Kamis, 09 Juni 2016

Kisah Puasa Pertama Para Mualaf Amerika

Dream - Hari mulai beranjak senja. Tapi restoran di tengah kota Manhattan, New York itu masih sesak. Pramusaji bernampan di atas pundak silih hilir mudik. Membawa pesanan makan orang-orang yang sudah menunggu sabar.

Sekejap kemudian, dari balik kaca restoran, Rollo Romig melintas. Langkahnya gontai. Raut mukanya lesu. Tak sadar matanya terpikat menu-menu makanan yang tersaji di depan restoran. Sebuah menu lama pie lemon dan makanan dari bayam dari tahun 1936. Ada juga menu tahun 1957 berupa daging puyuh, panggang ikan todak, dan kelinci rebus.

Air liurnya menetes. Perutnya memang sedang keroncongan. Sudah hampir sebulan jurnalis freelance ini tak makan siang.

Bukan tak mampu membeli, Romig seorang muslim. Hari itu dia sedang berpuasa. Dia bukan muslim dari lahir. Baru empat tahun dia mengucap syahadat. Menyatakan ikhlas memeluk Islam. Menemami istrinya yang sudah lebih dulu jadi muslimah.

Empat tahun berselang, pengalaman itu masih diingatnya. Puasa pertama sebagai seorang mualaf. Romig memang belum sempurna. Puasanya masih bolong-bolong. Di 2012, dia bertekad puasa sebulan penuh. Berat memang tapi harus dijalani.

Sehari jelang puasa di Juli 2012, Romig sudah punya rencana. Dia ingin berfoya-foya makan menu enak. Dia memakan apapun sebelum mulai menjalani puasa. Di kepalanya sudah terbayang beratnya ditawari aneka jus saat berangkat kerja. Atau melintasi Times Square dengan donat gratis yang harus direlakan untuk teman kantornya.

Saat pukul 04.10 pagi di sahur hari pertama itu, Romig seperti seorang bayi yang frustasi. Dia menghabiskan berliter-liter air minsum. Tak lupa secangkir kopi kedua. Istrinya tertawa. Tapi Romig tak hiraukan.

Menjalani puasa dan menjadi kaum minoritas memang pekerjaan berat. Didaulat sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan, Amerika Serikat masih menganggap Islam sebagai agama kelas dua. Negara ini tidak benar-benar menerapkan kebebasan.

Situasi ini tentu tidak mendukung bagi Muslim di negeri Paman Sam tersebut. Mereka tidak bisa bebas beribadah dengan nyaman. Alhasil, mereka memilih mengabaikan rasa nyaman itu dan berusaha untuk bisa beribadah, apapun caranya. Terutama untuk menjalankan puasa.

Romig memang tak sendiri. Banyak muslim merasakan perjuangan yang sama. Harus berpuasa saat sebagian besar penduduk dengan lahapnya makan dan minum di restoran.

`Saya Sering Merasa Lemah dan Tak Sanggup`

Selanjutnya :

Kisah Puasa Pertama Para Mualaf Amerika
Mulai Dari :

`Saya Sering Merasa Lemah dan Tak Sanggup`

Berikan Reaksimu Tentang Artikel di Atas

0%

Alhamdulillah

0%

Masya Allah

0%

Wallahu a'lam

0%

Subhanallah

0%

Astaghfirullah

0%

Naudzubillah

Kisah Puasa Pertama Para Mualaf Amerika [embedded content]

Suka artikel ini ?

RELATED NEWS

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search