Oleh Siti Nuraeni
Master's degree student in Curriculum and Instruction Pennsylvania State University
Founder of Tim Brebes Mengabdi
TRIBUNJATENG.COM - Bulan Ramadhan menjadi momen yang dinanti oleh umat muslim, termasuk umat muslim di Amerika Serikat. Menjalankan Ramadhandi Amerika buat saya menjadi hal yang unik dan lebih menantang karena adanya perbedaan waktu terbit dan terbenam matahari.
Apalagi populasi muslim di Amerika yang minoritas, serta masyarakat Amerika yang beraneka ragam. Saya harus menjalani puasa selama kurang lebih 17 jam di Kota State College, Pennsylvania, mulai dari sebelum terbit matahari pukul 4 pagi hingga terbenamnya matahari pukul 20.26.
Saya biasa menyiapkan sahur bersama teman satu apartemen yang juga dari Indonesia. Kami biasa memasak untuk sahur pada saat waktu berbuka puasa sehingga tidak perlu waktu lama untuk menyiapkan makanan mulai dari bahan-bahannya karena waktu selesai tarawih dan batas waktu akhir sahur sangat pendek yaitu dari pukul 12.00 dini hari sampai 04.00 pagi dan saya lebih menggunakan waktu tersebut untuk tidur yang cukup sehingga dapat beraktivitas di siang hari.
Menu untuk sahur yang wajib harus ada yaitu nasi, lauk yang berkuah seperti sop ayam atau daging, gorengan, salad buah dan sayur, dan yogurt untuk membantu memperlancar pencernaan.
Sebagai orang Indonesia yang biasanya tidak dapat jauh dari sambal terasi pedas, saya lebih memilih untuk tidak mengkonsumsi sambal pedas untuk sahur. 17 jam puasa di musim panas memerlukan lambung yang bersahabat sehingga makanan yang dikonsumsi harus betul-betul di perhatikan.
Dengan berpuasa 5 jam lebih lama dari waktu berpuasa di Indonesia dan bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas menjadikan Ramadhan di Pennsylvania begitu menguras tenaga saya. Namun, Ramadhan tetap terasa berkesan berkat adanya komunitas Muslim
Islamic Society of Center Pennsylvania (ISCP) yang membuat saya sungguh merasakan kebersamaan dalam ikatan persaudaraan antarmuslim. Untuk mengetahui waktu berbuka dan sahur, saya mengacu pada pengumuman yang dikirimkan oleh ISCP melalui akun media sosial dan email.
Menurut Dr Tamer A. Sharafeldin, wakil presiden ISCP, komunitas menyadari bahwa beberapa orang tidak selalu tergabung dalam satu media komunikasi sehingga kami menyebarkan melalui banyak cara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar