JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa pengusiran ribuan warga eks Gerakan Fajar Nusantara Gafatar (Gafatar) dari Mempawah, Kalimantan Barat, pada awal Januari 2016 lalu meninggalkan kisah pahit bagi Suratmi (44).
Suratmi sempat menuturkan peristiwa yang dia alami selama proses evakuasi paksa saat berkunjung ke kantor redaksi Kompas.com, Jumat (12/8/2016) bersama beberapa warga eks Gafatar lainnya.
Menurutnya, warga eks Gafatar mengalami kekerasan dan diskriminsi saat pengusiran di Mempawah. Bahkan, Suratmi harus rela kehilangan anaknya yang masih berada di dalam kandungan.
Pada 5 November 2015, Suratmi bersama suami dan tiga anaknya memutuskan untuk pindah dari desanya di Indramayu ke Singkawang, Kalimantan Barat. Keluarga Suratmi menyewa rumah dan lahan untuk bercocok tanam.
Mereka mencoba mandiri secara pangan dengan menanam padi dan palawija. Namun, kejadian pengusiran di Mempawah membuat keluarga Suratmi juga harus meninggalkan Singkawang dan kembali ke Indramayu.
(Baca: Warga Eks Gafatar Tagih Janji Perlindungan ke Pemerintah)
Selama masa penampungan di kota Pontianak, Suratmi yang saat itu sedang hamil, hanya diberi makan mie instan dan sarden selama empat hari.
"Kami di sana diberi menu mie instan dan sarden. Semua instan sedangkan kami meninggalkan yang instan dan makan-makanan yang alami," ujar Suratmi.
Dari Pontianak, keluarga Suratmi diungsikan ke asrama haji Pondok Gede dan tinggal di sana selama tiga hari. Suratmi harus berdesak-desakan bersama 400 warga eks Gafatar lainnya dalam satu kapal. Setibanya di Pondok Gede, Suratmi mengalami keguguran.
"Saat di Pondok Gede saya mengalami keguguran. Saya lapor ke petugas kesehatan sempat dibawa ke puskesmas dan mau dirujuk di RS tapi tidak jadi karena kami semua akan dipindahkan lagi ke Cimahi," tutur Suratmi.
(Baca: Negara Lakukan Pembiaran terhadap Warga Eks Gafatar, Ini Bentuknya...)
Setelah di Cimahi, Suratmi pun tidak mendapatkan pelayanan dari pihak Kementerian Sosial. Tindakan kekerasan dan diskriminasi terus berlangsung hingga warga eks Gafatar kembali ke daerah asal.
Pada Januari lalu, Suratmi bersama suami dan tiga anaknya dikembalikan ke desa asalnya di Mekarjati, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu. Namun sesampainya di sana, keluarga Suratmi tidak diperbolehkan tinggal kembali di Mekarjati oleh Kepala Desa.
Selain mengusir, Kepala Desa juga mencabut KTP milik Suratmi dan suaminya. Menurut penuturan Suratmi, Kepala Desa sempat memberikan uang Rp 400.000 sebagai modal untuk mencari rumah sewa di desa lain.
Suratmi pun memutuskan untuk tinggal di desa Kubang Gading yang letaknya bersebelahan dengan desa Mekarjati. Meski sudah pindah ke Kubang Gading, Suratmi sekeluarga tetap merasa tidak aman dan merasa tidak diterima oleh masyarakat sekitar.
Akhirnya, Suratmi memilih untuk meninggalkan Indramayu dan menetap di Subang.
(Baca: Jaring Hingga 50.000 Anggota, Ini Modus yang Digunakan Gafatar)
"Saya sekeluarga diberi pilihan oleh Kepala Desa, disuruh meninggalkan Desa Mekarjati. KTP saya ditarik dan diberi uang kontrakan Rp 400.000 untuk satu bulan," ujar Suratmi.
Suratmi menuturkan alasan pencabutan KTP oleh Kepala desa karena ada pelarangan bagi eks anggota Gafatar untuk kembali ke desanya. Hak Suratmi untuk mendapatkan surat keterangan pindah pun tidak diberikan.
Untuk menghindari razia kartu identitas, Suratmi hanya berbekal fotokopi KTP yang diperoleh secara diam-diam dari sahabatnya yang bekerja di kantor desa.
"KTP saya diambil, alasannya saya tidak boleh tinggal di sini. Kepala desa bilang, silakan keluar. Surat pengantar juga tidak diberikan. Saya memang belum sempat mengurus karena sampai saat ini saya tidak punya uang untuk mengurusnya," ungkap dia.
(Baca: Tahan "Nabi" Gafatar, Polri Sita Barang Bukti Kitab Campuran)
Selama kembali ke pulau Jawa, keluarga Suratmi mengaku tidak pernah menerima bantuan dari Kementerian Sosial, padahal pihak kementerian pernah menjanjikan akan memberikan bantuan sebesar Rp 10.000 per orang setiap harinya.
Suratmi pernah mencoba menanyakan hal tersebut, namun tidak ada respon yang diberikan oleh pihak kementerian.
"Pihak Kemensos hanya janji tapi tidak direalisasikan. Padahal pihak Kemensos menjanjikan akan memberi uang Rp 10.000 per hari satu orang," tuturnya.
Tidak banyak harapan yang ingin disampaikan Suratmi kepada pemerintah. Dia tidak ingin pemerintah memberikan ganti rugi atas segala perlakuan diskriminasi yang dirasakannya selama ini.
(Baca: Jaksa Agung Imbau Masyarakat Tak Mengucilkan Eks Pengikut Gafatar )
Suratmi hanya meminta Pemerintah mengembalikan haknya sebagai warga negara agar bisa memiliki kartu identitas sebagai tanda bahwa dirinya masih menjadi bagian dari Indonesia.
Dia juga menagih janji pemerintah yang akan menjamin dan mendampingi seluruh warga eks Gafatar agar diterima kembali di kampung halamannya.
"Sejak saat itu (evakuasi) sudah tidak ada lagi kontak dengan pemerintah. Dilepas begitu saja. Harapan saya hanya ingin bisa mengurus KTP lagi karena saya warga negara indonesia dan saya ingin kembali diterima di masyarakat," kata Suratmi.
Anak-anak Eks Gafatar Sakit Akibat Kelelahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar