MEMILIKI anak yang menderita talasemia tidak membuat Watty Ruswandi menyerah. Kegigihan dan pengorbanan untuk menyembuhkan kedua anaknya tidaklah sia-sia. Setidaknya, ia bersama suami selalu berusaha membahagiakan sang buah hari di detik-detik terakhir kepergiannya.
Didapuknya sang suami, Ruswandi, untuk menjadi Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia Pusat ditujukan untuk menolong para orangtua yang memiliki anak penderita talasemia.
(Bunda Watty, Sumber Foto: Renny/Okezone)
Berawal dari memiliki anak dengan talasemia, ujian yang dihadapi Bunda Watty – sapaan akrab Watty Ruswandi— seakan tak ada hentinya. Anak ketiganya divonis menderita talasemia di usia 10 bulan pada 1980. Oleh sebab itu, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menjadi rumah kedua mereka.
"Anak saya kena talasemia mayor. Ia harus transfusi darah setiap bulannya. Waktu itu anak saya dirujuk ke RSCM dan ditangani oleh para dokter ahli darah," bebernya kepada Okezone belum lama ini.
Rasa putus asa menghinggapi Bunda Watty saat dokter ahli memvonis anaknya hanya bisa bertahan hidup sampai umur 10 tahun. Saat itu, belum ada dokter ahli yang mampu menangani penyakit genetik tersebut.
Untuk mengetahui apa itu talasemia, Bunda Watty kemudian membaca ensiklopedia mengenai penyakit tersebut. Lalu dokter juga menyarankan untuk memeriksa darah dirinya dan suami. Dari hasil laboratorium diketahui, bahwa Bunda Watty dan suami masing-masing memiliki talasemia minor.
"Kesedihan seakan bertubi-tubi menghampiri saya. Saya sampai tanya sama dokter, kok bisa penyakit ini tak ada obatnya," ungkap Bunda Watty menahan tangis.
Penderita talasemia saat itu hanya 50 pasien. Namun makin lama, penderita talasemia semakin meningkat. Jumlahnya kini mencapai 6.700 pasien di Indonesia.
Dari keinginan menolong sesama penderita talasemia, hati Bunda Watty tergerak untuk mendirikan yayasan talasemia. Watty pun tak malu jika harus door to door meminta dana untuk penderita talasemia.
"Saya surati semua untuk meminta dana. Bahkan saya waktu itu bicara dengan menteri untuk bisa aware dengan penderita talasemia," akunya.
Niat mulia Bunda Watty dan suami terwujud dengan didirikannya Yayasan Thalasemia Indonesia pada 1987. Namun, setelah sekian banyak pertolongan dan dukungan orangtua anak penderita talasemia, Watty harus kehilangan anak ketiganya saat berusia 20 tahun. Jauh dari prediksi dokter yang mengatakan bahwa anaknya divonis hidup sampai 10 tahun.
"Sebelum ia meninggal. Saya cuma bisikin ke dia 'yang ikhlas ya dek mama ikhlas kamu pergi'" pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar