Dua minggu sebelumnya, sang bos memberitahu Santum untuk tidak bekerja di hari Senin. Ini karena polisi mendatangi tempat kerja Santum – sebuah ruangan serupa gudang yang bikin gerah orang-orang di dalamnya - mereka mendirikan tenda megah di sekitar gudang. Katanya esok akan ada hajatan.
Sampah-sampah yang biasa diakrabi Santum terpaksa ditahan di Bandara Soekarno-Hatta. Kalau hari biasa, dua truk pengangkut sampah mengantar ampas-ampas penumpang ke tempat kerja Santum. Mereka adalah sampah dari 700 penerbangan yang dilayani Bandara Soekarno-Hatta setiap hari.
"Paling mulainya baru jam dua," kata Santum resah. Matanya terlihat lelah.
Tak lama, seseorang memerintah Santum untuk mencari kayu lagi. Dua tungku pembakaran raksasa di gudang itu butuh konsumsi kayu lebih banyak. "Woi, cari kayu lagi!" teriak Santum berkelakar. Ia tertawa, lalu pergi mencari kayu bersama teman-temannya yang lain.
Santum adalah lelaki 52 tahun asli Rawa Bokor, Tangerang, Banten. Cucunya delapan. "Anak saya lima kalau enggak salah," katanya ragu, lalu menyebutkan nama anaknya satu per satu. Setelah Rawa Bokor terkena penggusuran karena proyek pembangunan bandara, ia pindah ke Kresek. "Ini besok kayaknya mau kena gusur lagi."
Sudah 20 tahun dia bekerja di tempat pembakaran sampah milik PT Angkasa Pura II. Bersama kuli-kuli yang lain, ia bekerja dari pukul 8 atau 9 pagi sampai pukul 4 sore. Untuk lima hari kerja dalam seminggu, mereka diupah 150 ribu rupiah per hari.
Tak lama setelah Santum dan kuli lainnya kembali, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian keluar dari tenda hajatan. Ia dikawal ketat. Nampak pula Budi Waseso alias Buwas yang menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Setelah melangkah masuk ke gudang, seluruh kamera menatap Tito. Anggota polisi yang lain mengangkat gawai untuk merekam video dan mengambil foto. Gudang seluas 25 x 10 meter tersebut terasa makin gerah.
Gudang pembakaran punya tiga tungku. Namun hanya dua yang bisa dipakai. Keduanya tersambung dengan cerobong asap di atap gudang. Tito dan Buwas berdiri di samping tungku yang ada tepat di tengah gudang.
Santum dan kuli-kuli lain berdiri di dekat pintu. Mereka tampak seragam, mengenakan kemeja biru berlapis rompi jingga. Sepatu bot dan helm proyek tak lupa dipakai.
Semua kamera membidik ke arah Tito. Pintu tungku dibuka. Nyala api sepanas 660 derajat celcius terlihat menjilat-jilat. Tito mengambil sepaket sabu-sabu. Ia tersenyum sejenak ke arah kamera, lalu melemparkan sabu-sabu ke dalam tungku. Buwas dan beberapa pejabat lain melakukan hal serupa.
Paket-paket narkoba lain kemudian menyusul. Ada sabu-sabu seberat 1,4 ton; ganja 2,7 ton; dan 36 ribu butir ekstasi. Semuanya mesti dibakar, dimusnahkan. "Agar tidak ada suara-suara minor, 'jangan-jangan barang bukti narkoba dijual lagi oleh polisi,'" jelas Tito.
Tito juga mengatakan, bahwa anggota-anggota polisi yang berjasa dalam pengungkapan kasus narkoba, akan mendapat kenaikan pangkat.
Kapolri lantas undur diri. Dari luar gudang, asap hitam tebal mengepul tinggi. Ini ulah Santum dan teman-temannya – para kuli yang diupah 150 ribu rupiah per hari, bekerja menghanguskan barang bukti narkoba senilai Rp 2 triliun rupiah.
Tak seperti para polisi yang dianggap berjasa mengungkap kasus narkoba, Santum tidak akan dapat kenaikan pangkat. Santum harus bekerja hari ini, besok, lusa, sampai entah berapa lama lagi. Kembali mengakrabi sampah-sampah semacam kertas bekas, sisa makanan, sisa minuman, kantung plastik berisi muntahan, kondom, dan sebagainya. Yah, namanya juga cuma kuli.
Baca laporan mendalam Tirto tentang upaya pemberantasan narkoba:Ironi Pemberantasan Narkoba Era Jokowi
Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan menarik lainnya Satya Adhi
(tirto.id - sty/jay) </b>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar