Sabtu, 11 Juni 2016

Kisah Mualaf yang Puasa di Daerah Minoritas Muslim

Umat HIndu di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara hidup berdampingan dengan muslim di sana.

Umat HIndu di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara hidup berdampingan dengan muslim di sana.

MENJALANI ibadah puasa di daerah yang didominasi non-muslim memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam. Mereka harus bisa menyesuaikan diri agar ibadahnya di bulan Ramadan berjalan lancar. Apalagi dalam satu rumah ada orang tua yang masih berbeda keyakinan.

Namun demikian, tantangan ini menjadi kenikmatan sendiri bagi Ni Wayan Ernayanti, 30, yang tinggal di Desa Jati Bali di Ranomeeto, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Di desa ini dia menjalani ibadah puasa bersama suami bernama Taufik dan dua anaknya.

Desa Jati Bali yang berpenduduk 2000 jiwa itu, hampir semua warganya beragama Hindu. Bahkan ibu bapak Ni Wayan Ernayanti, masih bertahan dengan agama dia sebelumnya.

Ni Wayan Ernayanti, adalah satu dari dua keluarga yang beragama islam di Desa Jati Bali ini. Siang itu, Kendari Pos (Jawa Pos Group), mengelilingi desa Jati Bali. Perkampungan ini terlihat lumayan lengang. Tak ada aktivitas mencolok, termasuk kegiatan yang bisa mengganggu kesungguhan orang yang sedang berpuasa.

Meski tergolong padat, tapi tidak terlihat warga yang makan dan minum secara terbuka, termasuk merokok.

Di salah satu rumah yang belakangan diketahui milik Taufik, terdengar suara merdu lantunan ayat AlQuran. Suara itu ternyata milik dari Ni Wayan Ernayanti, istri Taufik.

Siang itu, Taufik sedang tidak di rumah. Ia bekerja di Kendari, dan biasanya pulang saat sore. Ni Wayan hanya bersama dua anaknya.

Perempuan berusia 30 tahun itu dulunya beragama Hindu, tapi memilih jadi mualaf setelah menikah, sejak 2008.

"Tapi saya tetap tinggal di rumah orang tua saya ini, meski mereka masih memeluk Hindu. Bagi kami itu tidak masalah," kata perempuan yang mualaf sejak tahun 2008 lalu tersebut.

Ia menceritakan, mengenai toleransi agama di desanya begitu tinggi. Lantaran nilai torensi terpupuk baik, ibu dua anak ini masih tinggal satu rumah dengan kedua orang tuanya. Meskipun sudah berbeda keyakinan.

"Kita anggap biasa, karena mereka juga menghargai. Sama juga kalau Hari Nyepi (hari besar Umat Hindu). Kita juga menghargai ibadah mereka," timpalnya.

Sayangnya, di desa tersebut belum ada masjid. Namun itu tidak menyurutkan keluarga Taufik untuk beribadah.

"Kalau kita mau sahur tinggal pasang alarm. Terkadang juga kita bangun karena dengar suara masjid dari desa Sindang Kasih (desa tetangga Jati Bali-red)," ungkapnya.

(Kamaluddin/Kendari Pos/JPG)

$ad_code = '

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search