Rabu, 01 Agustus 2018

Kisah 13 Jam Mengarungi Teluk Cenderawasih Bersama KMP Kasuari Pasifik IV

KOMPAS.com - "Kepada para Penumpang Kasuari Pasifik IV, sebentar lagi kapal akan segera berangkat...."

Kira-kira seperti itulah yang diumumkan ABK (anak buah kapal) lewat pengeras suara, sesaat sebelum kapal perintis ini bertolak dari Biak ke Manokwari. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, terlambat satu jam dari jadwal yang seharusnya.

Pintu kapal pun perlahan dinaikkan dari dermaga dan kapal mulai mengarungi Teluk Cenderawasih. Bersamaan dengan itu, sekitar 10-20 ABK dengan dibantu tentara, meminta tiket perjalanan pada masing-masing penumpang di geladak.

Suasana KMP Kasuari Pasifik IV.Dok. MAPALA UI Suasana KMP Kasuari Pasifik IV.
Tentu ada saja yang tidak punya tiket, tetapi mereka tetap mencoba untuk masuk. Lalu bagaimana dengan mereka?

Solusinya jika ketahuan adalah membayar langsung pada petugas yang memeriksa. Penumpang yang kedapatan tidak mempunyai tiket diharuskan membayar Rp 50.000 per kepala.

Saat pemeriksaan tiba, ada saja penumpang yang berusaha menghindar dengan naik ke lantai atas atau masuk ke ruang VIP. Mereka melakukan seperti itu demi menghindari pemeriksaan.

Ruang kemudi Kapal Kasuari Pasific IV.Dok. MAPALA UI Ruang kemudi Kapal Kasuari Pasific IV.
Saya dan teman-teman tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mahasiswa Pencinta Alam ( Mapala UI) mendapatkan tempat di ruang VIP. Hal ini dapat terjadi atas bantuan beberapa pihak yang sangat berbaik hati.

Kelas ini jelas berbeda dengan kelas ekonomi di lantai paling bawah serta lantai dua. Ruang VIP terdiri dari kursi-kursi yang berjejer seperti di kereta api Jawa kelas bisnis.

Kursinya empuk dan bisa dinaik-turunkan. Air conditioner yang tersedia disini membuat sejuk ruangan. Tentunya kelas ini terasa amat nyaman untuk beristirahat dalam pelayaran yang memakan waktu cukup lama.

Suasana KMP Kasuari Pasifik IV.Dok. MAPALA UI Suasana KMP Kasuari Pasifik IV.
Kondisi berbeda terlihat di kelas ekonomi. Penumpang bergelimpangan di lantai kapal. Dengan beralaskan terpal yang disewakan warga lokal sebelum keberangkatan, mereka melewati malam tanpa keluhan. Mungkin yang terlintas di benak mereka adalah yang penting bisa beristirahat dan sampai di tujuan.

Lantai dua kelas ekonomi kala itu diisi oleh kelompok GKI Biak Utara yang sedang melaksanakan tur rohani ke pulau seberang. Jumlahnya sekitar 30 orang.

Uniknya, mereka membawa beberapa alat musik untuk menemani perjalanan mereka. Ada bass tradisional yang dimainkan 2-3 orang, gitar, ukulele, serta tidak ketinggalan juga beberapa tifa (alat musik tradisional khas Papua).

Kelompok Gereja Kristen Indonesia memainkan musik dalam kapal Kasuari Pasifik IV.Dok. MAPALA UI Kelompok Gereja Kristen Indonesia memainkan musik dalam kapal Kasuari Pasifik IV.
Malam makin larut, tetapi justru alunan musik mulai mereka mainkan. Agaknya, mereka sedang mencoba untuk memecah keheningan malam itu. Karena terdengar merdu, saya pun tertarik untuk keluar dari ruang VIP dan menghampiri mereka di kelas ekonomi.

Di sana terlihat para mama dan bapa yang kompak dengan tugasnya masing-masing. Para bapa dan abangtua (sebutan untuk remaja tanggung) asik memainkan alat musik masing-masing. Para mama yang menyanyi.

"Lagu rohani dalam bahasa Biak, kaka" begitu jawaban salah satu mama dengan logat Papua ketika akhirnya saya bertanya padanya.

Saya begitu menikmati pertunjukan dadakan di atas kapal Kasuari ini. Hingga tak terasa, waktu pun menunjukkan pukul 1 pagi. Entah berapa lagu sudah mereka lantunkan.

Pemandangan matahari terbit dari atas dek kapal Kasuari Pasific IV.Dok. MAPALA UI Pemandangan matahari terbit dari atas dek kapal Kasuari Pasific IV.
Kantuk pun tak terelakkan. Saya akhirnya beranjak kembali ke bangku penumpang, persis ketika mereka menutup lantunan dengan doa bersama di bawah bimbingan pastor.

Di tempat yang jauh dari hingar-bingar kota, saya menemukan kebisingan tersendiri. Bukan suara tentang kesulitan, melainkan pancaran kebahagiaan yang mereka bagikan ke penumpang lainnya.

Agaknya memang sedikit mengganggu tidur di waktu malam, tetapi cobalah melunak sedikit dan lihat dari sudut pandang berbeda dalam tiap peristiwa. Justru ikut larut dalam sorak-sorai kebahagiaan bisa terasa lebih indah daripada hanya hening diam menutup mata. Ya toh?

Kami akhirnya tiba di Manokwari sekitar 07.00 pagi, esok harinya. Kami mengarungi Teluk Cenderawasih, dari Biak ke Manokwari dengan kapal selama 13 jam.

(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, M. Rifki Herjoko. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)


Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search