Liputan6.com, Bamako - Harta yang tak terhingga bagi Abdel Kader Haidara adalah buku, manuskrip dan kitab sejarah. Saat itu musim panas yang mengerikan tahun 2012.
Tiap malam, pustakawan Haidara mengangkut satu persatu, buku dan kitab bersejarah berisi astronomi, puisi dan hukum ke kotak besi. Lantas dengan segera ia membawanya ke sebuah rumah yang tersembunyi di pinggiran kota.
Haidara sedang tidak mencuri, namun ia menyelamatkan manuskrip bersejarah dari tangan militan yang berafiliasi dengan Al Qaeda, Islamic Maghreb (AQIM).
Beberapa bulan sebelum ia menyelamatkan bukti sejarah itu, kelompok teroris itu dengan sistematis menghancurkan apa pun yang mereka anggap haram. Termasuk buku sejarah.
Kitab, manuskrip, dan buku sejarah di perpustakaan itu berisi pusat keberadaban Mali dan Afrika termasuk di antaranya Islam.
Selama 9 bulan, Haidara dan timnya menyelamatkan lebih dari 350.000 manuskrip dari 45 perpustakaan yang berbeda di Timbuktu. Ia menyembunyikannya di kota Bamako, 400 mil dari area yang dikuasai AQIM.
Kisah heroik Haidara dituangkan dalam buku terbaru yang diterbitkan pada awal Juni 2016, karya Joshua Hammer berjudul 'The Bad-Ass Librarians of Timbuktu'.
Dilansir dari The Economist, Selasa (21/6/2016), beberapa manuskrip yang paling menarik berisi daftar panjang seperti rempah-rempah, mineral, hewan, bahan kain, dan buku yang dibawa ke Timbuktu selama Zaman Pertengahan. Bukti sejarah itu memberi gambaran nyata akan seperti apa kota tersebut pada waktu itu.
Proses penulisan manuskrip itu diwujudkan dalam goresan tinta merah, emas, dan hitam, di atas kertas yang diimpor dari Turki atau Venesia.
Dibutuhkan tiga pakar untuk menciptakan satu manuskrip: satu untuk menuliskan kata-kata, satu untuk mengedit, dan orang ketiga untuk menuliskan penanda intonasi yang rumit. Jutaan halaman seolah menjadi spesies langka, terancam oleh gelombang demi gelombang penyerangan.
Revolusi Arab ala Mali
Buku karya Joshua ini bukan hanya tentang manuskrip, karena proses penyelamatannya tidak dimulai hingga pertengahan buku.
Kisah dalam buku Joshua lebih banyak tentang sejarah terorisme di Mali, yang selama berabad-abad tercipta di jalur perdagangan yang melintasi Gurun Sahara.
Alur kisah buku itu mulai melaju cepat saat tembakan awal yang menandai 'revolusi Arab' ala Mali mulai terdengar.
Prancis dan Amerika mengamati sebuah wilayah lemah, yang dikerubungi penjahat, mulai hancur secara perlahan. Pejabat militer ingin menyerang langsung kelompok-kelompok ekstrem yang sedang terbentuk.
Sedangkan para diplomat lebih memilih diplomasi. Sandera mulai ditangkapi dari Mali dan negara-negara tetangga, serta ditukar untuk uang tebusan yang besar.
Suku Tuareg yang mendukung pemimpin Libya Moammar Khadafi, pulang dengan membawa senjata dan siap melakukan revolusi. Saat suasana semakin panas, sebuah festival musik terkenal di Timbuktu menyambut tampilnya Bono di atas panggung. Empat hari kemudian, turis pergi meninggalkan Mali, dan perang pun dimulai.
Kehidupan di Timbuktu semakin memburuk, dengan hukuman brutal yang dilaksanakan oleh tentara muda. Banyak warga Mali yang menolak untuk diintimidasi. Pemberontakan akhirnya dimulai.
Haidara, kolektor manuskrip yang gigih, yang menghabiskan hidupnya mengumpulkan karya-karya paling penting dalam sejarah Afrika Utara di perpustakaan pusat, mengemban tugas yang sulit, bahkan hampir mustahil, yaitu bagaimana menyelundupkan hampir setengah juta teks kuno tanpa diketahui oleh teroris sepanjang rute seribu kilometer menuju Bamako. Karena sangat tertekan, ia sampai-sampai menderita tukak lambung.
"Tapi, tidak ada satu pun yang hilang," kata Haidara.
Kendati demikian, banyak pertanyaan mengemuka. Bagaimana nasib kitab dan manuskrip bersejarah yang rapuh itu akan bertahan. Mereka kini tak terakses oleh siapapun, dan bersembunyi di tengah gurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar