Beberapa tokoh superhero di film-film Hollywood tidak bisa dilepaskan dari kehebatan kendaraannya. Kisah nyata John Lie juga tidak bisa dipisahkan dari kapalnya The Outlaw, yang bisa diartikan pembangkang atau pemberontak. Entah apa yang membuat John Lie menamai kapal super cepat berkode PPB 58 LB itu sebagai The Outlaw. Namun, seperti namanya pula, kapal itu lah yang menemani John Lie bergerilya di laut mempecundangi Belanda berkali-kali. Sejarah mencatat paling sedikit 15 kali.
Bersama kapal itu, John Lie dan para awak kapalnya berhasil dalam banyak mission impossible. Mereka menyelundupkan senjata, memasok kebutuhan logistik bahan bakar, obat-obatan, dan bahan pangan, hasil barter dengan karet dan hasil bumi lainnya. Semua itu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang masih saja diusik oleh Belanda.
John Lie akhirnya dikenal sebagai tokoh sentral dalam operasi penyelundupan senjata bagi perjuangan RI dari Asia Tenggara. Namun, masa keemasan operasi penyelundupan senjata yang dilakukannya, tercatat pada akhir tahun 1947. Di buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia yang ditulis oleh Iwan Santosa, sebagaimana disitir dari artikel di majalah Life edisi 26 September 1964 yang ditulis Roy Rowan disebutkan, nilainya mencapai USD3 juta per bulan. Yang diselundupkan tak hanya senapan, tapi juga pesawat angkut.
John Lie lahir di Menado pada tahun 1911 dengan nama lengkap John Lie Tjeng Tjoan dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Dia mengawali karier maritim tahun 1929. Usianya baru 18 tahun saat bekerja sebagai kelasi dek di maskapai pelayaran Koninlijk Paketvaart Maatschapij. Di sinilah dia mendapatkan kursus navigasi. Pada Februari 1942 hingga 1944, saat Perang Dunia II, dia bertugas di Logistic Task Force Royan Navy atau Satuan Tugas Logistik Angkatan Laut Inggris. Tugasnya melayani pasokan kapal-kapal Sekutu yang tiba dari Australia.
Selama di Royal Navy, John Lie mendapat banyak latihan kelautan di pangkalan Angkatan Laut Inggris di Teluk Persia. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk meningkatkan keahlian dalam mengoperasikan beragam senjata, pengenalan taktik perang di laut, sistem komunikasi seperti Morse, pengenalan jenis-jenis kapal Sekutu, dan pengetahuan mengenai ranjau laut. Keahliannya ini, kelak membuat John Lie dan kapalnya "si pembangkang" tak terkalahkan.
Saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, John Lie masih bertugas di Teluk Persia. Informasi itu sampai ke telinganya dan para pelaut Indonesia. Semangat mereka pun tersulut untuk segera pulang, agar dapat berbakti untuk Tanah Air. Keinginan itu akhirnya terwujud di bulan Juni 1946.
Sampai di Tanah Air, John Lie melamar ke Angkatan Laut RI (ALRI) yang baru saja dibentuk. Kepala Staf Umum ALRI Laksamana III M Pardi yang menemuinya saat itu, sepertinya tahu John Lie punya banyak pengalaman. Lantas, dia menanyakan pangkat yang diinginkan John Lie. Namun dia dengan rendah hati mengatakan, "Saya datang bukan untuk cari pangkat. Saya datang ke sini mau berjuang di medan laut karena hanya inilah yang saya miliki, yaitu pengalaman dan pengetahuan kelautan yang sekadarnya."
John Lie akhirnya menerima surat keputusan dengan pangkat Kelasi III. Baru bertugas, para pimpinan ALRI telah memberi kepercayaan kepadanya untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa. John Lie menolak. Dia malah memohon agar ditempatkan di Pelabuhan Cilacap. Pelabuhan tersebut dinilai memiliki nilai taktis dan strategis untuk alternatif keluar masuk barang dan personel serta gerilya laut. Pelabuhan Cilacap juga menjadi alternatif jalur ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI. Permohonannya dikabulkan. John Lie mengerjakan tugas-tugasnya yang tidak mudah dengan baik. Salah satunya, membersihkan ranjau laut.
Aksi John Lie bertualang di Asia Tenggara sehingga dikenal sebagai penyelundup senjata bagi Indonesia dimulai secara tidak sengaja ikut kapal Empire Ten By di Cilacap. Kapal itu berlayar dan tiba di Singapura pada Agustus 1947. Agresi Pertama baru terjadi pada 21 Juli 1947, ketika Belanda menyerbu kedudukan RI setelah Perjanjian Linggarjati.
John Lie tiba di Singapura pada Minggu pertama Agustus 1947. Saat itu, kepala urusan pertahanan di luar negeri membeli sejumlah kapal cepat. Mereka menyaring pelaut untuk mengawaki satuan kapal cepat yang digunakan memasok kebutuhan perlengkapan perjuangan di Indonesia. Kapal diarahkan untuk merapat di pantai timur Sumatera Utara dan Aceh. John Lie termasuk salah satu perwira yang lolos seleksi dan dipercaya memimpin sebuah kapal cepat yang dinamainya The Outlaw. Dia merekrut sendiri sejumlah awaknya.
Operasi perdana The Outlaw melayari rute Singapura, Labuan Bilik dan Port Swettenham pada bulan Oktober 1947. Di Pulau Pisang, di Selat Johor, kapal pembangkang itu memuat perlengkapan militer berupa senjata semi otomatis, beberapa ribu butir peluru dan perbekalan secukupnya. Saat itu, The Outlaw mengibarkan bendera Inggris mengangkat sauh pukul 04.00 dari Pulau Pisang menuju Labuan Bilik.
Setelah satu jam berlayar dan memasuki laut lepas, mereka dikejar patroli Koninlijk Marine. Kapal pembangkang itu pun putar haluan kembali ke Selat Johor menuju Pulau Kukup. Dari sana perjalanan diteruskan menyusur pesisir Semenanjung Malaya ke gugusan karang Een Vadem Bank di sebelah utara Port Swettenham, yang kini disebut Port Klang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar