Banjir Sragen di Masaran akibat luapan Bengawan Solo.
Solopos.com, SRAGEN — Ekonomi ratusan warga di empat RT di Dukuh Bakung dan dua RT di Dukuh Sari, Desa Pilang, Kecamatan Masaran, Sragen lumpuh. Luapan Sungai Grompol yang bertemu dengan Sungai Bengawan Solo di perbatasan Kecamatan Masaran dan Plupuh itu menggenangi dua dukuh itu dengan kedalam air sampai 1 meter. Banjir luapan sungai itu terjadi, Minggu (19/6/2016) pukul 02.00 WIB.
Ny. Asa, 45, yang tinggal di RT 010, sibuk mengalau air masuk rumahnya. Lubang di bawah pintu depan rumahnya disumbat dengan kain. Air berwarna cokelat tua itu tetap saja memasuki rumahnya. Sejumlah anak-anak justru bermain air di halaman depan rumah Asa yang terendam air dengan kedalaman 60 cm.
Mukmin dan istrinya yang tinggal bersebelahan dengan Asa hanya bisa duduk di kursi terdiam menyaksikan asyiknya anak-anak bermain air. Mereka tak menghiraukan air luapan sungai itu memasuki setiap ruang rumahnya. Pemandangan serupa juga terjadi di RT 008 dan 009. Anggota Sentral Komunikasi (Senkom) Sragen, Agus Samijo, sibuk mendata dan memeriksa setiap rumah di dukuhnya. Agus tinggal di RT 009 Dukuh Bakung.
"Arep nangdi kui [mau kemana itu]? Kae banyu neng omahku sak dada [Itu air di rumahku sampai sedada]" teriak Narto Wignyo, 86, yang duduk di lincak bambu di depan rumah anaknya di RT 009. Tanpa berpikir panjang, Mbah Narto menunjukkan kondisi rumahnya yang terletak di ujung timur dukuh itu kepada anggota Senkom. Mbah Narto mencarikan jalan dengan genangan air dangkal di pekarangan rumah warga.
Rumah Narto terletak di pinggir sawah. Kedalaman air di depan rumahnya mencapai 1,5 meter. Air menggenangi rumahnya sejak pukul 04.00 WIB dan hingga petang belum surut. Rumah Narto berdinding batu bata dan masih berlantai tanah. Kaki langsung masuk ke tanah sedalam 30 cm begitu menginjak lantai rumahnya.
"Ya, seperti ini kalau lantai masih tanah. Semuanya tergenang air sampai ketinggian di atas mata kaki. Mbah putri [Sayem, 66] sudah diungsikan ke tempat Ngadiyo [Anak laki-laki Narto]. Mbah putri sudah jompo dan enggak kuat jalan. Tadi pagi ya digendong. Kalau saya meskipun sudah tua masih kuat," kisah Narto.
Ngungsi
Narto berniat ikut mengungsi ke rumah Ngadiyo sampai menunggu air surut. Dia ingin membawa ayam-ayamnya mengungsi juga. "Nanti di rumah Ngadiyo pasti sudah masak untuk keperluan buka puasa nanti," katanya.
Agus Sunarwan, 37, dan istrinya, Widarsih, 32, yang tinggal di RT 008 juga mengungsi ke rumah orangtuanya yang masih satu RT. Mereka memutuskan mengungsi ke rumah orang tuanya karena rumahnya ikut terendam. Rumah Agus terletak 100 meter dari rumah Mbah Narto. "Kalau tidak mengungsi kasihan anak saya yang masih bayi berumur sembilan bulan," kata Widarsih.
Kondisi serupa ditemukan di rumah Sadiyo dan Agus Suwandi. Ketinggian air di kedua rumah itu di atas mata kaki. Tak ada satu ruang pun di rumah Sadiyo yang tidak tergenang air. Berbeda dengan rumah Agus Suwandi yang masih ditemukan ruang yang tak tergenang air. Ruang itu dapur yang biasa digunakan untuk menggoreng rambak.
"Ya, dapur itu sengaja saya tinggi 30 cm dari lantai rumah untuk persiapan banjir seperti ini. Di tempat inilah, kami tidur bersama anak saya. Motor dan berbagai perabot dan televisi pun saya angkut semua ke dapur sempit itu. Daripada tidak mengungsi ke rumah tetangga," kata Wandi, sapaan akrabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar