Sampul buku
"Aku tak tahu Paris itu seperti begini, aku kira meriah, banyak cahaya, dan indah," kata si gadis.
Si pemuda meletakkan tangan ke pundak si gadis lalu berkata: "jangan risaukan, Honey," kata si pemuda. "Kita ke sini untuk tiga hari. Paris akan berbeda, tunggu saja"
Reportase-reportase Ernest Hemingway memotret sisi-sisi yang indah sekaligus kelam di kota Paris. Paris yang cantik tapi kesepian, demikian tulis Hemingway. Reputasi Paris sebagai pusat mode dunia, pusat kota budaya dunia tetapi sekaligus kiblat bagi para pemalsu, penipu, dan pembohong, mulai dari musik hingga tinju.
Hemingway sebagai bagian dari komunitas ekspatriat Amerika di kota Paris dengan sangat indah melukiskan ironi-ironi tentang para artis hingga petinju terkenal di Paris yang justru tidak dikenal di negerinya sendiri. Atau kisah tentang para Bohemian yang bermimpi jadi artis terkenal tetapi nyatanya mereka Cuma bisa menghabiskan waktunya di kafe-kafe pinggir sungai, membual dan mengkritik sana-sini tanpa melakukan apapun selama seharian.
Membaca buku terjemahan Reportase-Reportase Terbaik karya Ernest Hemingway dalam 30 judul naskah tentang berbagai aspek kehidupan di Paris, terlihat sekali situasi dan kondisi sosial kontemporer di kota Paris saat itu merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tema reportase Hemingway.
Apa sih sebenarnya kata Hemingway tentang Paris dalam karya-karya jurnalistiknya? Dengan gaya berceritanya yang dramatik, Hemingway menuliskan kisah-kisah nyatanya tentang Paris dengan sangat memikat. Kepiawaiannya membalut reportase ke dalam teknik bercerita yang dramatis begitu mengesankan. Reportase-reportase Hemingway kentara sekali menonjolkan gaya kepenulisan narasi objektif.
Prancis yang sedang berubah
Sebagai bagian dari Gerakan Modernis di Paris yang akrab dengan isu-isu kontemporer, Hemingway tampak piawai mengamati perubahan sosial yang sedang melanda Prancis kala itu. Prancis sedang meninggalkan nilai moralitasnya yang lama, demikian tulis Hemingway. Segala yang indah dan sopan di masa lalu kini tidak sepenuhnya bisa Anda temui lagi di Prancis.
Prancis sedang bergegas menapaki zaman modern yang lebih terbuka dan pragmatis. Prancis saat ini sungguh berbeda dengan Prancis dari zaman lama ketika rakyat menikmati reputasi dunia karena kehalusan yang menyenangkan, keramahan, dan jenis perhatian yang naluriah.
Kesopanan ala Prancis telah menghilang. Lihat saja para sopir taksi kini jadi begitu kasar karena mereka memperkirakan tidak akan pernah lagi bertemu penumpang yang sama lagi dalam satu kota yang berisi puluhan ribu taksi mengalir, dan sang sopir itu hanya punya satu tujuan yakni melihat seberapa banyak mereka bisa dapatkan uang dari satu perjalanan (Dari Paling Sopan Jadi Paling Brutal halaman 57).
Penipuan, kepalsuan, kekonyolan dan segala yang tampak ironis begitu mendominasi tema-tema reportase Hemingway di buku ini. Barangkali karena ia adalah bagian dari generasi yang hilang (the lost generation) yang turut mengalami kekecewaan dan kehampaan nyaris tanpa makna (meaningless) akibat bangkrutnya tatanan sosial masyarakat pasca Perang Dunia I.
Melani Budianta dalam esainya, Hemingway: Pergulatan dalam Kata (1997) menulis bahwa kenyataan di medan perang yang penuh borok membusuk dan kekonyolan membuka mata pengarang-pengarang, termasuk Hemingway, ini pada hal-hal yang tidak tersentuh oleh konsep-konsep heroik dan romantik seperti patriotisme, kepahlawanan dan pengorbanan.
Sebagai pengarang, Hemingway tumbuh dalam sikap skeptik dan kesangsian akan gagasan kreativitas romantik masa lalu yang baginya sudah usang. Hemingway dengan tekun mengamati kenyataan (realitas) yang ada di hamparan tanah gersang bukan pada postulat-postulat 'kebenaran' ideologi romantik masa lalu.
Sikap skeptis akan nilai-nilai lama yang kian usang ternyata juga tumbuh di kalangan rakyat Prancis. Sebagai jurnalis, Hemingway mencatat sikap skeptis rakyat Prancis kepada para politisi tua yang kolot dan tidak peka terhadap perubahan jaman. Kedunguan dan kekolotan para politisi tua banyak menjadi bahan ejekan dan pergunjingan rakyat dalam obrolan di kafe-kafe kota Paris karena media mainstream cenderung tidak akan memuat 'kebenaran sejati' dari sikap protes yang tersumbat di kalangan rakyat Prancis itu.
Melalui reportase-reportasenya, Hemingway menunjukkan ketajamannya dalam mencatat apa yang ia sebut sebagai 'kebenaran sejati' dari rakyat Prancis itu. Dengan agak mencemooh, ia menulis seperti ini, "…..jika Anda ingin mendapatkan kebenaran sejati di Perancis, pergilah ke kafe-kafe karena di sana orang-orang Prancis tidak merasa bakal meraih sesuatu pun atau kehilangan sesuatu pun akibat hal-hal yang mereka omongkan sehingga mereka bisa secara konsekuen mengatakan hal-hal yang mereka yakini (Kebebasan Politik Ada di Kafe-Kafe halaman 10).
Alhasil, ia bisa mendengar dengan lebih jernih apa yang sesungguhnya dipikirkan rakyat Perancis yang seringkali bertolak belakang dengan opini umum di media massa.
Sebagai jurnalis cum sastrawan, tak heran jika dalam reportasenya Hemingway juga piawai mencatat narasi-narasi kecil mengenai sisi-sisi manusiawi (human interest) yang terselip dalam realitas keseharian rakyat Paris. Sisi-sisi Humanis yang ditulis Hemingway banyak mengandung humor dan satire yang agak konyol salah satunya berkisah tentang betapa besarnya kekuasaan kaum wanita Paris terhadap kaum lelaki pekerja (suami) mereka sendiri bahkan hingga menyangkut persoalan-persoalan kecil dalam keseharian, dalam hal ini mengenai model celana yang dianggap pantas bagi suami mereka yang pekerja itu.
Hemingway menulis seperti ini, "Laki-laki Paris memang sepintas tampak aneh. Namun, akhirnya rahasia celana berbentuk balon dengan ujung sempit yang dikenakan para pria pekerja di Paris bisa dijelaskan. Bertahun-tahun orang bertanya-tanya mengapa para pria pekerja di Prancis mau berdandan dengan celana bergelombang besar di bagian paha dan begitu ketat di bagian bawah seolah-olah hingga sulit untuk ditarik ke atas pergelangan kakinya. Sekarang, rahasianya bisa diketahui. Sebenarnya bukan mereka yang menginginkan itu. Sang istri merekalah yang membelikan celana itu." (Feminisme ala Paris, halaman 21).
Minat dan pengetahuan Hemingway tentang persoalan kehidupan di Paris sangat luas dan mendalam. Reportasenya menyentuh beragam tema mulai dari skandal politik, kaum bohemian, feminisme hingga persoalan kemanusiaan para ekspatriat dan imigran di kota Paris.
Namun, sebagian besar reportase Hemingway di buku ini membahas persoalan politik kontemporer di Prancis kala itu. Keterlibatannya dalam Gerakan Modernis di Paris yang mendambakan perubahan dan progresivitas politik kemungkinan telah mempengaruhi gagasan reportasenya yang cukup detail dan kritis menyikapi berbagai persoalan publik khususnya soal politik kontemporer yang menyita perhatian kala itu.
Bagi pembaca yang kurang mengetahui konteks sejarah Prancis usai Perang Dunia I (1920-an) tentu akan mengalami kesulitan dalam memahami berbagai istilah khas Prancis seperti Chambers of deputy, rivalitas Blok Liberal dan Blok Nasionalis, Premier Poincare, The Soul Of France, dan berbagai istilah kontekstual lainnya yang bertebaran dalam reportase Hemingway di buku ini.
Di sinilah, patut disayangkan masih kurang memadainya prolog atau kata pengantar di buku ini mengenai latar belakang setting sejarah Prancis. Kata pengantar di buku ini cenderung hanya terfokus pada latar belakang sosok Hemingway sendiri dan cenderung terlepas dari setting sejarah yang telah melahirkan berbagai peristiwa yang menjadi objek reportase Hemingway di kota Paris.
***
Di kota Paris Hemingway menuliskan reportase-reportasenya di atas reruntuhan peradaban politik dan tatanan sosial Prancis pasca Perang Dunia I. Sebagai bagian dari komunitas ekspatriat Amerika, di kota Paris ia menemukan ruang intelektual yang menggairahkan dalam Gerakan Modernis di kota Paris di mana ia bertemu dengan para mentor sekaligus saingan-saingannya.
Di antara mentor yang berpengaruh baginya ialah Gertrude Stein, yang menjuluki dirinya dan para ekspatriat Amerika lainnya sebagai "Generasi yang Hilang"(The Lost Generation). Paris adalah kota favorit bagi Hamingway barangkali setelah Afrika dan Spanyol.
Jika hutan-hutan Afrika yang liar dan pedusunan di Spanyol yang eksotis itu adalah sumber imajinasi bagi karya-karya fiksi Hemingway, Paris yang kosmopolitan itu telah membuka cakrawala dan kekayaan intelektual Hemingway. Paling tidak tercermin dalam reportasenya di buku ini yang mencakup berbagai persoalan yang sangat luas dan mendalam.
Peresensi: M. Fatah Mustaqim, pembaca dan peresensi buku. Alumnus Fisipol UGM
Judul: Reportase-Reportase Terbaik
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Tom Bapallaz
Penerbit: Ecosystem Publishing, Surabaya
Cetakan: Pertama, 2017
Tebal: 148 halaman
ISBN: 978-602-1527-47-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar