Wanita yang tinggal di Jalan dr Wahidin Sudirohusodo bersama almarhum suaminya, tercatat sebagai anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Lamongan. Ny. Soebekti yang lulusan Sekolah Guru B (SGB) ini merasakan langsung suasana Lamongan saat agresi militer ke 2 oleh Belanda.
Banyak kisah-kisah heroik yang dialami wanita kelahiran Bojonegoro ini selama menjadi kurir atau pengantar surat dari markas tentara di Kota Lamongan ke markas tentara komando di bawahnya. Seperti di daerah Sugio. Dia berkisah, untuk membawa surat dari Lamongan ke Sugio dirinya harus berjalan kaki sepanjang lebih kurang 30 km dan berjumpa dengan patroli militer Belanda.
Tak jarang, saat menjadi kurir pengantar surat, Ny. Soebekti terpaksa harus bersembunyi dari patroli militer Belanda agar surat yang dibawanya sampai ke tangan penerima.
"Saya ingat ketika peristiwa clash ke 2 (Agresi Militer Belanda ke 2, red) saya sering berjalan dari Deket ke Sugio untuk mengantar surat perintah," tuturnya.
Dia menuturkan, pernah dalam tugas mengantarkan surat tersebut dirinya harus bersembunyi di sawah dan menutupi tubuhnya dengan dedaunan karena di depannya ada patroli Belanda. Bahkan, suatu ketika dirinya terpaksa harus minum air di sawah karena haus dan tak membawa bekal. Apalagi, rumah-rumah yang bisa untuk dimintai air untuk sekedar melepas haus tidak ada. "terpaksa ketika itu saya meminum air sawah," tambahnya.
Selain berjalan kaki, Ny Soebekti juga kadang naik dokar yang mengangkut sejumlah barang kebutuhan pokok. Saat berjumpa dengan patroli Belanda, sang kusir dokar pun terpaksa turun dari dokar untuk sekedar memberi hormat kepada tentara Belanda agar selamat dalam perjalanan.
"Untungnya tentara Belanda itu tidak memeriksa barang bawaan kami yang bisa saja berisi senjata untuk para pejuang," ungkapnya.
Selain menjadi kurir pengantar surat, Ny Soebekti juga pernah menjadi guru selama agresi militer Belanda di Lamongan, ini juga harus mengungsi je sejumlah tempat karena sudah tidak ada lagi tempat yang aman.
"Saat mengungsi tersebut saya sudah terpisah dengan suami yang sedang mengangkat senjata. Bahkan jika dirinya berkeinginan pulang ke Bojonegoro, tapi terpaksa balik lagi ke Lamongan karena Belanda sudah menguasai daerah Babat. Kami selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya," kenangnya.
Sementara Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Lamongan, Achmad Sholich kepada wartawan mengaku, pejuang veteran di Lamongan tidak lebih dari 80 pejuang saja. "Rata-rata veteran pejuang di Lamongan sudah berusia lebih dari 80 tahun," katanya.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar ada perhatian lebih kepada para pejuang veteran. Selama ini, mereka hidup dari pensiun mereka yang tidak seberapa. "Mereka ada para pejuang yang dulu mempertaruhkan hidupnya demi tegaknya kemerdekaan," pungkasnya.
(fat/fat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar