Sabtu, 02 Juli 2016

Mendewakan Habibie

Edisi 02-07-2016

Mendewakan Habibie


Rudy Habibie masih mengikuti resep film sebelumnya, Habibie & Ainun, yang melodramatik dan memotret tokoh utamanya tanpa cela. Kali ini dosisnya bahkan ditingkatkan dua kali lipat.

Banyak cara untuk mengonstruksi seorang tokoh ke dalam film layar lebar. Ada yang menggunakan cara klasik dengan memuliakan tokoh utamanya hingga terlihat tanpa cacat. Ada yang berusaha menggali sisi terdalam pikiran dan emosi sang tokoh hingga sosoknya terlihat lebih "manusia", punya sisi baik dan buruk.

Hingga yang menggambarkan tokoh protagonisnya secara "telanjang" atau menggambarkan periode paling rapuh dalam hidupnya. The Iron Lady yang menceritakan masa senja Margaret Thatcher bisa menjadi contohnya. Dalam Rudy Habibie , produser Manoj Punjabi, sutradara Hanung Bramantyo, dan penulis skenario Ginanti S Noer memilih untuk memakai cara yang pertama.

Sebuah cara yang memang banyak dipakai dalam film biopik di Indonesia. Sumbernya adalah cerita langsung Habibie, yang sudah dibukukan pada 2015 lalu dengan judul Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner , juga ditulis Ginanti. Resep "potret sempurna tokoh bangsa" ini juga sejalan dengan langkah yang sudah diambil film pertamanya.

Sesuai sumber bukunya, Rudy Habibie dimaksudkan sebagai prekuel Habibie & Ainun . Ceritanya menggambarkan masa kecil hingga masa dewasa Habibie, saat dia mulai membentuk visinya tentang Indonesia pada masa depan. Rudy (Reza Rahadian) lahir dari ayah (Donny Damara) yang asal Gorontalo, Sulawesi, dan ibu (Dian Nitami) yang berdarah Jawa.

Pernikahan beda suku orang tua Rudy dianggap cukup kontroversial saat itu, dibuktikan dengan ketidaksetujuan orang tua ayah Rudy, pada awalnya, dengan pernikahan anaknya itu. Dari ayahnya, Rudy belajar banyak tentang sains dan agama. Juga caranya untuk bisa hidup baik dan terhormat. "Jadilah seperti mata air. Kalau engkau baik, maka sekelilingmu akan baik," begitu pesan ayah Rudy yang selalu diulang-ulang dalam film.

Ajaran hidup bijak ayahnya tersebut menjadi bekal Rudy untuk hidup di Aachen, Jerman, saat mengenyam bangku kuliah. Karena kuliah atas biaya sendiri, banyak halangan yang ditemuinya. Mulai biaya hidup yang minim sampai dirisak oleh temantemannya sesama mahasiswa Indonesia.

Tapi di sini pula, Rudy bertemu dengan teman-teman yang mendukungnya, yang datang dari berbagai suku, mulai Keng Kie (Ernest Prakasa) yang China-Sunda, Ayu (Indah Permatasari) yang putri bangsawan dari Solo, Poltak (Boris Bokir) dari Batak, hingga Peter (Pandji). Rudy juga bertemu dengan cintanya sebelum Ainun, yaitu gadis Polandia bernama Ilona (Chelsea Islan).

Karena pembuat film ingin membuat penonton melihat Habibie sebagai sosok yang sempurna, sepanjang film, kita akan melihat Habibie yang jenius, yang mampu memenuhi tantangan dosen, juga mampu menghafal dengan sangat detail. Juga sosok yang religius, rajin salat tak peduli meski harus melakukannya di bawah tangga kampus, bahkan di gereja sekalipun.

Tak ketinggalan, populer di kalangan temanteman dan punya visi sebagai pemimpin. Belum lagi, jiwa nasionalismenya yang sangat tinggi. Dia tak sudi menukarnya dengan kekayaan. Bahkan, cintanya kepada Ilona pun bisa diabaikan. Kesuperan Habibie ini lantas dibingkai dengan adegan-adegan yang sangat dramatis.

Mulai kematian ayahnya, ketidakadilan atas hasil karyanya, sakitnya dia saat masa genting, hingga akhir tragis kisahnya bersama Ilona. Ditambah sempalan soal "pluralisme" khas film-film karya Hanung Bramantyo, Rudy Habibie seolah demikian ngotot untuk membuat filmnya terasa "menginspirasi" dan punya "pesan moral".

Bagi penonton yang memang menginginkan kisah-kisah "inspiratif", Rudy Habibie memang bisa memenuhi ekspektasi itu. Namun, bagi penonton yang menginginkan kisah yang lebih "nyata" dengan tokoh yang lebih "manusia", mungkin menonton Rudy Habibie bukan pilihan yang tepat.

herita endriana

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search