Liputan6.com, Semarang -Nenek dipaksa mengemis? Adegan itu bukan cerita di sinetron kejar tayang, tapi benar-benar terjadi di Semarang.
Nama nenek pengemis itu Supini. Usianya sudah 93 tahun. Ia berasal dari kaki Gunung Andong, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Dalam tiga hari terakhir, nama nenek Supini melambung karena menjadi korban eksploitasi.
Oleh Suwarno, warga Sragen, Mbah Supini dipaksa menjadi pengemis di Kota Semarang. Ya, mbah Supini adalah nenek yang dipaksa mengemis.
Senin kliwon, 6 Maret 2017 menjadi hari keramat baginya. Pada hari itu, ia mendapatkan sebuah tongkat aluminium, dari Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu.
Entah benar entah tidak, hari Senin Kliwon adalah weton dari Mbah Supini. Ia menyampaikan hal itu di tengah penjelasan yang berubah-ubah dan ingatan yang sudah mulai menghilang.
Weton adalah hari yang sama dengan hari lahir, yakni gabungan penanggalan masehi dan penanggalan jawa. Siklusnya 35 hari sekali. Pada hari itulah, ia mendapat sebuah tongkat aluminium seharga Rp 225 ribu, menggantikan batang bambu yang selama ini dijadikan tongkat.
"Entuk tongkat seko pejabat. Mugo-mugo mberkahi. (Dapat tongkat dari pejabat, semoga berkah). Amien," kata Mbah Supini, mengungkapkan perasaannya.
"Wis suwe banget, lali. Awit cilik kelas siji, pas jaman Jepang. (Sudah lama sekali, lupa. Sejak kecil kelas 1, saat pendudukan Jepang)," kata Supini kepada Ita, sapaan akrab Wakil Wali Kota Semarang, saat ditanyakan sejak kapan ia tinggal di Semarang, Senin, 6 Maret 2017.
Tak banyak kisah yang bisa digali pada saat ia kecil. Yang diingat, saat itu Mbah Supini masih berumur delapan tahun. Ia ke Semarang setelah keluarganya di Grabag tercerai berai akibat perang.
Ita memberi apresiasi mengenai kesehatan Mbah Supini. Meski usia sudah 93 tahun dan daya ingat sudah berkurang, serta penjelasan yang tidak konsiste, Mbah Supini masih lantang jika berbicara. Ia juga cukup sigap melahap pertanyaan dari Wakil Wali Kota Semarang ini.
"Gak duwe anak bojo, mati kabeh (Tidak punya anak suami, meninggal semua)," kata Supini dengan suara keras.
Mbah Supini juga menolak tawaran Ita untuk dimasukkan ke Panti Jompo. Ia ingin pulang ke Grabag saja.
Ita tak bisa memaksa. Namun hatinya bertanya-tanya, barangkali karena panti wreda yang dimaksud bernama resmi Panti Rehabilitasi Among Jiwo. Artinya kurang lebih, Panti Rehabilitasi perawatan jiwa.
Panti tersebut milik Pemerintah Kota Semarang, yang selama ini digunakan untuk menampung Gelandangan, pengemis, dan juga orang terlantar.
"Saya sudah menugasi beberapa staf dan juga Dinas Sosial untuk menelusuri keberadaan keluarganya. Jangan sampai kita turuti untuk memulangkan ke Grabag, ternyata di sana nggak ada family maupun tempat tinggal. Sama saja hanya memindahkan masalah," kata Ita kepada Liputan6.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar