Selasa, 21 Juni 2016

Kisah Kasman Singodimedjo, Sang Pemersatu Islam dan Nasionalis

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam politik, perseteruan adalah hal lumrah. Bahkan seringkali terjadi dalam momen genting.

Sejarah Indonesia pun tak lepas dari perseteruan politik. Dalam situasi tersebut selalu hadir sang pemersatu. Kasman Singodimedjo adalah salah satunya.

Kiprah Kasman di dunia pergerakan dimulai sejak dirinya aktif di Muhammadiyah. Pada1925, dia pun menjadi salah satu tokoh sentral di Jong Islamieten Bond (JIB). Sebuah perkumpulan pemuda Islam yang menjadi cikal bakal organisasi pergerakan lainnya.

Pada 1938, Kasman turut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Maruf, Sukiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo.

Momen itu sekaligus menabalkan dirinya sebagai eksponen golongan Islam. Di zaman pendudukan Jepang, Kasman pun aktif sebagai Komandan Pembela Tanah Air (Peta) Jakarta.

Menjelang kemerdekaan Kasman didapuk sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Peran Kasman sebagai pemersatu sangat kental dalam proses pengesahan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Tepatnya pada rapat PPKI 18 Agustus 1945.

Golongan Islam sempat menolak proses pengesahan tersebut. Ini dikarenakan adanya usulan penghapusan tujuh kata yang mewakili aspirasi umat Islam, yakni butir pertama yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Golongan Islam yang diwakili Ki Bagus Hadikusumo menolak usulan tersebut. Sebab, tujuh kata tersebut merupakan kesepakatan bersama yang telah dicapai pada rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni pada 22 Juni 1945.

Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dalam momen kebuntuan itulah Kasman hadir sebagai pemersatu antara golongan Islam dan nasionalis.

Kasman yang juga berasal dari Muhammadiyah dipercaya oleh Soekarno dan Hatta untuk meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo supaya menerima usulan penghapusan tujuh kata terkait syariat Islam.

Sebab, muncul penolakan dari perwakilan Indonesia bagian timur jika tujuh kata tersebut tetap dipertahankan.

Anggota DPD DKI Jakarta yang pernah menjadi sekretaris pribadi Kasman, AM Fatwa, mengungkapkan bahwa waktu itu Kasman berbicara empat mata dengan Ki Bagus Hadikusumo.

Sebab, dua utusan sebelumnya yang juga mewakili golongan Islam, yakni Teuku Muhammad Hasan dan KH Wahid Hasyim, gagal membujuk Ki Bagus Hadiksumo. Kasman pun sejatinya merupakan perwakilan dari golongan Islam.

"Namun Pak Kasman sama sekali tak menganggap Pancasila bertentangan dengan Islam, bagi Beliau, Pancasila merupakan bagian dari Islam," ujar Fatwa saat diwawancarai di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Minggu (19/6/2016).


Atas dasar itulah Kasman meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Bahwasanya, penghapusan kewajiban menjalankan syariat Islam, dan diganti dengan frase Ketuhanan Yang Maha Esa tetap mewakili aspirasi umat Islam Indonesia.

Kasman menjelaskan kepada Ki Bagus Hadikusumo bahwa makna dari Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan ketundukan umat Islam kepada Allah SWT.

"Di samping itu Pak Kasman juga mendudukkan situasinya kepada Ki Bagus Hadikusumo bahwa saat itu kondisi memang sedang genting karena masih ada tekanan dari Jepang dan sekutu," tutur Fatwa.

"Indonesia saat itu butuh UUD sesegara mungkin sebagai syarat berdirinya negara agar diakui oleh pihak internal maupun eksternal. Enam bulan kemudian ada kesempatan untuk merevisinya lagi, itu yang diucapkan Pak Kasman," ujar Fatwa.

Argumentasi Kasman tersebut berhasil meluluhkan hati Ki Bagus Hadikusumo. UUD 1945 saat itu pun berhasil disahkan berkat kebesaran hati golongan Islam melalui peran Kasman Singodimedjo.

Selepas itu, karir politik Kasman pun terus menanjak. Dia terpilih sebagai ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebagai parlemen pertama di Indonesia pada 29 Agustus 1945.

Selanjutnya, Kasman diangkat sebagai Jaksa Agung pada 1945-1946. Pada 1947-1948 Kasman diangkat sebagai Menteri Muda Kehakiman, tepatnya pada Kabinet Amir Sjarifuddin II.

Selanjutnya pada pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante, yakni pada 29 September 1955, Kasman terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi.

Meski karir politiknya tergolong cemerlang, di akhir masa pemerintahan Soekarno, Kasman justru sempat berseteru dengan sang proklamator.

Puncaknya ketika Kasman ditahan pada November 1963 atas tuduhan terlibat dalam rapat gelap yang hendak menjatuhkan pemerintahan Soekarno.

Awalnya, Kasman sempat dipenjara di Sukabumi, kemudian berpindah ke Bogor hingga masa penahanannya habis seiring dengan jatuhnya Rezim Orde Lama.

"Meski waktu itu Pak Kasman sudah menegaskan bahwa dirinya sama sekali tak pernah ikut sekalipun dalam rapat gelap yang dimaksud, tetap saja Beliau ditahan dan divonis selama dua tahunan," ujar Fatwa.

Fatwa pun mengatakan saat Kasman bebas dari penjara karena rezim Soekarno runtuh, tak sekalipun Kasman menaruh dendam pada Soekarno.


Hal itu terbukti saat Soekarno wafat. Kasman turut serta mengantar jenazah Soekarno dari Jakarta hingga ke Blitar.

"Bagi Pak Kasman, itu merupakan suatu penghormatan kepada seorang kawan, kepada seorang pemimpin negara," ujar Fatwa.

"Meskipun dulunya Pak Kasman pernah dipenjarakan oleh rezim Soekarno, tapi Pak Kasman tetap menganggap Soekarno sebagai kawan, sebagai saudara sesama muslim yang harus dikasihi dan dihormati meski berbeda pandangan politik," tutur Fatwa.

Fatwa pun menceritakan alasan lain Kasman yang menghormati Soekarno yang berbeda pandangan politik dengannya.

"Waktu saya tanya kenapa Beliau sampai mengantar jenazah ke Blitar, Beliau bilang Nabi Muhammad SAW saja waktu ada jenazah seorang Yahudi lewat sampai berdiri sebagai bentuk penghormatan, apalagi ini kepada saudara sesama muslim, meski berbeda pandangan politik, tak jadi penghalang untuk menghormati seseorang," ucap Fatwa.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search