JAKARTA, suaramerdeka.com - Apa makna sebuah album musik bagi sebuah grup band? Bagi band sekelas Montecristo, yang ditabalkan sebagai pengusung aliran progresive rock dengan segala pengayaannya itu, album baru adalah pernyataan atau statemen kepada pendengarnya tentang kedirian mereka.
Karena di album kedua bertajuk A Deep Sleep, atau Tidur Nyenyak ini, akan sekaligus menautkan dan mengingatkan kembali pendengarnya, kepada album pembuka dan pertama mereka bertajuk Celebration Of Birth atau Perayakan Kelahiran.
Jika di album perdananya yang dirilis apda 2010 lalu, bernarasi tentang proses kelahiran. Di album kedua, yang berentang enam tahun, dan direkam sejak tahun 2013 itu, berkisah tentang kematian.
Sepengakuan Eric Martoyo, yang tidak hanya berposisi sebagai lirisis dan vokalis Montecristo, tapi juga sekaligus produser dan eksekutif produser, dari mula penciptaan album ini, memang diniatkan Bercerita tentang fase di antara kedua titik yang sangat penting bagi peri kehidupan, yaitu kelahiran dan kematian.
Dan di atas panggung Hard Rock Cafe (HRC), Jakarta, barubaru ini, kisah tentang dua titik itu, atau yang mereka beri judul A Deep Sleep, dinarasikan oleh punggawa Montecristo dengan sangat rapi direportoarkan sekali secara live. Kerapian komposisi itu, paling tidak sebagaimana sepenilaian sejumlah musisi senior seperti Jockie Surjoprajogo diakui memang demikian adanya.
Menurut Jockie yang katam dengan musik progresive rock, bahkan saat itu orang Indonesia masih bisa dihitung dengan jari yang mampu memainkannya dengan laras, musikalitas Montecristo yang sempat menyajikan komposisi berjudul Mother Nature, Simple Truth, dan Alexander, menurutnya,"(Racikan musiknya) jauh lebih dewasa komposisinya dibandingkan beberapa tahun lalu. Teruta Rustam (Effendy)," katanya bercanda merujuk pada Rustam yang mantan gitaris KJP band, band yang mengusung aliran serupa, disambut gelak tawa sidang penonton.
Penilaian Jockie tentu tidak main-main. Karena hal itu diperkuat oleh kesaksian salah satu jawara progresive rock lainnya di Indonesia, yaitu Iwan Hasan yang berkibar dengan bendera Discus. Menurut salah satu pelaku dan penjaga aliran musik progresive ini, "Album ini (A Deep Sleep) luar biasa, di luar ekspektasi saya," katanya sembari menambahkan, sebenarnya dirinya sudah mendapatkan bocoran album ini dari mendiang presiden Indonesia Progressive Society (IPS) Andi Julias, yang telah wafat Februari 2016 ini.
"Awal tahun ini, mendiang Andi Julias berbicara dengan saya. Menurut dia, album ini sangat bagus. Dan setelah saya denger memang luar biasa. Terutama liriknya berbicara kepada saya. Juga komposisinya. Ini masterpiece buat saya. Selain itu, cover albumnya juga luar biasa. Ini pencapaian
luar biasa," imbuh Iwan Hasan memberondongkan sanjung puji.
Apakah sudah sahih penabalan keluarbiasaan atas album yang memang dibuat dengan sepenuh hati itu? Janganjangan ini semata perayaan kelebaian atas nama ketidakenakan hati, karena yang merilis album adalah kawankawan "sepermainan" sendiri? Nanti dulu. Mohamad Kadri, yang beberapa tahun
Lalu sempat berkibar dengan bendera KJP (Kadri Jimmo the Prinzes of Rhythm), yang juga merayakan musik progresive, dengan tak kalah bangga dan bahagianya, bersaksi, album A Deep Sleep, yang menurutnya memang baik dan berkualifikasi.
"Aransemennya mempunyai ciri khas. Buat saya, ini album enem bintang," katanya entah bersungguh-sungguh atau bercanda. Yang pasti Kadri tidak sungkansungkan langsung menunjukkan CD baru A Deep Sleep yang diabeli di pintu masuk HRC.
Apapun itu, sepengakuan Alvin Angakusuma, gitaris Montecristo, perbedaan sound di album kedua ini, dibandingkan dengan album pertama mereka, "Karena sound yang album ini lebih modern, jadi nuansanya juga jadi lebih modern", katanya sembari menambahkan, pada proses awal pembuatan di tahun 2013, masingmasing personil Montecristo mengumpulkan materi kasar album ini, sebelum akhirnya diracik bersama di studio.
Sedikit berbeda, dengan pendapat Fadhil Indra, yang menggunakan instrumen piano dan keyboards-nya untuk merayakan kemerdekaan dan kepercayaan mengkomposisi hampir di semua lagu Montecristo. Menurut dia, membandingkan album perdama dan keduanya ini, sangatlah sederhana, "Kalau yang pertama, lebih Kansas," katanya lugas, merujuk pada salah satu dedengkot band progresive asal Topeka, AS bernama Kansas.
Fadhil menambahkan, proses kreatif untuk membangun sebuah kompisi lagu berlangsung dengan menyenangkan. "Kami melakukan pembebasan secara kreatifitas. Biasanya dengan bekal lirik dari Eric. Meski tetap ada beberapa komposisi lagu jadi lebih dulu mendahului liriknya," katanya sembari mengakui pengaruh beberapa grup progresive dari AS juga turut mewarnai album ini.
Beruntunglah penulis. Jauhjauh hari Eric Martayo mengirimkan CD A Deep Sleep, sehingga pengenalan penulis kepada materi berkecenderungan jauh lebih komprehensif, meski belum tentu jitu. Namun, pada dasarnya Eric, sebagaimana diaulang di atas panggung, hanya ingin bernarasi tentang kehidupan, dengan segala perulangannya.
Tidak ada yang baru memang dari kisah tersebut, karena semua sudah pernah terjadi di bawa matahari. Dan payahnya, mengutip ujaran sejumlah bijak bestari, kehidupan berlalu dengan terlalu cepat, laksana cahaya. "Bagi yang tidak membiasakan dirinya mencari makna atas kehidupan ini, tautau sudah tua, dan tidak melakukan apaapa kecuali meninggalkan keluhan saja. Kami tidak mau seperti itu. Untuk itulah album ini lahir," ujar Eric.
Semangat memaknai kehidupan itulah yang diemban Rustam Effendy (gitar), Fadhil Indra (Piano, Keyboards, Vocals), Haposan Pangaribuan (Bass), Alvin Anggakusuma
(gitar, Backing Vocals) dan Keda Panjaitan (Drums), dengan penuh kesadaran.
Jauh dari sempurna tentu saja. Karena ketidaksempurnaan mereka adalah bagian dari ikhtiar untuk meraih kesempurnaan karya itu sendiri. Tapi paling tidak, semangat mereka untuk menghasikkan karya dalam proses tiga tahun, sesak dengan kesungguhan. "Kami masuk studio setelah matahari terbenam dan pulang saat matahari terbit. Dini hari menurut saya adalah puncak kulminasi ide kreatif dalam
Proses rekaman album ini," terang Eric sembari mengatakan, sebagaimana album pertama mereka, proses mastering A Deep Sleep juga dikerjakan di Studios 301 Sydney oleh Steve Smart.
Uniknya, sebagaimana kiatnya di album pembukanya, di album ini, Moncristo juga masih menggunakan rumusan yang sama, yaitu mempertahankan formulasi rock yang berkisah". Via lirik yang bertutur, mereka ingin menyampaikan sebuah narasi. Sembari menggarisbawahi pesan dan mengajak pendengarnya syukursyukur mampu diajak berkontemplasi. "Kami percaya, musik adalah kendaraan yang tepat untuk melakukan kontemplasi," tekan Eric.
Maka di kesepuluh lagu Montecristo seperti Alexander, Mother Nature, The Man in A Wheelchair, Simple Truth, Ballerina, A Deep Sleep, A Blessing or A Curse?, Point Zero, Rendezvous dan Naggroe, semua bernarasi tentang peristiwa dan kejadian. Sebagai seorang lirisis, semua lagu yang ditulis Eric mempunyai tingkat kedalaman yang subtil, meski untuk sebuah komposisi lagu, sangat layak untuk diperdebatkan.
Lihatlah dalam lagu Alexander, yang berkisah tentang Iskandar Yang Agung atau Alexander the Great, atau The Man in A Wheelchair yang bertutur tentang Fisikawan Stephen Hawking, juga Point Zero yang merujuk pada novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi. LSemua mempunyai kisah kedalamannya sendiri-sendiri, sedalam kisah single A Deep Sleep, yang bertutur tentang detikdetik seseorang hendak mengunjungi kematian.
Meski sayangnya, genre musik jenis ini, sebagaimana dikatakan dan diakui Rustam Effendy, sangat sulit diterima di masyarakat. Karena terlalu teknis, rigit, kaku serta musikalitasnya cenderung berpunggungan dengan ketukan titi nada yang biasa diasup publik. Oleh karenanya ada anggapan hanya orang orang yang mempunyai kekayaan gramatikal musikal yang tinggi, yang dinilai mampu menikmati jenis musik ini.
Tapi bukan Montecristo jika tidak mampu melaraskan dua kepentingan itu. Mengakurkan kepentingan idealisme dalam bermusik, dan mendampingkannya dengan kesuksesan raihan pasar. Oleh karenanya dia berani menargetkan penjualan fisiknya hingga mencapai angka 1 juta keping. Di luar penjualan digital di sejumlah toko digital.
(Benny Benke/CN41/SMNetwork)
Comments
comments
Tidak ada komentar:
Posting Komentar