Menelusuri sumber yang mem-posting foto yang viral di media sosial itu, koran ini akhirnya mengetahui identitas sang pria. Dia, Herman (41). Bersama sang istri dan lima anaknya tinggal pada sebuah rumah di Kompleks Bougenvile Blok M 11, RT 41, Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Alang-Alang Lebar.
Rumah itu milik sahabat Herman yang ditumpanginya sejak enam tahun lalu. "Ini bukan rumah kami," kata Fitrianti (39), istrinya membuka perbincangan dengan Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group), yang menyambangi rumahnya. Sebelumnya, mereka menumpang di rumah orang tua Fitrinti di kawasan Tangga Buntung.
Saat datang ke rumah itu, Herman, istri dan anak ketiga mereka, Annisa, sedang duduk di ruang tamu. Fitrianti membenarkan niat suaminya yang ingin menjual ginjalnya demi membiayai sekolah putri mereka, Annisa di SMKN 5 Palembang. "Perlu uang sekitar Rp2 jutaan," kata dia.
Sebetulnya, Fitrianti dan anak-anaknya tidak tahu kalau Herman akan melakukan itu. Dia berencana menghadap guru putrinya di sekolah Senin nanti. Mereka tak mau permasalahan itu diketahui Herman yang pernah hilang dari rumah selama tiga bulan pada pertengahan 2016 lalu.
Saat itu, Herman yang berhenti bekerja sebagai buruh bangunan berhasil ditemukan. Dia pulang dalam keadaan depresi berat karena masalah ekonomi.
Rupanya, pembicaraan tentang biaya daftar ulang antara sang istri dan anaknya terdengar oleh Herman. Muncullah niat untuk menjual ginjalnya. Dengan membawa tulisan "Dijual ginjal untuk biaya sekolah anak" pada kertas karton, Herman akhirnya keliling di jalan-jalan utama dalam Kota Palembang.
Dua jam berjalan kaki, aksinya dipergoki anggota Sat Pol-PP Palembang yang sedang patroli. Dia lalu diantar pulang ke rumah. "Kami sengaja tidak cerita. Kalau bapak tahu, pasti depresi lagi. Kami tidak mau menyusahkan bapak," tutur Fitrianti.
Sejak Herman menjalani pengobatan dari RS Ernaldi Bahar, dia dan anak-anaknya tidak mau lagi membebani dengan masalah ekonomi. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Fitrianti dan anak sulungnya harus bekerja.
Fitrianti sesekali mengajar mengaji, juga mengambil upahan sebagai tukang pijat keliling di sekitar tempat tinggalnya. Sedangkan Andre, anak tertua mereka yang baru lulus sekolah kini bekerja di salah satu restoran di Jl Angkatan 45, Palembang.
"Kalau masalah nilai dan prestasi, anak-anak kami membanggakan. Mereka tahu kondisi orang tuanya sehingga semangat belajar," jelas dia.
Hanya saja, untuk melanjutkan ke pendidikan, mereka terbentur biaya. Contohnya Andre yang ditolak kuliah di salah satu perguruan tinggi di kawasan Bukit Besar karena tidak punya biaya masuk. "Pernah juga anak kami ditawari kerja, tapi harus siapkan uang Rp200 juta. Dari mana kami punya uang sebanyak itu?" ujarnya lirih.
Mereka beruntung punya tetangga dan ketua RT yang sangat peduli. "Terkadang mereka beri bantuan, bahkan membiayai sekolah salah satu anak kami," tutur Fitrianti dengan mata berkaca-kaca.
Melihat istrinya bercerita panjang lebar, Herman lebih banyak diam dan mengamini. Namun dia mengakui hendak menjual ginjalnya. Ketika dia berjalan kaki selama dua jam, ada dua pengendara bermotor yang memberinya uang. Banyak pula yang memberinya semangat.
Dia tidak menyangka aksinya menjadi viral di jejaring sosial. "Kertas itu dari sampul tugas anak saya. Tiba-tiba saja terpikir untuk lakukan itu," ungkap Herman. Dia bahkan tidak berpikir berapa ginjalnya akan ditawar. Yang dia tahu, kalau ginjalnya hanya satu, masih tetap bisa hidup.
"Yang penting dapat uang untuk biaya sekolah dan makan," cetus pria yang saat ini sehari-harinya membantu jaga parkir di kawasan Kambang Iwak.
Perjuangan Herman ini sampai ke telinga Wali Kota Palembang H Harnojoyo. Herman dan keluarganya mendapat kabar kalau mereka akan dibantu oleh orang nomor satu di Palembang tersebut.
Herman meminta maaf kepada istrinya karena telah berencana menjual ginjal untuk biaya sekolah putri mereka. "Sebagai orang tua, saya ingin melihat anak punya hidup lebih baik. Apapun itu, pasti akan dilakukan," tandasnya. (*/ce1/nas/JPG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar