Jumat, 19 Mei 2017

Kisah Pengabdian Sujono 30 Tahun Mengajar di Sekolah Terpencil

SESOSOK pria berdiri di depan pintu kelas SDN Kedungpeluk 2 sejak pukul 06.00 Senin (15/5). Wajahnya begitu ramah. Dia sesekali melemparkan senyum hingga membuat matanya tampak menyipit. Meski usianya sudah 55 tahun, dia tetap terlihat bugar.

Tidak lama berselang, dua siswa kelas VI, Moh. Abdurrozaq dan Lailatul Mauliddiyah, tiba di sekolah. Mereka berjalan kaki tanpa membawa tas dan buku. Hanya satu kotak pensil berisi alat untuk mengerjakan soal ujian sekolah (US) yang mereka bawa.

Pria berambut putih dengan kemeja batik itu langsung menyambut dua siswanya tersebut. Sambutan penuh semangat agar mereka mampu mengerjakan soal US dengan baik dan benar.

Sosok itu adalah Sujono. Guru yang telah mengabdi selama 30 tahun di SDN Kedungpeluk 2. Sebuah sekolah di tengah tambak. Jarak dari pusat kota menuju sekolah tersebut sekitar 22 kilometer. Aksesnya pun begitu sulit. Meskin bisa dilalui lewat jalur darat, jalannya jelek.

Saat itu Sujono ikut tidak tenang ketika kedua siswanya melaksanakan US. Namun, dia yakin mereka bisa mengerjakan soal dengan baik. ''Siswa kelas VI hanya dua anak,'' kata guru kelas IV dan VI itu.

Sujono menatap Rozaq dan Lailatul dengan penuh harap. Keduanya diharapkan bisa segera mentas dari jenjang SD dengan nilai baik dan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. ''Tahun depan kami tidak punya siswa kelas VI karena kelas V tidak ada murid,'' ujarnya, lantas menghela napas.

Suami Sunyalik tersebut memang begitu dekat dengan murid-murid di SDN Kedungpeluk 2. Begitu juga warga di Dukuh Bangoan. Sebab, hampir sebagian besar orang tua murid di SDN Kedungpeluk 2 merupakan mantan muridnya sendiri. ''Sebagian besar warga sini kan murid saya. Dulu orang tuanya, sekarang anaknya,'' katanya, lantas tersenyum.

Ya, Sujono memang sudah 30 tahun menjadi guru di SDN Kedungpeluk 2. Ketika itu usianya masih 24 tahun. Masa lajangnya diisi dengan mengabdi sebagai guru di sekolah terpencil di Sidoarjo. ''Kali pertama menjadi guru pegawai negeri sipil (PNS), saya langsung ditugaskan di SDN Kedungpeluk 2, tepatnya sejak 1987,'' tuturnya.

Namanya guru muda, keinginan untuk mendapatkan tempat mengajar di tengah perkampungan pun ada. Namun, Sujono berusaha untuk menjalaninya dengan ikhlas. Dia harus mendidik anak-anak yang tinggal di tengah tambak yang aksesnya masih sangat jelek. ''Jarak dari rumah ke sekolah 20-an kilometer. Saat itu jalan masih belum dipaving. Jadi masih tanah lembek,'' ungkap pria yang tinggal di Desa Jinten, Kecamatan Tulangan, tersebut.

Sujono masih ingat betul ketika kali pertama bertugas di SDN Kedungpeluk 2. Jalanan yang masih berlumpur membuat Sujono harus berjalan kaki dari ujung Desa Banjarpanji menuju ke sekolah. Sepeda motor bututnya terpaksa dititipkan di salah satu rumah warga. Dia menyusuri pematang tambak yang berlumpur dan licin. Sekitar 5 kilometer jarak yang harus ditempuh. ''Kalau hujan bisa sampai dua jam saya jalan. Airnya pasang bisa naik sampai ke jalanan,'' ucapnya.

Namun, yang ada di benak Sujono saat itu hanya ingin mencerdaskan anak-anak para buruh tambak. Bangunan gedung SDN Kedungpeluk 2 saat ini jauh lebih layak dibandingkan kali pertama Sujono bertugas di sekolah tersebut. Pada 1987 sekolah itu masih berupa rumah panggung yang terbuat dari papan kayu. Kalau hujan, ruang kelas pun sering banjir. ''Belum ada listrik lagi,'' katanya.

Ya, hampir 30 tahun dia mengajar di SDN Kedungpeluk 2, penduduk Dukuh Bangoan sama sekali tidak teraliri listrik PLN. Begitu juga sekolahnya. Penduduk setempat hanya memanfaatkan genset atau aki untuk kebutuhan listrik. Itu pun tidak bisa lama karena biaya yang dikeluarkan banyak. ''Belum ada sebulan ini PLN masuk. Warga Dukuh Bangoan sudah teraliri listrik PLN,'' ungkapnya penuh bersyukur.

Sujono mengungkapkan, ketika kali pertama mengajar jumlah siswa di SDN Kedungpeluk 2 cukup banyak. Ada 18 anak. Mulai kelas I hingga VI. Bahkan, sekolahnya pernah mendapat sekitar 30 siswa. Saat itu guru yang mengajar ada empat, termasuk kepala sekolah. ''Sekarang sudah tiga tahun berturut-turut ini jumlah siswanya hanya 12 anak,'' paparnya.

Seluruh guru yang pernah mengabdi di SDN Kedungpeluk 2 kini banyak yang dipindahtugaskan di sekolah kota. Hanya Sujono yang belum pernah pindah sama sekali hingga kini. ''Jujur, saat kali pertama ditugaskan, saya berharap segera dapat dipindahkan,'' ungkapnya.

Ayah dua anak itu mengatakan, lima tahun pengabdiannya menjadi guru di sekolah terpencil sejatinya dijanjikan untuk dipindah ke tempat yang lebih kota. Lima tahun pertama bertugas, dia pun menagih janji tersebut. Namun, hingga kini Sujono belum juga dipindah. Sepuluh tahun pun dilewati Sujono dengan tetap menjadi guru di SDN Kedungpeluk 2. ''Setelah itu saya tidak pernah menagih. Saya telanjur jatuh hati sama warga sini,'' ungkapnya.

Sujono mengungkapkan dua alasan yang membuatnya tidak pindah dari SDN Kedungpeluk 2. Pertama, sulit mencari guru pengganti yang mau ditugaskan di SDN Kedungpeluk 2. Kedua, penduduk setempat banyak yang ingin mempertahankannya. ''Sekarang akses sudah dipaving meski masih masih rusak. Tapi, sudah lumayan,'' ucapnya.

Belakangan ini Sujono ditawari pindah ke sekolah yang lebih kota. Namun, tawaran itu ditolak. Dia tidak tega meninggalkan SDN Kedungpeluk 2. Hatinya sudah terpaut dalam dengan warga Dukuh Bangoan. Dia pun bertekad ingin mengabdi hingga pensiun. ''Ini dari hati nurani saya,'' paparnya.

Sujono juga telah membuat surat pernyataan resmi ke badan kepegawaian daerah (BKD) bahwa dirinya tetap ingin mengajar di SDN Kedungpeluk 2 hingga akhir tugas. ''Sudah kadung melekat dengan warga sekitar. Ingin menuntaskan tugas saya sampai pensiun nanti,'' ungkapnya.

Sujono mengatakan, dirinya juga tidak segan mendatangi rumah warga untuk membujuk anak-anaknya agar mau bersekolah. Dia ingin seluruh warga di Dukuh Bangoan pintar dan bersaing dengan anak-anak di wilayah kota. ''Sejak ada listrik anak-anak semakin giat belajar,'' tuturnya.

Metode pembelajaran pun akan ditingkatkan dengan menggunakan teknologi informatika. Semua alat peraga yang menggunakan listrik bisa dimanfaatkan. ''Sekarang anak-anak bisa belajar dengan LCD,'' ujarnya.

Sujono memang bertahan menjadi guru di SDN Kedungpeluk 2 hingga sekarang. Dia ingin mewujudkan generasi bangsa yang lebih maju. Sebab, anak-anak buruh tambak juga memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apalagi ketika melihat salah seorang muridnya bisa sukses menjadi apa yang dicita-citakan. ''Ada murid saya bisa menjadi polisi dan pedagang sukses. Saya ikut bangga,'' ujarnya.

Ya, mengubah nasib para buruh tambak di wilayah pinggiran memang tujuan utamanya. Tidak dengan memberikan materi, melainkan pendidikan yang baik. Sujono pun terus bersemangat.

Percakapan santai hampir dua jam itu tanpa terasa berakhir dengan selesainya ujian sekolah. Rozaq dan Lailatul pun keluar kelas dengan wajah lega sambil mencium tangan Sujono. (*/c15/hud)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search