KOMPAS.com - "Kepada para Penumpang Kasuari Pasifik IV, sebentar lagi kapal akan segera berangkat...."
Kira-kira seperti itulah yang diumumkan ABK (anak buah kapal) lewat pengeras suara, sesaat sebelum kapal perintis ini bertolak dari Biak ke Manokwari. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, terlambat satu jam dari jadwal yang seharusnya.
Pintu kapal pun perlahan dinaikkan dari dermaga dan kapal mulai mengarungi Teluk Cenderawasih. Bersamaan dengan itu, sekitar 10-20 ABK dengan dibantu tentara, meminta tiket perjalanan pada masing-masing penumpang di geladak.
Solusinya jika ketahuan adalah membayar langsung pada petugas yang memeriksa. Penumpang yang kedapatan tidak mempunyai tiket diharuskan membayar Rp 50.000 per kepala.
Saat pemeriksaan tiba, ada saja penumpang yang berusaha menghindar dengan naik ke lantai atas atau masuk ke ruang VIP. Mereka melakukan seperti itu demi menghindari pemeriksaan.
Kelas ini jelas berbeda dengan kelas ekonomi di lantai paling bawah serta lantai dua. Ruang VIP terdiri dari kursi-kursi yang berjejer seperti di kereta api Jawa kelas bisnis.
Kursinya empuk dan bisa dinaik-turunkan. Air conditioner yang tersedia disini membuat sejuk ruangan. Tentunya kelas ini terasa amat nyaman untuk beristirahat dalam pelayaran yang memakan waktu cukup lama.
Lantai dua kelas ekonomi kala itu diisi oleh kelompok GKI Biak Utara yang sedang melaksanakan tur rohani ke pulau seberang. Jumlahnya sekitar 30 orang.
Uniknya, mereka membawa beberapa alat musik untuk menemani perjalanan mereka. Ada bass tradisional yang dimainkan 2-3 orang, gitar, ukulele, serta tidak ketinggalan juga beberapa tifa (alat musik tradisional khas Papua).
Di sana terlihat para mama dan bapa yang kompak dengan tugasnya masing-masing. Para bapa dan abangtua (sebutan untuk remaja tanggung) asik memainkan alat musik masing-masing. Para mama yang menyanyi.
"Lagu rohani dalam bahasa Biak, kaka" begitu jawaban salah satu mama dengan logat Papua ketika akhirnya saya bertanya padanya.
Saya begitu menikmati pertunjukan dadakan di atas kapal Kasuari ini. Hingga tak terasa, waktu pun menunjukkan pukul 1 pagi. Entah berapa lagu sudah mereka lantunkan.
Di tempat yang jauh dari hingar-bingar kota, saya menemukan kebisingan tersendiri. Bukan suara tentang kesulitan, melainkan pancaran kebahagiaan yang mereka bagikan ke penumpang lainnya.
Agaknya memang sedikit mengganggu tidur di waktu malam, tetapi cobalah melunak sedikit dan lihat dari sudut pandang berbeda dalam tiap peristiwa. Justru ikut larut dalam sorak-sorai kebahagiaan bisa terasa lebih indah daripada hanya hening diam menutup mata. Ya toh?
Kami akhirnya tiba di Manokwari sekitar 07.00 pagi, esok harinya. Kami mengarungi Teluk Cenderawasih, dari Biak ke Manokwari dengan kapal selama 13 jam.
(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, M. Rifki Herjoko. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar