Selasa, 02 Agustus 2016

Kisah Indonesia dalam Sapuan Kuas Para Maestro

Jakarta, CNN Indonesia -- Kecintaan Presiden Soekarno pada seni tak bisa diragukan lagi. Sekitar tiga ribu lukisan dikoleksi, baik atas nama pribadi maupun atas nama negara.

Guna mengenang kegemaran sang Proklamator terhadap seni lukis, Presiden Joko Widodo menginisiasi adanya pameran koleksi Istana Negara di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, sepanjang Agustus 2016.

Pameran bertajuk 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan tersebut menghadirkan 28 lukisan yang dibagi ke dalam tiga subtema, yaitu Potret erintis Kemerdekaan, Stuasi Masyarakat Era Revolusi, dan Kenusantaraan. Ketiga subtema tersebut disusun rapi agar memudahkan penonton melihat dan memahami alur pameran.

Di zona pertama, pengunjung bisa menikmati lima lukisan potret pahlawan. Menariknya, empat dari lukisan tersebut merupakan pesanan khusus dari Ir. Soekarno. Sebanyak 12 lukisan potret pahlawan ia pesan ke sejumlah pelukis, dan empat di antaranya adalah Sujono Abdullah, Trubus Sudarsono, Gambiranom Suhardi, dan Affandi.

Lima lukisan tersebut memiliki makna yang berbeda pula. Lukisan karya Sujono Abdullah, misalnya, hanya potret tampak depan Pangeran Diponegoro, namun lukisan ini cukup spesial. Selama rentang waktu 1946-1949, lukisan ini selalu dijadikan latar dalam acara seremoni kemerdekaan. "Karena saat itu belum ada Pancasila," ujar kurator pameran Mikke Susanto. 

Sedangkan potret Pangeran Diponegoro yang dilukis adik Sujono, Basoeki Abdullah, adalah potret saat pangeran menunggangi kuda yang mengisyaratkan semangat perang. Lukisan tersebut dibuat Basoeki saat Konferensi Meja Bundar bersama Belanda. Pun diakui sang maestro bahwa wajah Pangeran Diponegoro tidak ia lukis secara imajinatif. "Dia [Basoeki] pernah bilang, kalau lukisan wajah Diponegoro ini hasil pertemuannya dengan Nyi Roro Kidul, secara spiritual," jelas Mikke. 

Selain makna, teknik serta media yang digunakan pun berbeda. Lukisan H.O.S. Tjokroaminoto karya Affandi merupakan lukisan yang dibuat tanpa menggunakan kuas.

"Langsung tube cat-nya dipencet," jelas Mikke.

Hanya saja, untuk kesempurnaan wajah HOS Tjokroaminoto, Affandi masih memolesnya dengan kuas. Menarik rasanya memandangi lukisan ini. Tak hanya potret sang pahlawan yang ia lukis, jika diamati dengan saksama, akan ada kaki yang terpampang.

Lukisan Fadjar Menjingsing karya Ida Bagus Made Nadera dalam acara Pameran lukisan yang bertajuk 17/71: Goresan Juang Kemerdekaan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (1/8). (CNN Indonesia/Djonet Sugianto)
Kaki tersebut, sebagaimana dijelaskan Mikke, merupakan salah satu objek penting yang selalu dilukis Affandi. "Itu menunjukkan rakyat biasa," katanya. Lukisan tersebut dilukis pada 1947 di Yogyakarta.

Dua karya lainnya adalah potret R.A. Kartini karya Trubus Sudarsono, yang dilukis di Istana Yogyakarta, dan potret Jenderal Sudirman karya Gambiranom Suhardi.

Di zona ke-dua, situasi masyarakat era revolusi, potret kehidupan sangatlah beragam. Mayoritas lukisan tersebut dibuat untuk mengisyaratkan kelamnya masa-masa itu. Salah satunya adalah lukisan karya Harijadi Sumadidjaja yang berjudul Awan Berarak Jalan Bersimpang.

Di lukisan itu, ia menggambarkan langit sangat menyeramkan. Dengan warna-warna kelam dan awan yang beriringan. "Ini menunjukkan kalau orang-orang bingung harus ke mana. Ini kesengsaraan di era Revolusi," jelas Mikke.

Lukisan Harijadi lainnya mendeskripsikan ketimpangan sosial di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Ada masyarakat kaya, miskin, anak-anak, orang tua, orang mabuk, bahkan orang telanjang. Semua orang-orang tersebut ia lukis dengan acak, namun masih mudah dipahami.

Lukisan lain adalah karya S. Sudjojono, yang menggambarkan pengungsi saat berlangsungnya Agresi Militer pada 1948. Tak hanya itu, Sudjojono juga melukis seorang wanita yang diyakini adalah 'teman' Sudjojono, yang berkecimpung di dunia pelacuran. Menariknya, lukisan ini dikabarkan dilukis saat ia sedang berhubungan intim dengan si teman.

Kemudian di zona ke-tiga, Kenusantaraan, potret keindahan alam dan ragam budaya Indonesia sangat kental. Tema ini dipilih karena keindahan Indonesia adalah sumber masalah penjajahan.

"Karena keindahan, budayanya, sumber dayanya, maka silih berganti orang ingin menjajah. Zona ini untuk menggambarkan keelokan itu," papar Mikke.

Lukisan Surono dengan judul Ketoprak, merupakan salah satu yang paling menarik. Ini menampilkan suasana malam di sebuah tempat hiburan sederhana yang benar-benar menampilkan kebiasaan masyarakat Indonesia.

Di lukisan itu, dapat terlihat orang-orang duduk menonton pertunjukan, penjual es putar, kekasih yang sedang berpacaran, bahkan ada pula orang yang sedang buang air kecil di pohon.

Beberapa lukisan lain dalam zona ini adalah Pantai Karang Bolong karya Mahjuddin, Tara karya Srihadi Soedarsono, Fadjar Menjingsing karya Ida Bagus Made Nadera, Kehidupan di Borobudur di Abad ke-9 karya Walter Spies, Gadis Melayu dengan Bunga karya Diego Rivera, Penari-Penari Bali sedang Berhias karya Rudolf Bonnet, Empat Gadis Bali dengan Sajen karya Miguel Covarrubias, dan Margasatwa dan Puspita Nusantara karya Lee Man Fong.

Anda bisa menikmati ketiga zona ini pada 1-30 Agustus 2016 di Galeri Nasional Indonesia. Jika anda berminat untuk mendalami lebih jauh, anda bisa mengikuti tur galeri bersama kurator setiap hari Minggu pukul 10.00 WIB hingga 12.00 WIB dan pukul 15.00 WIB hingga 17.00 WIB. (vga)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search