Berharap sampai ke tempat yang ramah pengungsi seperti Australia, para pengungsi malah terdampar di Kalideres. Negara tak bisa menampung.
`
Khali adalah salah satu dari 80an pengungsi yang berada di depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres, Jakarta Barat, serta di trotoar dekat Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres.
Selain Khali, ada juga pengungsi yang berasal dari Sudan, Somalia, Ethopia dan Afganistan.
Baik Rudenim Kalideres atau RS Mitra keluarga sama-sama terletak di Jalan Peta Selatan. Mereka berteduh di gubuk yang dibuat sangat seadanya: beratap terpal dan dinding seng. Panas kalau siang, dingin ketika malam.
Khali mengaku sudah sejak 2017 ada di Indonesia. Ia bercerita bagaimana awalnya bisa "terdampar" di negara ini.
Sebagaimana pengungsi lain, Khali pergi dari negaranya karena situasi politik yang sudah begitu kacau. Perang tak berkesudahan memaksa warga sipil mencari kemungkinan baru di negeri yang juga baru. Ia memantapkan tekad untuk mencari suaka di Australia.
Bersama anak-anaknya dan seorang kawan bernama Abdi Hasan (37 tahun), Khali pergi naik kapal milik orang yang ia sebut sebagai penyedia jasa suaka.
Khali tak bisa bahasa Inggris, apalagi Indonesia. Wawancara dibantu Abdullah, yang secara mengejutkan cukup fasih berbahasa Indonesia.
Perjalanan panjang dari Somalia ke Australia, dengan jarak paling pendek via pesawat 10.015 kilometer, tak pernah tercapai. Ia malah terdampar di Medan.
"Kami sudah bayar kepada mereka tapi kami tidak dibawa ke Australia," ucapnya.
Di Medan, Khali sempat menyewa kontrakan. Ketika uang mulai menipis, Desember 2017, Khali pindah ke Kalideres dengan harapan Rudenim bakal menampung dan membantunya berangkat ke tempat tujuan.
"Tapi mereka [Rudenim] bilang penuh. Kami kehabisan uang dan akhirnya tinggal di sini."
Menjadi pengungsi perang memang pengalaman yang sangat pahit. Tapi menggelandang di negeri orang juga tak kalah menyedihkan.
Sudah hampir empat bulan Khali dan para pengungsi ini tinggal di sekitar Jalan Peta Selatan. Mereka tak punya uang, juga paspor atau visa, dua syarat minimal agar bisa mencari kerja.
Mereka hanya berharap pada belas kasih warga agar perut bisa diisi setiap hari. Beruntung, kata Khali, "orang Indonesia baik-baik."
"Mereka memberi kami makan. Kadang uang Rp50 ribu. Kalau tidak ada yang ngasih makan kami beli air dan biskuit," katanya.
Kemarin (4/4) Khali cukup beruntung. Selain bubur yang dibagi rata untuk dia dan anak-anaknya, warga juga memberi dua botol air mineral 1,5 liter dan satu biskuit Roma rasa kelapa. Katanya ini cukup untuk makan sehari.
Segudang Masalah
Tanpa perlu mewawancarai orang-orang ini, kita sebetulnya sudah bisa menebak kalau hidup mereka serba susah. Paling mudah tentu saja soal kebersihan.
Apa yang bisa diharapkan dari tempat tinggal di pinggir jalan yang polusi kendaraannya tidak habis-habis?
Menurut Khali, untuk mandi dan buang hajat biasanya ia dan para pengungsi perlu mengeluarkan uang Rp2.000—yang tentu saja tidak kecil bagi mereka. MCK dilakukan di WC umum, yang tidak bisa dibilang bersih, di dekat tenda.
Pemilik ruko kadang mempersilakan para pengungsi untuk tidur di emperan tempat mereka berusaha. Dan kembali lagi ke tenda ketika pagi tiba. Tapi karena pengungsi lebih banyak ketimbang ruko, tetap ada yang terpaksa tidur di trotoar. Ketika hujan, kata Khali, mereka terpaksa "menutup tubuh dengan terpal biru".
Arif (41 tahun), pengungsi asal Afganistan, punya cerita yang juga tak kalah menyedihkan.
Arif dan keluarganya sudah hampir 1,5 tahun tinggal di Indonesia. Mereka membayar agen sebesar $1000 per orang untuk diboyong ke tempat yang lebih aman. Di negaranya yang lama, Afganistan, Arif selalu merasa terancam karena konflik yang tak juga selesai. Tujuan pertamanya adalah Cisarua, Bogor.
Sama seperti Khali, Arif awalnya mengontrak rumah dan coba cari kerja. Namun tak juga ada panggilan datang. Arif kemudian datang ke Kalideres sekitar dua bulan lalu dengan harapan agar Rudenim bisa menampungnya.
"Uang sudah habis. Kami berharap ada tempat. Tetapi mereka menolak karena di sana penuh," katanya.
Arif semakin bingung karena sejak tiga hari lalu anaknya yang baru berusia tiga tahun, Husein, terserang demam. Ketika saya datang Husein sedang tidur, sesekali menangis, tapi bisa tenang lagi.
Untungnya Puskesmas terdekat tak membebani biaya apapun kala Arif membawa anaknya untuk diperiksa.
Arif, Khali, dan puluhan pengungsi lain sebetulnya punya harapan yang sangat sederhana: mereka berharap bisa ditampung Rudenim dan dipindahkan ke negara suaka macam Australia atau Amerika Serikat (AS).
Tak Semua Keinginan Bisa Dipenuhi Pemerintah
Kabag Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Agung Sampurno, mengatakan kalau sebetulnya mereka telah mengizinkan 100 pengungsi untuk tinggal di Rudenim Kalideres.
Ditambah pengungsi yang telah duluan masuk, jumlahnya mencapai 400 orang. Padahal kapasitas tempat itu hanya 120.
Menurutnya para pengungsi itu sudah dibujuk untuk mau pindah ke 12 Rudenim lain yang tersebar di beberapa kota. Tapi mereka tidak mau.
"Mereka yang di luar itu maunya di situ padahal Rumah Detensi ada 12," katanya kepada Tirto.
Agung, meski menyanggupi menampung para pengungsi dengan syarat, tetap tidak bisa mengabulkan keinginan mereka untuk dikirim ke negara suaka. Sebab, katanya, dasar hukum pemindahan tersebut, yaitu Konvensi Pengungsi Wina 1951, tak diratifikasi pemerintah Indonesia. Dengan kata lain, tak ada kewajiban apapun bagi pemerintah untuk memenuhi keinginan yang satu ini.
"Terkait keinginan tersebut, karena kita tidak meratifikasi konvensi, wewenangnya ada di United Nation High Commissioner for Refugess (UNHCR) dan International Organization for Migration atau IOM," terang Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar