Pekan lalu, CNNIndonesia.com menemui ketiganya di Rutan Cipinang, Jakarta. Mereka terlihat rileks jelang pengumuman vonis peradilan yang mereka anggap sesat karena mengabaikan fakta persidangan.
Andry terlihat semakin kekar karena rutin berolahraga, pagi dan siang, selama mendekam di sel blok C229. Maftul dan Musadeq juga merasa sehat dan tak terbebani pikiran apapun. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
Bagaimana kehidupan anda selama di tahanan?
Musadeq: Saya menikmatinya walaupun tidak pernah menyentuh makanan rutan. Kucing saja tidak doyan.
Andry: Saya selalu bangun jam enam pagi. Biasanya saya langsung lari pagi lalu angkat beban sampai jam 9 pagi. Kalau ada tamu, saya keluar sel. Kalau tidak ada, saya istirahat atau tidur siang. Sore olahraga lagi. Malamnya saya baca dan mendalami kitab kewahyuan.
Maftul: Secara mental saya sudah siap tinggal di balik jeruji. Tuhan tidak pernah berbohong. Saya menjalani yang pernah dijalankan para rasul terdahulu, walaupun di zaman yang berbeda.
Musadeq memiliki dua istri. Andry merupakan anak pertama dari pernikahan pertamanya. Anaknya yang paling muda baru berusia dua tahun. Ia juga berstatus kakek untuk 13 cucu.
Musadeq: Saya sudah pernah meminta dialog dengan MUI tapi itu tidak pernah mereka penuhi. Yang datang adalah polisi dan surat BAP. Polisi tidak paham agama. Saya siap berdialog. Saya tidak pernah bersembunyi.
Saya membuat kejahatan apa? Saya tidak mencuri. Ribuan umat saya tidak melaporkan saya ke polisi. Yang melapor justru orang lain. Saya minta ulama berdialog dengan saya. Mengapa mereka menghindari kami?
Jaksa Agung meminta fatwa kepada MUI. Mengapa dia meminta fatwa itu ke ormas? Konstitusi menyatakan pemerintah wajib melindungi keyakinan warga negara asalkan warga itu tidak melanggar hukum.
Yang melaporkan Musadeq ke kepolisian adalah Tahir Mahmud. Tahir jugalah yang mengadukan Musadeq ke polisi tahun 2007. Tahir bersaksi pada persidangan Musadeq, Desember 2016. Kepada majelis hakim ia mengaku mengetahui Gafatar melalui media massa. Ia khawatir agama Islam akan ternoda karena keberadaan Gafatar.
Pemerintah memulangkan paksa 712 pengikut Gafatar dari Kalimantan Barat menggunakan KRI Teluk Banten 516. Pada 27 Januari 2016, eksodus besar itu tiba di Dermaga Markas Komando Kolinlamil, Jakarta, sebelum melanjutkan perjalanan ke sejumlah provinsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Musadeq: Saya sudah berusia 73 tahun. Gafatar tidak punya kemampuan untuk melakukan makar. Lagi pula, untuk apa kami makar di Kalimantan dan bukan di Jakarta? Ajaran Milah Abraham juga melarang kami melawan penguasa.
Ribuan anggota Gafatar dari berbagai daerah pindah ke Kalimantan Barat. Di sana mereka membuka lahan pertanian. Tiga tokoh masyarakat lokal bersaksi di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur, akhir Januari lalu, dua di antaranya Kepala Desa Mendung bernama Yusat dan Pemangku Adat Desa Tangkahe, Masimpeh.
Kepada majelis hakim, Yusat berkata tidak pernah melihat anggota Gafatar berlatih ala militer. Ia menyebut Gafatar justru menghadirkan keuntungan besar bagi warga lokal di sektor pertanian. Menurutnya, isu negatif soal Gafatar baru muncul ketika intel kepolisian dan TNI datang ke desa mereka.
Musadeq: Gafatar ada di 34 provinsi dan di sekitar 200 kabupaten dan kota. Kami ke Kalimantan karena situasi di sana kondusif. Kami diberi tanah oleh masyarakat Dayak. Mereka tidak merasa terganggu dengan kehadiran kami. Bahkan, kami melatih mereka bertani.
Andry: Di Kalimantan saya punya kebun jahe seluas 25 hektar. Sudah ada perusahaan Belanda yang mau membeli hasil panen saya senilai Rp16 ribu per ton. Sekali panen, ladang itu bisa menghasilkan 350 ton. Saya juga punya 40 ekor sapi, beberapa motor dan mobil. Sekarang semuanya hilang.
Andry Cahya mempunyai sebuah pabrik manufaktur perlengkapan motor di Bekasi, Jawa Barat. Ia pernah mempekerjakan 40 pegawai, namun angka itu terus menurun karena omzet yang terjun bebas saat ia hijrah ke Kalimantan. Sebagian pegawainya kabur saat mengetahui Andry merupakan bagian dari Gafatar. Kini pabrik itu dijalankan istrinya. Keuntungan usaha itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dua anak mereka yang menjalani sekolah rumah (homeschooling).
Sebanyak 1.119 warga eks-Gafatar mengungsi di Detasemen Pembekalan dan Angkutan Kodam XII/Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat, 20 Januari 2016, karena diusir dari Kabupaten Mempawah (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang) |
Musadeq: Saya sudah memulai ini sejak 2001. Tahun 2006 saya mendapatkan pengalaman spiritual yang tidak bisa saya ceritakan karena itu adalah pengalaman pribadi. Pada 2007 saya mulai berdakwah secara terbuka.
Ibarat orang yang sedang berjalan, kitab menunut saya untuk menjalankan ayat ini dan itu. Kalau saya berhenti, saya laknat, tapi kalau saya bisa menjalani sampai akhir, saya akan berhasil. Saya tidak pernah ragu karena konsep itu ada di Al-Quran. Saya menguasai itu. Saya sudah ditunjukkan jalan itu, jadi saya harus menggenapinya.
Tahun 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bersalah kepada Musadeq atas penodaan agama Islam melalui ajaran Alqiyadah Al Islamiyah.
Anda siap menghadapi seluruh konsekuensi atas pilihan jalan hidup anda?
Andry: Saya tidak peduli dengan vonis hakim. Ini adalah ujian bagi saya dan saya tidak boleh melawan.
Musadeq: Saya tidak pernah rugi berhubungan dengan Tuhan. Hati kecil saya pun tidak pernah menanyakan alasan Tuhan memberikan jalan hidup seperti ini kepada saya. Gafatar melibatkan ribuan orang. Tapi Fatwa MUI sungguh sakti. Sebagai gerakan, kami distigmatisasi karena pemerintah tidak bisa mengendalikan kami. Fatwa MUI adalah biang ini semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar