Kamis, 27 Oktober 2016

Kisah Ali ke Amsterdam tanpa Paspor

Suatu hari, saat keluar dari bandara, matanya terantuk pada sehelai kartu berwarna merah yang tergeletak di dekat tempat buang puntung rokok. Ia memungutnya begitu suasana sepi. Sesampai di rumah, kartu itu dia bersihkan. Bekas-bekas sepatu dilap dengan kain basah. Terbaca coretan dengan pulpen di kolom "Seat" tertera 57-F dan di "Flight" ada angka 892. Tanggal 11 Desember 1976, tibalah saat yang dia tunggu-tunggu. Tas kecil yang dibelinya di Pasar Senen diisi dengan sarung Aceh hadiah ibu, dua kemeja, dan baju dalam. "Saya juga bawa sajadah murahan, buku sejarah Eropa, dan kamus," ujarnya.

Saat penumpang dipanggil untuk masuk ruang pemeriksaan di bagian Bea-Cukai, ia melihat rombongan sarjana Indonesia yang akan mengikuti seminar di Kairo, Mesir, berkumpul di ruang VIP. Ali pun memutuskan membaur dengan rombongan tersebut melalui pintu kecil yang dipergunakan pekerja bandara. Semuanya berjalan mulus sampai dia duduk di kursi sesuai dengan boarding pass yang dia temukan sebelumnya.

Ali juga lolos dari pemeriksaan Imigrasi saat pesawat transit di Singapura, Bangkok, Bombay, Karachi, Kairo, dan Roma. Setiap kali transit, degup jantungnya selalu cepat berpacu. Dua puluh empat jam setelah meninggalkan Kemayoran, pesawat tiba di Bandara Schiphol, Amsterdam. Pilot mengumumkan suhu udara Amsterdam kala itu mencapai minus 10 derajat Celsius. Kenyataan itu menyulitkan Ali karena tak punya jaket tebal. "Saya akhirnya menyerah," ujarnya.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search