. Neneknya akan meminta Saras menyanyi ketika menggelar upacara agama.

Kehidupannya di Pulau Dewata memang tak jauh dari kesenian. Ibarat nafas hidup, Saras sehari-hari dididik oleh kakek dan nenek, keduanya guru, untuk menyanyi, menari, menulis, dan membaca. Buku-buku filsafat timur sudah menjadi bacaannya saat itu.

Tak banyak yang tahu, ia sebenarnya tumbuh dalam dua tradisi berbeda. "Banyak yang lebih tertarik soal Bali dalam diri saya," katanya.

Ibunya yang berasal dari Semarang mengajarkan banyak hal soal Islam. Tradisi Nahdlatul Ulama sangat kuat dalam keluarganya. Ziarah kubur, zikir, dan tasawuf sudah menjadi bagian hidupnya.

"Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa 'adzaa bannaar," masih ia ucapkan sebelum makan. Meskipun banyak yang bertanya, doa itu dikirim ke mana.

Saras juga belajar soal sufisme dari ibunya. "Saya suka banget Jalaludin Rumi dan para sufi dari Persia hingga Andalusia," kata sulung dari 10 bersaudara itu. Sekarang ia mengaku sangat terpengaruh dengan para filsuf barat.

Ia bersyukur bisa tumbuh dalam keberagaman budaya dan agama. Orang tuanya membebaskan pilihan hidupnya, asalkan bertanggung jawab dan menjadi orang baik. "Tapi memang orang selalu tanya agama saya apa. Agak susah menjawab itu ya," ujarnya.

Saras yang bekerja sebagai dosen filsafat tak punya keleluasan untuk percaya mutlak terhadap sesuatu. Semua harus dipertanyakan.

Apa yang diketahui otaknya harus disingkirkan dulu ketika masuk dalam kelas filsafat. "Bukan berarti tidak punya apa-apa. Tapi harus ada penundaan keyakinan apa pun," kata Saras. Ia dituntut berpikir bebas, kritis, dan spekulatif.

Keberagaman budaya dan agama yang terasa saat kecil sayangnya sulit ia temui sekarang di negara ini. "Saya agak aneh kalau sekarang suasana di Indonesia jadi sangat mengotak-ngotakkan antar kelompok," katanya. "Ini membuat saya sedih."

Penyanyi dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, berpose untuk Beritagar.id pada Kamis (10/05/2018) di Alenia Papua Coffee & Kitchen, Ja

Penyanyi dan dosen filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi, berpose untuk Beritagar.id pada Kamis (10/05/2018) di Alenia Papua Coffee & Kitchen, Ja Wisnu Agung Prasetyo /Beritagar.id

BIODATA Diperbarui: 14 Juni 2018

Saras Dewi

Nama lengkap:
Luh Gede Saraswati Putri

Tempat, tanggal lahir:
Denpasar, 16 September 1983

Nama suami:
Christopher Bollemeyer

Pendidikan:

  • meraih gelar strata satu hingga tiga di Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Profesi:

  • dosen di Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
  • Ketua Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2011-2017)
  • penyanyi

Diskografi:

  • Chrysan (2001)

Karya buku:

  • Jiwa Putih (2004)
  • Hak Azasi Manusia (2006)
  • Cinta Bukan Cokelat (2010)
  • Ekofenomenologi (2015)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search