Rinja yang duduk di kursi roda ditemani oleh anak-anak yang juga menjadi peserta menteri sehari
Jakarta - Tergabung dalam 22 anak yang berpeluang menduduki kursi menteri sehari, Rinja dan Vicencia Mariana yang mengaku berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) ini memiliki kisah unik. Kepada tim Jurnas.com, keduanya asyik bercerita perihal kisah unik kehidupan masing-masing sebelum mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Plan International Indonesia tersebut.
Rinja, yang saat ini duduk di kelas 2 SMA, sejak 10 tahun yang lalu menderita lumpuh pada sebagian tubuhnya. Gadis cilik berambut ikal ini harus mengenakan kursi roda untuk membantu aktifitasnya sehari-hari. Namun, Rinja mengaku tetap memiliki motivasi tinggi untuk pergi ke sekolah, meskipun dirinya sempat putus asa dan berhenti sekolah karena lumpuh yang dideritanya.
"Saya masih tetap semangat ke sekolah setiap hari," ujarnya sambil tersenyum sipu.
Untuk membantu Rinja selama proses kegiatan pemilihan menteri sehari, Rinja didampingi oleh Anggi yang juga berasal dari NTT. Anggi menuturkan bahwa Rinja tidak pernah menyerah dengan penyakit yang ia derita. Bahkan ibu Rinja yang berprofesi sebagai bidan, kini berhenti dari pekerjaannya, dan beralih untuk mengurus Rinja di rumah.
"Ketika dia (Rinja) sakit, dokter tidak menemukan apa jenis penyakitnya. Orang tuanya bahkan sampai membawa Rinja ke pengobatan alternatif. Tapi Rinja orangnya kuat. Dia tetap ke sekolah meskipun diantar oleh orang tuanya," terang Anggi.
Ketika ditanya apa kebijakan Rinja jika terpilih menjadi menteri, dirinya menjawab dengan mantap akan menghapuskan pekerja anak di NTT. Menurutnya kesadaran anak NTT untuk bersekolah masih sangat minim.
"Saya mau bebaskan pekerja anak. Karena anak usia 18 tahun tidak boleh bekerja. Apalagi di NTT kesadaran sekolah masih rendah, ditambah kondisi ekonomi orang tua si anak," tegasnya.
Harus Menembus Hutan
Lain halnya dengan Vicencia Mariana atau yang akrab dipanggil In. In bercerita pengalamannya ke sekolah setiap hari. Dirinya harus menempuh jarak sejauh 5 kilometer dan menembus hutan belantara. Meskipun harus melewati medan yang sulit, In mengaku hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk pergi ke sekolah.
"Saya jalan kaki selama 2 jam dengan jarak kurang lebih 5 kilometer. Di sana anak-anak seperti saya harus melewati hutan, apalagi sekolah kami ada di ujung gunung dan rumah saya di kaki gunung. Jadi ke sekolah harus melewati banyak kelokan, bukit, dan hutan," terangnya.
Semangat In untuk menempuh strata pendidikan juga tercermin dari program dan kebijakannya jika terpilih menjadi menteri sehari. Mengaku mengambil pilihan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), In ingin melakukan berbagai hal untuk anak-anak, diantaranya melindungi anak dari kekerasan dan membangun gedung serta fasilitas pendidikan.
Uniknya, salah satu program In adalah menampung anak-anak yang menikah di usia muda agar mendapatkan pekerjaan. Melihat ketidakadilan gender yang masih kontras di Indonesia, In ingin anak-anak tersebut mendapatkan posisi yang layak di tengah-tengah masyarakat.
"Banyak anak-anak perempuan yang menikah muda, lalu hanya bisa diam di rumah karena tidak bersekolah," sebut In.
Kesempatan menjadi menteri sehari di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merupakan bagian dari gerakan 'Because I Am A Girl' (BIAAG) yang digagas oleh Plan International, dalam rangka memperingati perayaan Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar