Senin, 16 Oktober 2017

Melawan Zona Merah, Kisah Warga Menunggu Erupsi Gunung Agung

Gempa akibat aktivitas vulkanik Gunung Agung tak hanya dirasakan di zona merah di Kabupaten Karangasem. Lindu juga terasa di sejumlah tempat di Pulau Dewata. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bali mendirikan 357 lokasi pengungsian di sembilan Kabupaten. Pos pengungsian ini bakal menampung warga jika Gunung Agung meletus.

Hiruk-pikuk warga mengungsi mengusik ingatan Nyoman Kami (66), warga Desa Muncan, Kabupaten Karangasem. Nyoman Kami merupakan saksi hidup saat Gunung Agung meletus pada 1963. Kala itu, Nyoman Kami masih berusia 12 tahun. Saat ini, ia mengungsi di GOR Swecapura, Kabupaten Klungkung.

Kepada Liputan6.com, Nyoman Kami menuturkan pengalamannya bertahan saat bencana dahsyat itu terjadi pada dekade 60-an. Saat itu, kata Nyoman Kami, gempa yang terjadi sangat dahsyat. "Semua mengungsi," kata Nyoman Kami.

Seingat Nyoman Kami, peristiwa itu berlangsung satu bulan, dari Februari hingga Maret. Suara letusan dahsyat menjadi pembuka erupsi, kemudian awan hitam menyelimuti langit. Seturut kemudian, hujan kerikil terjadi.

Bali dirundung gelap nan mencekam. Situasi berlangsung cukup lama. Selang beberapa hari, kata Nyoman Kami, lahar panas meluncur dari puncak dan menerabas sejumlah wilayah di selatan, tenggara, dan barat daya Gunung Agung.

Jalur lahar letusan Gunung Agung pada 1963. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Dua pekan berselang dari insiden lahar turun, Nyoman Kami melanjutkan, dia dan keluarga masih mengungsi. Saat itu, letusan gunung kembali muncul, tepatnya 17 Maret 1963. Letusan tersebut merupakan yang terdahsyat dan tercatat sebagai puncak erupsi Gunung Agung.

Momen itu yang paling diingat Nyoman Kami. Ribuan orang berdesakan dan berhamburan mencari tempat yang lebih aman. Padahal, warga sudah mengungsi di tempat aman. "Laharnya sudah ada di sungai," kenang Nyoman Kami.

Situasi mencekam itu berangsur pulih. Namun, kata Nyoman Kami, warga tetap mengungsi selama berbulan-bulan. Setiap dua pekan, kata dia, warga berpindah tempat pengungsian. Selain itu, ada juga warga yang akhirnya pindah dan menetap di tempat yang baru. Ini seperti yang dilakukan keluarga besarnya.

Meski kejadian ini sudah 54 tahun silam, Nyoman Kami masih merasakan trauma. Ingatan gempa dahsyat itu masih membekas hingga kini. Terkadang rasa takut menghinggapi kembali jika ada gempa.

"Mudah-mudahan sekarang enggak ada letusan kayak dulu," kata Nyoman Kami.

Kekhawatiran Nyoman Kami juga menghinggapi benak Gede Suantika. Piek van Bali, nama lain Gunung Agung, merupakan gunung api yang aktif. Sejarah mencatat, gunung ini pernah tujuh kali meletus: 1808, 1821, 1843, 1908, 1915, 1917, dan 1963. Letusan yang terakhir merupakan yang terdahsyat.

Suantika mengatakan, PVMBG terus mengawasi. Saat ini, kata dia, gunung tertinggi di Pulau Dewata itu memang sedang bergejolak. Ini berdasarkan alat seismograf yang merekam aktivitas vulkanik di gunung tersebut.

"Sejak Juli hingga September, muncul banyak sekali gempa," kata Suantika.

 Infografis Gunung Agung (Liputan6.com/Triyasni)

Tak hanya gempa, kata Suantika, pantau PVMBG di pos pemantau mendapati adanya kepulan asap putih setinggi 50 hingga 200 meter setiap harinya. Asap putih tersebut merupakan uap air hasil  pemanasan di bawah dengan magma semakin meningkat. Ini berarti, magma sudah semakin ke atas untuk mendobrak penutup kepundan.

Kondisi ini, kata Suantika, jelas tak menguntungkan buat warga yang berada di zona merah seperti di Dusun Muntig. Ia berharap, warga menjauh dan tetap berada di pos pengungsian. Supaya tidak terjadi bahaya yang tak diinginkan seperti saat Gunung Agung meletus pada 1963.

"Karena saat itu ada material dari puncak yang meluncur vertikal dan jangkauannya sampai 12 kilometer ke  tenggara, timur laut, dan utara," kata Suantika.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search