
Poster Film Soegija diambil dari Puskat Pictures, PT Alam Media, Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta
JATIMTIMES, MALANG – "Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Jika tidak punya, maka politikus hanya jadi benalu negara".
Begitulah salah satu pesan Uskup Mgr. Albertus Soegijapranata kepada Lantip dalam Film Soegija garapan sutradara ternama Garin Nugroho.
Soegija (Nirwan Dewanto) merupakan uskup pertama di Indonesia yang secara langsung ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik dengan lakunya sehari-hari maupun melalui tulisan-tulisan bernasnya di berbagai media asing, seperti majalah Commonwealth di Amerika Serikat, tentang kondisi Indonesia sebenarnya di bawah jajahan Belanda.
Diplomasi gerejaninya melalui surat-menyurat ke Vatikan menghasilkan pengakuan negara mungil itu atas kemerdekaan Indonesia. Vatikan jadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, dan dukungan itu menyebabkan tekanan dunia terhadap Belanda semakin besar.
Kisah uskup pribumi pertama di Indonesia yang digarap Garin Nugroho di bawah Puskat Pictures, PT Alam Media, Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta ini tidak lantas jadi film gerejawi. Tidak juga sarat kalimat- kalimat heroik. Soegija (baca: Sugiyo) di tangan Garin Nugroho menjadi film yang punya dua lapisan: lapisan pertama segar dan menghibur, dan lapisan kedua punya kedalaman makna.
Coba simak dialog Soegija dan Koster (pembantu uskup) Toegimin (Butet Kartaredjasa) yang bertugas menggotong koper- koper milik uskup.
"Coba Romo punya istri, pasti sudah ada yang ngurus beginian," Toegimin mengarahkan dagunya ke barisan koper. "Romo kenapa enggak kawin toh? Kata teman saya, orang yang tidak menikah itu belum jadi manusia yang utuh. Tugelane wong."
"Aku memang manusia separuh. Sepotong ini dipakai untuk mengurus umat. Printilane buat Lantip sama buat ngurus kamu," Soegija menjawab dengan suara tenang. Tidak ada ekspresi kaget, apalagi tersinggung.
Dialog antara uskup dan pembantunya itu bisa jadi lumayan mengagetkan bagi yang tidak mengenal kehidupan gereja Katolik. Mengagetkan sekaligus lucu. Seorang uskup kok ditanya kosternya sendiri, mengapa tidak menikah? Dan yang lebih mengagetkan, jawaban yang diberikan sang uskup bukanlah menyitir dogma Katolik. Jawaban Romo Kanjeng (sebutan akrab Soegija) itu sederhana. Koster pun bisa paham.
Dilapisan kedua, prinsip- prinsip kemanusiaan Soegija diejawantahkan melalui tokoh- tokoh di film ini. Melalui Mariyem (Annisa Hertami), seorang perawat, serdadu Jepang (Suzuki) dan Robert (Wouter Zweers) serdadu Belanda yang mati justru ketika menyadari pentingnya kemanusiaan.
Hendrick (Wouter Braaf) fotografer Belanda yang jatuh cinta pada Mariyem. Ada pula Banteng (Andriano Fi- delis) gerilyawan remaja buta huruf, Ling Ling (Andrea Reva) gadis kecil Tionghoa yang mempertanyakan nasibnya, serta Lantip (Rukman Rosadi) yang mengerahkan anak muda untuk berjuang.
Film dengan durasi 116 menit melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaan bangsa Indonesia (1940- 1949) yang dengan ciamik diperankan oleh para aktor dan aktrisnya, ternyata merupakan salah satu film termahal yang pernah Garin garap. Ongkos produksinya tak kurang dari Rp 12 miliar dengan 2.775 pemain dan figuran dan waktu syuting selama tujuh bulan.
"Layani. Layani. Jangan layani saya," sekalimat yang diucapkan Soegija yang merupakan napas film ini serupa meninju kondisi para pemimpin sekarang yang selalu meminta untuk dilayani. Dilayani. Layani saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar