Selama berpuluh tahun orang-orang Anangu di Australia tengah meminta para wisatawan untuk tidak mendaki Uluru, bukit yang mereka sucikan, yang sebelumnya dikenal sebagai Ayers Rock. Mulai tahun depan, pendakian cadas raksasa itu akan dilarang. Wartawan BBC Rebecca Henschke melaporkan mengapa bukit batu itu begitu bernilai, dan menemukan juga tautan riwayat pribadinya sendiri di dalam perjalanan itu.
"Ketika para turis datang, yang mereka lihat hanyalah seongok batu raksasa yang indah ini, di Australia tengah. Tapi bagi kami, suku Anangu, batu karang ini berarti segalanya."
Pamela Taylor memandangi bukit batu itu. Dia adalah salah satu pemilik pemangku adat Uluru dan juru kunci kisah-kisah suci kuno yang diabadikan di dalamnya.
"Batu itu penuh dengan cerita," katanya ketika kami duduk di atas pasir merah.
"Beberapatidak bisa saya ceritakan kepada Anda, karena terlalu suci. Kalau saya ceritakan, kita akan mendapat masalah - saya akan mendapat masalah. Beberapa akan saya kisahkan agar orang-orang seperti Anda bisa paham."
Kisah-kisah itu diwariskan turun-temurun secara lisan sebagai warisan yang tak ternilai.
Suku Anangu percaya bahwa pada awalnya dunia tidak berbentuk dan tidak memiliki sifat. Para eluhur kemudian muncul dari kekosongan ini dan melakukan perjalanan melintasi tanah, menciptakan semua spesies dan benda hidup.
Uluru adalah bukti fisik dari pencapaian para leluhur sepanjang masa penciptaan ini.
Taylor menunjuk ke arah sebuah gua di ketinggian di bukit batu itu. "Kadal lidah biru hidup di atas sana," katanya.
Keluarganya memegang kisah Lungkata, nenek moyang lidah biru yang serakah dan curang, yang datang ke Uluru dari utara dan mencuri daging dari Emu.
Ketika Emu mengikutinya kembali ke guanya, Lungkata menelantarkannya.
"Dia kembali tidur, berpura-pura dia sudah tertidur. Emu sangat marah lalu menyalakan api yang langsung membara ke seluruh gua dan asap menghadang Lungkata yang lalu jatuh," kata Taylor.
Taylor lalu menunjuk ke goresan besar warna biru yang memanjang dari gua. Di situlah tubuhnya yang terbakar terguling dan meninggalkan bekasnya, katanya.
"Dia melakukan berbagai perbuatan buruk dengan berkeliaran untuk mencuri. Itulah sebabnya kami mengatakan kepada anak-anak bahwa mereka tidak boleh mencuri, karena mereka akan mendapat hukuman seperti Lungkata."
"Saya menceritakan kisah itu kepada cucu-cucu saya, agar mereka belajar."
Kisah Kuniya
Gua, jalur dan goresan di batu semuanya memiliki makna yang dalam, dan kisah yang menceritakan bagaimana penciptaannya.
Keluarga Sammy Wilson, pemangku adat lainnya, merupakan penjaga kisah Kuniya, yakni seekor ular sanca betina di Uluru. Kuniya bertarung di Uluru melawan Liru, seekor ular berbisa, untuk melindungi keponakannya.
Tanda-tanda pertempuran ganas itu ada di sekitar lubang air di dasar bukit batu Uluru, katanya.
Wilson menunjukkan sosok Kuniya di batu itu, berupa citra kepala piton yang sedang menoleh ke belakang.
"Ketika Anda pergi ke sebuah kota modern, Anda menemukan taman dengan patung manusia yang telah melakukan sesuatu yang penting di masa lalu," katanya. "Yah ini setara dengan patung seperti itu. Ini yang kami miliki di negara kami untuk menunjukkan masa lalu kami."
Dan para tetua adat mengatakan, ketika kita mendaki Uluru, kita masuk ke jalur tradisional yang diambil oleh para leluhur Mala - sebuah jalur spiritual yang mendalam dan sangat penting.
Mengabaikan keinginan Anangu
"Para turis itu bagaikan semut yang naik turun setiap hari, mendaki bolak-balik," kata Pamela Taylor.
"Sepatu mereka mengikis batu Uluru, sedikit demi sedikit. Sekarang itu jadi seperti tali kalau dilihat dari jauh. Seharusnya tidak seperti itu."
Di bagian bawah Uluru sebetulnya ada plang dalam enam bahasa yang meminta siapa pun untuk tidak memanjat bukit batu itu, dan dijelaskan bahwa hal itu melanggar hukum adat.
Betapa pun, setiap hari selama saya berada di sana, orang-orang berduyun-duyun naik ke punggung bukit. Banyak yang sengaja datang untuk mendaki sebelum dilarang tahun depan.
Seorang turis dari Queensland, Pamela, mengatakan dia membaca plang-plang itu. Namun, katanya, "Saya akan tetap melakukannya karena ini akan menjadi kesempatan terakhir, karena tahun depan sudah dilarang, dan tahun depan saya akan sudah terlalu tua."
Dia mengakui bahwa dia tidak terlalu mempedulikan sifat sakral dari batu itu.
"Itu karena ego saya, saya ingin memanjatnya," katanya. "Saya baru saja menginjak usia 70 tahun dan saya baru menjalani operasi lutut dan saya ingin melihat apakah saya bisa melakukannya dengan keadaan ini."
Bagi Sammy Wilson, itu pemandangan yang sangat menyakitkan.
"Kadang-kadang rasanya seakan, saya bisa berbicara dan berbicara terus sampai saya kelelahan dan banyak orang tetap saja tidak paham," katanya.
"Kami telah membicarakan sejak begitu lama tentang keinginan untuk menutup Uluru (dari pendakian), sejak zaman tetua kami yang telah meninggal dunia."
Mengakhiri pendakian
Wilson adalah anggota Dewan Uluru-Kata Tjuta, yang pengelola bersama taman nasional. Dalam pemungutan suara yang bersejarah tahun lalu, dewan yang terdiri dari 12 orang - termasuk delapan tetua Anangu - memutuskan untuk melarang pendakian.
"Saya ada di sana pada hari itu, dan mata orang-orang berkaca-kaca. Bukan hanya orang suku Anangu, tetapi juga orang-orang yang telah berada di sini selama bertahun-tahun," kata Steve Baldwin, manajer Operasional Uluru and Kata-Tjuta Park and Visitor Service .
"Semua orang merasa sangat lega karena akhirnya Uluru ditutup," tambahnya.
Mengapa urusannya begitu lama?
"Suku Anangu sangat menyadari bahwa para wisatawan kebanyakan ingin naik ke Uluru," katanya. "Dan itulah mengapa perlu hingga dua tahun untuk prosesnya. Mereka melakukan prosesnya dengan cara yang benar."
Tetapi bagi masyarakat Anangu, selama berpuluh tahun, pariwisata massal di tanah mereka tidak dilakukan dengan cara yang benar. Sampai tahun 1979 mereka tidak diakui sebagai pemilik tradisional tanah ini - meskipun sudah tinggal di sana selama lebih dari 40.000 tahun.
Lalu masih butuh waktu enam tahun lagi untuk mendapatkan sertifikat hak milik untuk kawasan itu - dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Pengembalian". Dan baru pada tahun 2001 ada seorang ranger Anangu yang resmi di taman nasional itu.
Ancaman bahwa mereka akan kehilangan (pendapatan dari) pariwisata terasa seperti ditodong senjata di kepala mereka, kata Wilson.
"Seperti itulah rasanya - kami dihalangi untuk mengekspresikan diri," katanya. "(Mereka) mencegah kami agar tidak melakukan apa yang perlu kami lakukan - apa yang kami rasakan benar - jadi ibaratnya kami hanya meminta, tolong singkirkan pistol itu dari kepala kami agar kita dapat berbicara dengan baik."
Wilson telah mendirikan perusahaan wisatanya sendiri yang memberi layanan bagi pengunjung untuk melihat tanah itu melalui mata orang-orang Anangu.
"Ini adalah kampung halaman kami di sini dan kami ingin orang-orang datang dan belajar dari kami tentang betapa sakralnya Ulura itu," katanya.
Keluarga saya
Saya dibesarkan di tanah Anēwan, di Armidale, di daerah pemukim Eropa yang disebut New England. Tetapi keluarga dari pihak ayah saya merupakan salah satu pemukim pertama yang datang dari Eropa ke Australia Selatan.
Dan ketika saya membuat liptan ini, saya baru menyadari bahwa saya memiliki hubungan yang jauh lebih dekat dengan Uluru, atau Ayers Rock, jauh lebih erat dari yang saya sadari sebelumnya.
Pada tahun 1873, ketika penjelajah Eropa William Gosse menemukan batu raksasa di tengah padang pasir, ia memberi nama berdasarkan nama menteri utama Australia Selatan pada waktu itu, Henry Ayers, yang merupakan paman buyut saya. Dia adalah suami dari leluhur saya, Lady Anne Ayers.
Saya katakan pada Sammy Wilson bahwa saya menyesalkan perbuatan tak patut dan peran keluarga saya yang tidak menghormati orang-orang asli negeri ini waktu itu.
Reaksinya mengejutkan saya. Dia gembira - karena, katanya, kakek buyutnya bertemu dengan Gosse.
"Dia menuliskan nama leluhur saya juga! Leluhur kadal lidah biru," katanya. "Saya tidak tahu mengapa mereka memberikan nama itu (Ayers Rock). Orang kulit putih tampaknya memberikan nama secara sembarangan," dia tertawa. Kemudian saya katakan hal yang sama kepada seorang tetua Anangu lainnya, Alison Hunt, dan meminta maaf lagi untuk peran leluhur saya.
"Oh, itu menarik!" dia berkata. "Tapi orang- Aborigin tidak menyimpan dendam, karena hal itu terjadi di masa lalu," tambahnya, ramah.
"Sekarang ini orang-orang Aborigin ingin hidup bersama dengan orang-orang non-pribumi dan mengembangkan pemahaman dan kepercayaan itu, bukan mengingat-ngingat masa lalu," katanya, sambil memeluk saya."
Kita semua akan hidup berdampingan. "
Tahun lalu sekitar 300 orang Aborigin dan warga Torres Strait datang di Uluru, untuk menuntut pengakuan tentang kekuatan hukum dan politik yang nyata sebagai penduduk pertama di Australia.
Pemerintah Australia menolak proposal untuk membentuk badan yang mewakili masyarakat adat di parlemen. Hal itu mengundang kecaman dari para tokoh Aborigin.
Lebih dari 200 tahun sejak invasi Inggris, Australia menjadi satu-satunya negara Persemakmuran yang tidak pernah menandatangani perjanjian dengan penduduk pertama tanah itu.
"Pemerintah dan rakyat harus menghormati dan mengakui bahwa kami adalah orang-orang pertama di negara iini," kata Hunt.
Generasi penerus
Mengikuti irama ketukan tongkat, Alison Hunt berjoget, perlahan bergerak maju, menggeser kakinya menelusuri butiran pasir merah, payudaranya yang telanjang dipulas berbagai lambang.
Ini adalah inma, atau upacara penyambutan bagi wisatawan yang datang untuk festival budaya yang disebut Tjungu yang menampilkan musik dan seni asli dari seantero negeri.
Tampil juga grup tambur Drum Atweme yang para anggotanya terdiri dari para siswi.
Dari percakapan dengan gadis-gadis kecil itu setelah pertunjukan, jelaslah bahwa meskipun mendapatkan tekanan besar, cerita-cerita sakral Uluru diwariskan dari generasi ke generasi.
"Ketika saya mendatangi Uluru dan melihat lukisan di gua, saya merasa seakan kakek buyut saya ada di samping saya," kata Tilley, 11 tahun. "Kami tidak diizinkan untuk menaiki batu itu. Kalau bersikeras, kita akan sakit karena menginjakkan kaki di atas budaya dan impian kita."
Dengan ditutupnya pendakian, para tetua berharap para pengunjung dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbicara dengan mereka untuk memahami hal ini.
"Nanti akan ada lebih banyak waktu untuk duduk dan berbicara seperti yang kita lakukan ini di sini. Saat ini belum banyak percakapan seperti ini," kata Taylor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar