
BIREUEN - Aliran sungai Peusangan yang membelah pegunungan dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah, bermuara ke pasisir Bireuen memberi arti kehidupan bagi warga pedalaman perbatasan Kecamatan Juli dan Jeumpa.
Pagi itu, sinar matahari sedikit mendidihkan kulit, namun gemuruh air yang menyelib di antara batu yang tersusun rapi di sungai, membelah jembatan gantung peninggalan Belanda di Sarah Sirong, Jeumpa memberi kesejukan yang berarti.
Sekawanan burung cicit bernyanyi menyambut kedatangan GoAceh, Minggu (8/1/2017) pagi di kawasan Salah Sirong, Jeumpa atau 15 kilometer dari arah barat-selatan jalan Bireuen-Takengon.
Bagi warga yang bermukim di aliran sungai itu seperti di Dusun Bivak, Kecamatan Juli serta Sarah Sirong, Alue Limeng, Kecamatan Jeumpa adalah lambang harapan di aliran sungai.
Di sinilah, di aliran sungai ini mereka mencari penghasilan tambahan selain pencaharian sebagian dari mereka sebagai petani kebun.
Tak hanya orang dewasa, anak seumuran 15 hingga 20 tahun juga ikut bergelut dengan ganasnya aliran sungai itu.
Sebut saja Andri (15), seorang bocah Salah Sirong, Jeumpa yang masih duduk di bangku SMP itu memungut batu dalam sungai dan mengangkat ke atas ban bekas yang telah disulap sebagai alat pengangkut batu sungai.
Dia tak sendiri, beberapa kawanan anak lain, baik warga di Bivak dan Sarah Sirong, Jeumpa saban hari melawan ganasnya aliran sungai, guna mencari batu untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
"Untuk satu mobil bak terbuka sejenis cold enam roda, batu harus dikumpulkan sembilan ban besar ini dan membutuhkan hingga dua atau tiga hari lamanya," kata Andri yang kulitnya mulai menghitam.
Hingga hari ini, mereka masih tetap tegar, menggantungkan hidupnya dari menambang batu yang ada di sungai itu.
Dengan peralatan yang sederhana, mereka tetap gigih dan tidak mengeluh, meski harus melawan arus di sungai yang kadang bergejolak.
Batu-batu itu telah dikumpulkan, maka temannya yang lain mengantarkan ban bekas besar itu untuk diangkut mengarungi aliran sungai ke daratan, tak jauh dari jembatan gantung, agar memudahkan saat diambil oleh pemilik truk.
"Biasanya uang hasil penjualan batu kami terima hanya Rp200 ribu hingga Rp300 ribu dibagi dengan beberapa teman lain yang ikut membantu mengangkut batu. Selebihnya harus membayar ongkos muat, sewa ban dan setoran untuk hak pembangunan kampung," kata Andri dan Amiruddin.
Mereka dan beberapa temannya yang lain bekerja bersama setiap hari, menambang batu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya di rumah serta digunakan untuk biaya sekolah.
"Kami biasanya menambang batu bila libur sekolah seperti hari Minggu, kecuali sore harinya bila ada kesempatan bersama teman yang lain," sebut bocah penambang batu lainnya, Muklis.
Tak banyak yang berubah, dan mereka masih seperti dulu, memungut batu ke batu, mengarungi perjalanan hidup yang begitu melelahkan hanya untuk menggapai impian yang terabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar