BANTUL, KOMPAS.com - Sutiarno sempat menjual sandal dan kerajinan tangan di Malioboro saat muda. Hasilnya nihil, ia tetap hidup kekurangan. Padahal ia punya istri dan anak yang harus dihidupi.
Suatu hari ia teringat kembali resep sate dan tongseng yang diajarkan kakek dan ayahnya. Ia pun mencoba membuka usaha yang digeluti oleh kakek dan ayahnya dulu, sebagai tukang sate dan tongseng.
"Saya memulai usaha tahun 1984. Modalnya Rp 500.000 pinjam dari tetangga, pinjam sana sini. Saya punya mimpi, anak saya semua harus sarjana. Intinya sabar, kalau dikasih cobaan sama Tuhan, sabar," kata Sutiarno yang akrab disapa Pak Nano.
Dari pejabat sampai selebriti mampir ke rumah makan untuk mencicipi masakan Nano yang memiliki level kepedasan unik. Tak pedas atau tak pakai cabai masuk pada level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Level kepedasan naik terus dari SD, SMP, SMA, sampai yang paling pedas level profesor memakai 50 cabai rawit.
Menurut Marni, istri Nano, kelakar suaminya yang membuat pelanggan betah dan ingin kembali lagi. "Kasihan tamu-tamu, apalagi yang dari luar kota kalau penjualnya hanya diam dan cemberut," kata Marmi.
Di balik kesuksesan yang diraih, Nano dan Marni kini mengaku sudah puas.
"Kalau kata orang Jawa tak ngoyo. Kalau dulu saat anak-anak masih kuliah. Kurang daging, kita tambah lagi. Sekarang ya seperi bulan madu saja. Memang paling enak jualan sate, ngipas-ngipas pengunjung datang sendiri," canda Nano.
Tongseng Petir Pak Nano buka tiap hari dari pukul 12 sampai pukul tujuh malam. Selain sate dan tongseng, Rumah Makan Sate Petir Pak Nano juga menjajakan tongseng kepala kambing, kilil, jeroan, dan otak kambing. Harga seporsi sate dan tongseng kambing dibanderol Rp 20.000 sedangkan nasi dan minuman dibanderol Rp 5.000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar