Oleh: Noveri Maulana – Faculty Member of PPM School of Management
Ditutupnya semua gerai Seven Eleven (Sevel) Indonesia akhir Juni 2017 mengundang banyak tanya berbagai kalangan. Tidak hanya pelanggan, pelaku bisnis, dan pengamat manajemen bisa dibilang kecewa sekaligus penasaran menganalisa runtuhnya kejayaan raksasa convenience store itu.
Puluhan artikel, berbagai forum praktisi, diskusi memecahkan teka-teki penyebab gagalnya sebuah strategi. Berbagai spekulasi bermunculan, beragam hipotesis dikemukakan menyoal kisah tragis Sevel Indonesia yang mungkin akan dikenang dan menjadi sebuah pembelajaran berharga.
Sebagian orang berpendapat, masalah regulasi menjadi awal petaka bagi keberlangsungan Sevel Indonesia. Ambiguitas perizinan antara bisnis restoran atau bisnis ritel disebut-sebut sebagai penyebabnya. Model bisnis baru yang ditawarkan ternyata belum mampu diakomodasi oleh regulasi yang dianggap ketinggalan zaman. Hingga puncaknya, aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol di mini market menjadi sebuah pukulan telak, setidaknya berimbas pada pendapatan convenience store tersebut. Sejak itu, perlahan namun pasti Sevel Indonesia mulai kehilangan pamornya.
Sebagian lain berpendapat bahwa regulasi bukanlah penyebab utama kemerosotan bisnis Sevel Indonesia, namun ketiadaan inovasi yang menjadi penyebab utama. Terlebih, dalam beberapa tahun ke belakang, Sevel seakan tidak mampu menghadirkan nuansa baru dalam model bisnis. Kejenuhan pembeli pada layanan dan produk yang itu-itu saja menghilangkan daya tarik pelanggan setianya. Hingga belakangan terlihat bahwa Sevel mulai kehilangan positioning, menjadi convenience store yang bukan lagi untuk segmentasi menengah kota metropolitan.
Pelanggan Sevel didominasi oleh remaja, generasi milenial yang memiliki daya beli tidak seberapa. Hal ini yang menjadi alasan mengapa pendapatan Sevel semakin menurun, selisih hampir Rp 85 miliar pada tahun 2015 dibandingkan 2016.
Memang, sejak berdirinya pada 2009 silam, Sevel menjadi idola kaum menengah Ibukota sebagai alternatif untuk hangout sambil menikmati berbagai minuman, camilan, dan makanan instan. Bahkan, wifi gratis juga disediakan untuk memanjakan para pelanggannya.
Periode 2009 hingga 2014, Sevel menjadi primadona, menjelma sebagai sebuah gaya hidup kaum urban millenials. Dengan akses toko 24 jam sehari dan 7 hari seminggu membuat keberadaan Sevel menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan.
Namun ternyata, semua suguhan itu belum mampu membuat pelanggan bertahan. Perilaku konsumen yang sangat dinamis menjadi tantangan berat bagi keberlangsungan bisnis Sevel. Kejayaannya dengan cepat meredup karena perubahan datang tanpa pemberitahuan. Inilah fenomena yang agaknya luput dari perkiraan manajemen Sevel Indonesia.
Strategi yang sudah dibangun untuk jangka panjang ternyata tak mampu menjawab perubahan secara tiba-tiba. Tentu manajemen Sevel Indonesia sudah berupaya melakukan pembenahan, tetapi beban operasional yang cukup tinggi tidak lagi mampu ditangani dengan penjualan yang cenderung terus menurun. Hingga akhirnya, manajemen dengan legowo mengumumkan akhir dari perjalanan singkat kejayaan Sevel di Indonesia.
Value Proposition dan Competitive Advantage
Ada dua hal yang perlu dijadikan perhatian serius, Value Proposition dan Competitive Advantage dari Sevel Indonesia. Kedua hal ini cukup relevan sebagai pemicu merosotnya pionir convenience store Indonesia itu. Memang faktor regulasi cukup berpengaruh, tetapi penulis cenderung melihat ke arah model bisnis convenience store yang Sevel angkat, yang ternyata belum mampu bertahan di tengah dinamika bisnis dan perilaku masyarakat Indonesia.
Osterwalder (2009) dalam bukunya Business Model Generation mengungkapkan, sebuah bisnis yang baik harus mampu menghadirkan proporsi nilai (value proposition) yang dibutuhkan oleh segmen pelanggannya. Dua kata kunci yang dikemukakannya ialah perihal proporsi nilai dan segmen pelanggan yang dibidik oleh pelaku usaha.
Proporsi nilai adalah fokus produk atau jasa yang ditawarkan kepada para pembeli. Hal ini bukan hanya sekadar memenuhi keinginan pelanggan, tapi lebih dari itu, proporsi nilai harus mampu mengelola kebutuhan segmen pelanggannya sehingga bisnis tetap berjalan. Tentu, bisnis yang berkelanjutan adalah bisnis yang mampu memenuhi siklus kebutuhan pelanggannya, bukan hanya keinginan semata.
Ketika Sevel hadir dengan model bisnis baru yang disebut sebagai Convenience Store, proporsi nilai yang ditawarkan ialah produk Ready To Drink dan Ready To Eat dengan lokasi yang nyaman untuk hangout. Itulah kenapa kehadiran Sevel selalu didukung dengan keberadaan kursi dan meja layaknya sebuah cafe. Apalagi produk minuman beralkoholnya dibanderol dengan harga yang relatif murah dari harga Bar atau Café.
Dengan memenuhi kebutuhan gaya hidup masyarakat kota metropolitan seperti itu, tentulah proporsi nilai yang ditawarkan Sevel langsung menjadi primadona. Hingga proporsi nilai ini juga dikemas menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage) yang menjadi andalan Sevel dalam memenangi model bisnis disruptif yang ia usung.
Apa keunggulan bersaingnya? Tentu akses mudah dan murah terhadap minuman beralkohol menjadi andalan Sevel dalam memenangi kompetisi bisnis convenience store di Indonesia.
Hitt (2010) menyatakan, sebuah keunggulan bersaing setidaknya harus memenuhi empat kriteria yang disebut dengan VRIO Model. Sebuah competitive advantage dikatakan baik jika ia bernilai (Valuable), langka (Rare) dan tidak mudah ditiru (Imitability) oleh pesaing maupun pendatang baru, dan dikelola (Organized) dengan baik oleh manajemen sehingga mampu dipertahankan.
Agaknya, di sini kita mulai bisa melihat celah permasalahan yang menjadi teka-teki kemerosotan Sevel Indonesia. Pengelolaan competitive advantage yang mengusung akses minuman beralkohol dengan mudah dan murah ternyata tidak memenuhi unsur VRIO. Inilah mengapa sejak Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6 Tahun 2015 tentang Pelarangan Penjualan Minuman Beralkohol di Mini Market dikeluarkan, Sevel Indonesia langsung goyah dan mulai menghadapi ragam permasalahan.
Peraturan Menteri tersebut ibarat pisau yang menusuk jantung. Competitive advantage yang selama ini menjadi andalan Sevel dalam memenangi pasar tiba-tiba harus ditiadakan karena terkendala aturan. Di sinilah puncak permasalahannya.
Pertama, sejak awal Sevel seakan menutup mata bahwa competitive advantage yang ia angkat bukanlah suatu value yang kuat, tidak memenuhi seluruh unsur VRIO. Sevel terlalu berani ekspansi besar-besaran dengan model bisnis yang masih perlu penyempurnaan.
Sedangkan kedua, sejak pemberlakuan larangan itu, Sevel cenderung lamban berinovasi. Proporsi nilai yang ditawarkan tidak mengalami perubahan, apalagi keunggulan bersaing yang baru sebagai pengganti tidak kunjung diciptakan. Sevel seakan-akan tidak punya perencanaan dalam menyesuaikan bisnis modelnya. Buktinya, tidak banyak perubahan yang kita lihat sejak pelarangan minuman beralkohol diperjualbelikan, selain jumlah pengunjung yang terus mengalami penurunan.
Ragam misteri semakin memunculkan tanda tanya. Apakah benar manajemen Sevel tidak melakukan penyempurnaan model bisnis mereka? Apa betul mereka tidak menciptakan keunggulan bersaing baru sejak tahun 2015 yang lalu? Atau jangan-jangan ada agenda lain dari semua kejadian ini? Berbagai spekulasi tentu semakin bermunculan. Namun, hanya PT. Modern Internasional (MDRN) saja yang bisa menjawab pasti atas semua pertanyaan ini selaku pemegang hak usaha franchise Sevel Indonesia.
Setidaknya ada pelajaran penting yang bisa kita renungkan. Pertama, perihal bisnis model di era persaingan bisnis yang disruptif ini. Berbagai model bisnis baru bermunculan, namun masih butuh banyak penyempurnaan. Selain berhadapan dengan banyak ragam regulasi di Indoensia, model bisnis yang beragam ini juga perlu melakukan penyesuaian dalam menyusun proporsi nilai mereka. Tidak sedikit star up yang mengusung ide cemerlang, kreatif, dan unik, namun gagal bertahan karena tidak sesuai dengan selera segmen pelanggan.
Kedua, terkait mengelola competitive advantage yang baik. Di masa perilaku konsumen yang semakin dinamis ini, perusahaan harus lebih adaptif dalam membaca perubahan pasar. Keunggulan bersaing tidak lagi bertahan dalam waktu yang panjang, akan tetapi ia bisa saja berganti dalam periode yang tidak menentu. Inovasi harus menjadi nadi dari pergerakan roda bisnis perusahaan. Jika terlambat berinovasi, maka kehancuran akan siap datang menghadang.
Setidaknya itulah pesan manis yang bisa kita petik dari kisah pahit Sevel Indonesia. Tentu, berhentinya operasional Sevel bukan hanya disebabkan satu masalah saja, banyak alasan yang melatarbelakanginya. Namun, banyak perspektif tentu memberikan berbagai kajian dan analisis untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar