Selasa, 08 November 2016

Kisah Duka Jurnalis Aceh Masa Konflik Dibukukan

HABADAAILY.COM - Meliput dan menulis suasana di Aceh semasa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia sebelum menandatangani perjanjian damai (MoU), 15 Agustus 2005 di Helsinki tidak bebas seperti sekarang ini. Jurnalis dikekang dengan berbagai aturan dari penguasa.

Pada Tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah meningkatkan status Aceh menjadi daerah Darurat Militer (DM). Status ini turut berimbas pada pekerjaan bagi jurnalis, di maana sehari setelah status itu keluar, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengumpulkan semua petinggi media dan wartawan di Aceh. Rapat ini untuk membahas ruang gerak jurnalis atau wartawan dalam meliput kondisi Aceh.

Tidak lama kemudian, sebuah aturan dikeluarkan. Maklumat Nomor 5 Tahun 2003 yang isinya melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM menjadi narasumber berita. Lalu bagimana mereka menulis sehingga kondisi Aceh waktu itu dapat diketahui dunia luar Aceh?

Taktik dan kisah para jurnalis Aceh masa itu, kini dituangkan dalam sebuah buku berjudul "Rindu (tanpa) Perang". Buku ini ditulis oleh sejumlah jurnalis atau wartawan yang mengalami masa-masa sulit tersebut.

Mereka adalah; Adi Warsidi, Ali Raban, Ayi Jufridar, Bustamam Ali, Despriani Y Zamzami, Imran MA, Mukhtaruddin Yacob, Munawardi Ismail, Murizal Hamzah, Nani Afrida, Nasir Husein, Nur Raihan Lubis Risnl Faisal dan Saiful Bahri.

Buku tersebut sudah mulai diedarkan di Aceh dengan harga terjangkau. Isi baik dibaca oleh para jurnalis pemula sebagai referensi dalam meliput berita. Dalam buku juga diterangkan kiat-kiat meliput dalam kekakangan penguasa atau sebuah korporasi, namun tidak membentur etika jurnalis itu sendiri.[acl]

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search